"Ketika Presiden ingin menyelesaikan masalah KPK dan Polri yang dipanggil Wantimpres dong. Artinya ring dalam dong dimanfaatkan, tetapi ini malah dipanggil orang di luar sistem (tim independen)," kata Effendi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin.

Menurut Effendi, seharusnya Presiden Jokowi mengajak bicara orang-orang dalam sistem pemerintahannya dan jika Presiden lebih meminta bantuan orang-orang di luar sistem untuk menjaring rekomendasi, maka posisi Wantimpres hanya menjadi stempel.

"Wantimpres jangan hanya menjadi stempel. Oleh karena itu, tempatkan orang-orang yang punya kapabilitas sesuai dengan bidangnya. Jangan ambivalen, paradoks, ketika alami suatu masalah, perangkat kepresidenan jadi tidak berdaya," ujar dia.

Effendi juga mengkritik Sekretaris Kabinet Jokowi Andi Widjajanto yang dinilainya masih "kemarin sore".

Ia menilai level pengalaman Andi masih prematur dan berupaya mengatur Presiden yang disebut Effendi juga prematur.

Menurut Effendi, langkah Jokowi membentuk tim independen justru memperkeruh karut-marut politik dan menurunkan kepercayaan publik.

"Ngapain panggil orang-orang untuk selesaikan persoalan internal negara, ini bikin karut-marut, akhirnya kepercayaan rakyat rendah. Saya sebagai outsourcing partai menganggap kok begini mengelola negara," kata dia.

Effendi mengingatkan kalau tidak segera dievaluasi, bukan tidak mungkin 100 hari ke depan akan ada presiden baru.

"Harus evaluasi, apalagi JK saya lihat pasif. Bisa saja 100 hari berikutnya kita sudah bicara tentang presiden baru karena teman-teman di seberang lautan sana bukan berarti diam saja, mereka sedang menunggu memonitor," ujar dia.

Ia menilai bisa kembali terjadi peristiwa yang dulu pernah melengserkan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) karena politikus KMP tidak akan tahan tanpa kekuasaan.

Presiden Joko Widodo membentuk tim independen untuk mencegah kriminalisasi dalam KPK dan Polri.

Tim independen ini terdiri atas tujuh orang, yakni mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, mantan Wakil Kepala Polri Komjen Polisi (Purnawirawan) Oegroseno, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana, pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, mantan pimpinan KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dan Erry Riyana Hardjapamekas, serta mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif.