"Fenomena GMT di tempat yang sama ini hanya terjadi 350 tahun sekali. BMKG menyediakan video streaming informasi fenomena GMT," kata Kepala BMKG Andi Eka Sakya saat jumpa pers di kantornya di Jakarta, Kamis.

BMKG, kata dia, akan mengamati proses terjadinya GMT lewat Kedeputian Bidang Geofisika BMKG khususnya Pusat Seismologi Teknik Geofisika Potensial dan Tanda Waktu di beberapa tempat.

Di antara tempat-tempat pengamatan GMT itu seperti di Ternate, Palu, Tanjung Pandan dan Bengkulu.

Pengamatan, kata Andi, juga dilakukan di lokasi-lokasi yang tidak mengalami GMT. Total titik pengamatan dilakukan di 179 stasiun BMKG yang tersebar di seluruh Indonesia.

"Akan ada perbandingan hasil pengamatan di lokasi terdampak GMT dan lokasi yang tidak terkena GMT," katanya.

Selain pengamatan GMT, BMKG juga mengamati dampak gerhana itu dari berbagai kajian ilmiah seperti dampaknya terhadap magnet bumi dan gravitasi bumi.

Pengamatan efek gravitasi dari GMT akan dilakukan di Palu. Sedangkan pengamatan medan magnet bumi dilaksanakan di Palu, Manado, Kupang, Jayapura, Pelabuhan Ratu, Tangerang, Tuntungan, Gunung Sitoli dan Liwa.

Andi mengatakan terdapat 11 provinsi yang dilintasi GMT yaitu Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.

Sementara itu, kota-kota besar yang diperkirakan dilalui GMT adalah Muko-muko (Bengkulu), Palembang, Tanjung Pandan, Palangkaraya, Balikpapan, Palu dan Ternate.

Gerhana matahari total, kata Andi, adalah fenomena alam dengan kedudukan matahari, bulan dan bumi berturut-turut berada dalam satu garis lurus. Efek dari posisi itu membuat sebagian wilayah akan terkena bayangan gelap bulan. Akibatnya, wilayah yang terkena bayangan gelap bulan tidak dapat melihat matahari secara langsung.

Dalam proses itu, kata dia, diperkirakan akan terjadi perubahan berbagai fenomena alam yang berbeda dibandingkan bumi saat tidak mengalami GMT.