Kantor berita Reuters melaporkan fatwa tersebut nampaknya upaya untuk mengendalikan pelanggaran dalam perlakuan terhadap wanita yang ditangkap.

Fatwa tersebut terungkap dalam dokumen yang disita oleh Pasukan Operasi Khusus Amerika Serikat ketika melakukan serangan ke seorang pejabat tinggi ISIS di Suriah pada Mei 2015.

Reuters telah membaca dokumen yang belum pernah diterbitkan itu namun tidak dapat mengkonfirmasi keasliannya.

Di antara perintah fatwa tersebut antara lain: larangan ayah dan anak melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sama dan masih ada beberapa lainnya.

PBB dan kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM) menuduh ISIS secara sistematis menculik dan memperkosa ribuan perempuan dan anak perempuan yang di antaranya berusia 12 tahun, khususnya korban adalah anggota masyarakat minoritas Yazidi di Irak Utara.

Banyak dari tawanan perempuan itu diserahkan kepada para pejuang ISIS sebagai hadiah atau dijual sebagai budak seks.

Alih-alih menutupi praktik tersebut, ISIS bahkan membanggakannya, mereka mendirikan satu “departemen pampasan” untuk mengelola perbudakan.

Dalam sebuah laporan April lalu, Human Rights Watch mewawancarai 20 perempuan yang melarikan diri yang menceritakan bagaimana para pejuang ISIS memisahkan perempuan muda dan anak perempuan dari kaum pria, anak lelaki dan perempuan berusia lanjut.

Mereka digerakkan “dengan rapi dan efektif ke berbagai tempat di Irak dan Suriah”.

Pakar pemimpin ISIS di Universitas Princeton, Cole Bunzel, yang telah membaca banyak tulisan kelompok tersebut, mengatakan, fatwa itu melebihi hal yang pernah dipublikasikan oleh kelompok itu.

"Fatwa itu mengungkap kekhawatiran yang sebenarnya dari para pemilik budak ISIS," katanya dalam surat elektronik.

Fatwa tersebut antara lain juga memerintahkan pemilik budak perempuan untuk “berbelas kasihan pada budak, bersikap baik, tidak mempermalukan dia, dan tidak memerintahkan melakukan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan.”

Profesor Abdel Fattah Alawari, dekan di Teologi Islam, Universitas Al-Azhar, mengatakan ISIS "tidak ada kaitannya dengan Islam" dan dengan sengaja salah mengartikan ayat-ayat.

Dia mengatakan ayat-ayat itu aslinya dibuat untuk mengakhiri, bukan mendorong, perbudakan.

“Islam mengajarkan pembebasan budak, bukan perbudakan. Ketika Islam muncul perbudakan dalam status quo,” katanya.

"Islam memandang perilaku itu sebagai praktik yang menjijikkan dan berupaya untuk mengentaskannya secara bertahap.”

Pada September 2014, lebih dari 120 cendekiawan Islam dari seluruh dunia mengeluarkan surat terbuka kepada ketua ISIS Abu Bakr al-Baghdadi yang menentang argumentasi keagamaan kelompok itu dalam membenarkan aksi mereka.

Para cendekiawan itu menulis bahwa “pemberlakuan kembali perbudakan dilarang dalam Islam."