"Dengan dilakukan deradikalisasi saja masih ada napi terorisme yang kolot, bagaimana bila tidak dijalankan deradikalisasi," kata dia di Jakarta, Jumat.

Menurut Hamdi, deradikalisasi tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh waktu yang panjang untuk menyadarkan orang-orang yang telanjur radikal.

"Bahkan, proses pendekatan dan penyadaran itu bisa sangat rumit. Soalnya, biasanya napi terorisme sangat sulit didekati dan diajak bersosialisasi di luar kelompok mereka," katanya.

Menurut Hamdi, proses penyadaran napi terorisme jelas berbeda dengan napi tindak pidana biasa. Dibutuhkan perenungan serta strategi tepat untuk bisa mengajak mereka berkomunikasi.

Napi terorisme pernah punya keyakinan dan terpikat ideologi teroris serta tergiur iming-iming pendirian negara Islam, meski harus ditempuh dengan kekerasan. Mereka juga berpikir bahwa hanya orang yang sepaham dengan mereka yang bisa mengelola negara.

"Jadi, harus ada pendekatan secara khusus kepada mereka yang harus dimiliki oleh para petugas Lapas," kata Hamdi.

Yang tidak kalah penting, menurut Hamdi, adalah harus ada proses lanjutan untuk mengantar mereka kembali ke masyarakat setelah selesai menjalani hukuman.

Guru Besar Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Prof Bambang Pranowo juga menekankan pentingnya deradikalisasi dalam pencegahan terorisme. Menurutnya, akan sulit menyadarkan napi terorisme yang telanjur kemasukan paham radikal bila tidak dilakukan tahapan demi tahapan deradikalisasi.

"Deradikalisasi itu sangat penting sehingga harus lebih diintensifkan baik di dalam Lapas maupun di luar Lapas karena ini menyangkut pemahaman agama dan ideologi seseorang," katanya.

Menurut dia, para napi terorisme harus diberikan pemahaman tentang agama Islam yang rahmatan lil alamin dan juga jihad yang benar karena sebelumnya mereka selalu mengagung-agungkan jihad, juga mengkafir-kafirkan orang yang tidak sepaham.

"Kalau tidak ada deradikalisasi, mereka pasti akan kembali menjadi teroris bila sudah bebas," kata Bambang.