Ahmad Tohari: Warisi Budaya Tutur, Minat Baca Rendah
Rabu, 25 Mei 2016 19:01 WIB
Penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari saat hadir dalam jumpa pers penayangan perdana film "Sang Penari" di Jakarta tahun 2012 (FOTO ANTARA/Teresia May)
Semarang, Antara Jateng - Sastrawan dan budayawan Ahmad Tohari mengingatkan semestinya ada perpustakaan di dalam rumah meski sederhana, untuk menumbuhkan minat baca anak-anak sejak dini.
"Mulai dari keluarga. Hadirkan suasana membaca di rumah, bapak dan ibunya suka membaca. Anak-anaknya pasti suka membaca," kata penulis novel "Ronggeng Dukuh Paruk" itu di Semarang, Rabu.
Hal tersebut diungkapkannya usai pelantikan pengurus Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski) se-Jawa Tengah dan seminar bertema "Kemandirian Bangsa Melalui Sastra dan Budaya".
Tohari menjadi salah satu pembicara pada seminar nasional yang berlangsung di Wisma Perdamaian Semarang dan terselenggara atas kerja sama antara Balai Bahasa Jateng dan Hiski Jateng.
Ia mengingatkan minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah, terutama anak-anak, sebab warisan budaya memang lebih mengenalkan budaya tutur atau bercerita ketimbang membaca.
"Ketertinggalan tingkat literasi masyarakat kita dengan bangsa-bangsa lain jauh. Itu baru minat baca secara keseluruhan, belum lagi khusus untuk karya sastra yang jauh lebih kecil," katanya.
Setelah keluarga, lanjut dia, peran sekolah untuk menyediakan perpustakaan yang memadai, diiringi dengan pemberian keteladanan, seperti bapak dan ibu guru mencontohkan gemar membaca.
"Sekolah kebanyakan tidak menyediakan perpustakaan yang memadai dan tidak ada keteladanan dari para guru. Kalau begini, dampaknya kecerdasan bangsa kita kalah dibandingkan bangsa lain," katanya.
Pemerintah, kata Tohari, turut berperan meningkatkan minat baca masyarakat dengan menganggarkan dana yang pantas untuk pengadaan perpustakaan secara memadai, baik fasilitas dan koleksi bukunya.
Namun, diakuinya, banyak perpustakaan milik pemerintah yang kondisinya justru kurang diperhatikan dan membuktikan keputusan politik yang dibuat kurang melihat arti penting perpustakaan.
"Pemerintah seharusnya menyediakan bacaan-bacaan yang dibiayai anggaran resmi. Negara-negara lain saja mau membayar penulis membuat buku untuk dibagikan secara gratis ke sekolah," katanya.
Meski jumlah buku yang beredar sekarang ini jauh lebih banyak dibandingkan semasa Orde Baru, Tohari mengatakan kenyataannya tidak berbanding lurus dengan meningkatnya minat baca masyarakat.
"Mulai dari keluarga. Hadirkan suasana membaca di rumah, bapak dan ibunya suka membaca. Anak-anaknya pasti suka membaca," kata penulis novel "Ronggeng Dukuh Paruk" itu di Semarang, Rabu.
Hal tersebut diungkapkannya usai pelantikan pengurus Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski) se-Jawa Tengah dan seminar bertema "Kemandirian Bangsa Melalui Sastra dan Budaya".
Tohari menjadi salah satu pembicara pada seminar nasional yang berlangsung di Wisma Perdamaian Semarang dan terselenggara atas kerja sama antara Balai Bahasa Jateng dan Hiski Jateng.
Ia mengingatkan minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah, terutama anak-anak, sebab warisan budaya memang lebih mengenalkan budaya tutur atau bercerita ketimbang membaca.
"Ketertinggalan tingkat literasi masyarakat kita dengan bangsa-bangsa lain jauh. Itu baru minat baca secara keseluruhan, belum lagi khusus untuk karya sastra yang jauh lebih kecil," katanya.
Setelah keluarga, lanjut dia, peran sekolah untuk menyediakan perpustakaan yang memadai, diiringi dengan pemberian keteladanan, seperti bapak dan ibu guru mencontohkan gemar membaca.
"Sekolah kebanyakan tidak menyediakan perpustakaan yang memadai dan tidak ada keteladanan dari para guru. Kalau begini, dampaknya kecerdasan bangsa kita kalah dibandingkan bangsa lain," katanya.
Pemerintah, kata Tohari, turut berperan meningkatkan minat baca masyarakat dengan menganggarkan dana yang pantas untuk pengadaan perpustakaan secara memadai, baik fasilitas dan koleksi bukunya.
Namun, diakuinya, banyak perpustakaan milik pemerintah yang kondisinya justru kurang diperhatikan dan membuktikan keputusan politik yang dibuat kurang melihat arti penting perpustakaan.
"Pemerintah seharusnya menyediakan bacaan-bacaan yang dibiayai anggaran resmi. Negara-negara lain saja mau membayar penulis membuat buku untuk dibagikan secara gratis ke sekolah," katanya.
Meski jumlah buku yang beredar sekarang ini jauh lebih banyak dibandingkan semasa Orde Baru, Tohari mengatakan kenyataannya tidak berbanding lurus dengan meningkatnya minat baca masyarakat.
Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Dukun Slamet Tohari didakwa lakukan pembunuhan berencana terhadap 12 orang
26 September 2023 14:21 WIB, 2023
MVAT ajak warga Banyumas menonton film dokumenter tentang Ahmad Tohari
10 January 2023 15:36 WIB, 2023
Budayawan: Baju adat untuk seragam sekolah akan perkuat ciri kedaerahan
21 October 2022 14:58 WIB, 2022
Ini pesan Budayawan Ahmad Tohari mengenai larangan gelar hajatan pada bulan Sura
01 August 2022 13:59 WIB, 2022