Menilik Bisnis Turun-Temurun Sentra Shuttlecock Makam Bergolo
Rabu, 18 Februari 2015 16:49 WIB
Ilustrasi - Sejumlah pekerja melakukan proses menjahit shuttlecock. (Foto ANTARA)
Ketua Paguyuban Pengrajin Shuttlecock Badminton Makam Bergolo Maridi di Solo, Rabu mengatakan, jumlah pengrajin kok (shuttlecock) kini mencapai 150 dari sebelumnya hanya puluhan.
"Produksi 'shuttlecock' dari sini terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan pasar," kata Maridi yang menekuni kerajinan kok badminton sejak 1980-an secara manual tersebut.
Menurut dia, industri "shuttlecock" di daerah tersebut sudah menjadi turun-menurun.
Maridi menjelaskan, pihaknya mampu memproduksi kok antara 200-300 slop per hari dengan merek Adinda dan Anak Mas.
Harga dijual antara Rp40 ribu hingga Rp65 ribu per slop tergantung kualitasnya.
Menurut dia, produksi kok Makam Bergolo banyak dikirim ke Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, dan wilayah pantai utara Jawa lainnya.
"Namun, pengrajin kadang terkendala bahan baku bulu ayam, kepala 'shuttlecock' (bogem), dan tenaga kerja," kata Maridi warga RT 03 RW VIII Makam Bergolo itu.
Menurut dia, tenaga kerja yang memiliki kemampuan membuat kok sudah cukup sulit, sedangkan bahan baku bulu ayam seperti saat musim banjir seperti sekarang juga sulit.
Bahkan, bogem kok badminton kadang harus impor dari Tiongkok.
Ia menjelaskan, proses produksi kok berawal dari bulu ayam yang dipotong dibentuk kemudian dicuci, serta dijemur.
Bulu dipilih sesuai kualitasnya kemudian diluruskan dengan cara dipanasi.
Lalu, bulu yang sudah lurus dipasang ke bogem, distel dan kemudian ditali.
Kok setelah ditali berikan lem atau perekat, diberikan merek dan penyelesaian masuk ke pengepakan.
Menurut Maridi, pembuatan kok Makam Bergolo dilakukan secara manual, sedangkan buatan Tiongkok dengan mesin.
Namun, kok Makam Bergolo kualitasnya tidak kalah dengan produksi alat mesin.
"Produksi 'shuttlecock' dari sini terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan pasar," kata Maridi yang menekuni kerajinan kok badminton sejak 1980-an secara manual tersebut.
Menurut dia, industri "shuttlecock" di daerah tersebut sudah menjadi turun-menurun.
Maridi menjelaskan, pihaknya mampu memproduksi kok antara 200-300 slop per hari dengan merek Adinda dan Anak Mas.
Harga dijual antara Rp40 ribu hingga Rp65 ribu per slop tergantung kualitasnya.
Menurut dia, produksi kok Makam Bergolo banyak dikirim ke Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, dan wilayah pantai utara Jawa lainnya.
"Namun, pengrajin kadang terkendala bahan baku bulu ayam, kepala 'shuttlecock' (bogem), dan tenaga kerja," kata Maridi warga RT 03 RW VIII Makam Bergolo itu.
Menurut dia, tenaga kerja yang memiliki kemampuan membuat kok sudah cukup sulit, sedangkan bahan baku bulu ayam seperti saat musim banjir seperti sekarang juga sulit.
Bahkan, bogem kok badminton kadang harus impor dari Tiongkok.
Ia menjelaskan, proses produksi kok berawal dari bulu ayam yang dipotong dibentuk kemudian dicuci, serta dijemur.
Bulu dipilih sesuai kualitasnya kemudian diluruskan dengan cara dipanasi.
Lalu, bulu yang sudah lurus dipasang ke bogem, distel dan kemudian ditali.
Kok setelah ditali berikan lem atau perekat, diberikan merek dan penyelesaian masuk ke pengepakan.
Menurut Maridi, pembuatan kok Makam Bergolo dilakukan secara manual, sedangkan buatan Tiongkok dengan mesin.
Namun, kok Makam Bergolo kualitasnya tidak kalah dengan produksi alat mesin.
Pewarta : Bambang Dwi Marwoto
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Comdev Universitas Prasetiya Mulya dukung pemutakhiran KIA dan peningkatan bisnis UMKM di Banyumas
20 December 2024 21:18 WIB
BPJS Ketenagakerjaan bersama ILO kenalkan program ke mahasiswa Undip Semarang
28 November 2024 20:25 WIB
Ketum Aprindo terpilih Solihin, Prioritaskan stabilitas dan pertumbuhan bisnis ritel
18 November 2024 8:37 WIB
Terpopuler - Bisnis
Lihat Juga
BPJS Ketenagakerjaan serahkan santunan kematian dua pengawas pemilu di Klaten
22 January 2025 15:20 WIB