Menurut dia, di Jakarta, Selasa, jika masih ada stasiun televisi yang memancarluaskan program acara mengindikasikan promosi LGBT, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan tidak memperpanjang izinnya.

"Lembaga penyiaran, khususnya televisi, harus menunjukkan komitmen tidak mempromosikan pelaku dan perilaku LGBT pada tayangan siarannya," katanya, kepada pers.

Politisi PKS itu menegaskan, komitmen ini penting dan mendesak karena tayangan televisi yang menampilkan pelaku dan perilaku LGBT cenderung meningkat dari waktu ke waktu.

"Dan fakta ironinya, tayangan semacam itu justru populer dan pada gilirannya menghasilkan pemasukan iklan lebih besar," katanya.

Dia juga menyinggung beberapa hal terkait komitmen pemilik dan pengelola penyiaran.

"Kenapa komitmen lembaga penyiaran ini sangat diperlukan? Pertama, jika kita merujuk pada peraturan perundang-undangan, baik di bidang penyiaran maupun yang terkait, sangat jelas acuan norma yang tidak memberi ruang bagi pelaku dan perilaku LGBT," katanya.

Sementara kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan menjadi azas dan tujuan yang mengikat semua lembaga penyiaran.

"Atas dasar ini pula, pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia berkewajiban menegakkan aturan dan kepatuhan terhadap aturan," katanya.

Kedua, lembaga penyiaran khususnya televisi mampu menayangkan siarannya kepada masyarakat luas karena menggunakan frekuensi yang dikuasai negara dan harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat.

"Pertanyaannya adalah apakah program tayangan yang menampilkan pelaku dan perilaku LGBT sesuai dengan kepentingan masyarakat luas?," kata dia.

"Jika metode jajak pendapat dijadikan acuan, apakah ada televisi yang bisa menunjukkan data bahwa mayoritas masyarakat Indonesia menerima LGBT dan mendapatkan manfaat positif dari tayangan tersebut?," kata Siddik.
Jika program tayangan TV sudah jelas bertabrakan dengan kepentingan masyarakat luas, maka pemerintah dan KPI berwenang menjatuhkan sanksi.

KPI, lanjutnya, bisa memberhentikan program tayangan tersebut dan pemerintah bisa mencabut izin penyelenggaraan penyiaran televisi tersebut.

Ketiga, pada era informasi ini fungsi dan peran media massa menjadi semakin penting dalam konteks kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Media massa dengan tayangan yang terus menerus menerpa masyarakat, sudah seharusnya memainkan fungsi dan peran yang positif.

"Yaitu membangun jati diri bangsa Indonesia yang berideologi Pancasila dan hidup dengan acuan norma agama dan budaya luhur," katanya.

Jika ada sebuah organisasi yang kegiatannya justru bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila pastilah akan mendapatkan konsekuensi hukum dan politik.

"Nah bagaimana jika lembaga penyiaran secara sadar menayangkan program-program yang bertentangan secara terus-menerus?," katanya.

Kesadaran akan ideologi negara semacam inilah yang membuat negara Singapura, misalnya, memiliki peraturan perundang-undangan tentang LGBT dan kewajiban lembaga penyiaran tidak mempromosikan pelaku dan perilaku LGBT.

"Masih banyak negara maju lain yang memiliki peraturan perundang-undangan serupa dengan Singapura," katanya.

Saat ini wacana publik begitu kuat menentang LGBT. Umumnya cemas dan khawatir akan bahaya penyakit sosial ini. Tapi ada saja kelompok-kelompok kecil pendukung LGBT yang akan terus berjuang hingga tercapai penerimaan, pengakuan dan persamaan hak hukumnya.

Pertanyaannya, kata Siddik, bagaimana posisi dan sikap lembaga penyiaran di Indonesia.

"Saya tidak mengajak mereka untuk terjebak pada polemik dan memilih sikap pro atau kontra. Tapi saya sedang mengajak semua lembaga penyiaran untuk menunjukkan komitmennya pada peraturan perundang-undangan yang ada dan terus bekerja untuk kepentingan masyarakat luas," katanya.

Jika tidak ada komitmen itu, maka sepantasnyalah KPI dan pemerintah untuk mempertimbangkan kembali perpanjangan Izin Penyelenggaraan Penyiaran bagi mereka yang akan berakhir masa berlakunya.