Obama Siap Cabut Sanksi bagi Myanmar Usai Bertemu Suu Kyi
Kamis, 15 September 2016 13:52 WIB
Presiden Amerika Serikat Barack Obama saat memberikan pernyataan pers di Gedung Putih, Washington, Minggu (17/1). (REUTERS/Yuri Gripas )
Washington, Antara Jateng - Aung San Suu Kyi pada Rabu (14/9) menyeru pencabutan sanksi ekonomi terhadap Myanmar dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, dalam pertemuan pertama mereka di Gedung Putih sejak Suu Kyi menjadi pemimpin, menyatakan bahwa Amerika Serikat siap melakukannya.
"Ini tindakan tepat yang harus dilakukan untuk memastikan rakyat Burma merasakan manfaat dari cara baru menjalankan usaha dan pemerintahan baru," kata Obama di Kantor Oval bersama Suu Kyi di sampingnya.
Perjalanan Suu Kyi (71), yang seperti Obama adalah peraih Hadiah Nobel Perdamaian, menutup perjalanan sepanjang satu dekade dari penjara politik menuju pemimpin nasional setelah partainya memenangi pemilihan umum tahun lalu.
Dengan Suu Kyi tidak lagi menjadi tokoh oposisi, Washington mempertimbangkan untuk pelonggaran sanksi lebih lanjut terhadap Myanmar, yang sebelumnya dikenal sebagai Burma, sementara Obama ingin menormalisasi hubungan dengan negara yang dijauhi ketika dikuasai oleh junta militer itu.
"Kami pikir waktunya sekarang sudah tiba untuk mencabut semua sanksi yang menghancurkan kami secara ekonomi," kata Suu Kyi, menyatakan bahwa Kongres Amerika Serikat mendukung negaranya dengan mengenakan sanksi di masa lalu sebagai tekanan untuk melaksanakan reformasi demokratis.
Bersamaan dengan kedatangan Suu Kyi, Gedung Putih mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa pemerintah akan memasukkan kembali Myanmar ke dalam Generalized System of Preferences (GSP), yang membebaskan bea masuk barang-barang impor dari negara-negara miskin dan berkembang.
Myanmar dicoret dari daftar penerima manfaat GSP tahun 1989 menyusul pemberontakan pro-demokrasi setahun sebelumnya yang secara brutal ditekan oleh penguasa junta militer. Myanmar akan kembali ke program itu pada 13 November menurut para pejabat AS.
Masuknya kembali Myanmar ke dalam daftar penerima manfaat GSP, ditambah dengan pencabutan sanksi "akan memberi pemerintah, pengusaha, dan institusi nirlaba Amerika Serikat insentif lebih besar untuk berinvestasi dan berpartisipasi di negara yang kami harap makin demokratis dan sejahtera di kawasan," kata Obama.
Dalam satu pernyataan tentang Myanmar, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan bahwa beberapa pembatasan masih tetap berlaku, seperti pecegahan visa bagi pemimpin militer.
Amerika Serikat melonggarkan beberapa sanksi terhadap Myanmar tahun ini untuk mendukung reformasi politik namun mempertahankan sebagian besar pembatasan yang ditujukan untuk menghumun mereka yang dipandang menghambat pemerintahan yang terpilih secara demokratis.
Usai mengunjungi Gedung Putih, Suu Kyi akan bertemu dengan sejumlah anggota parlemen di Capitol. Dia akan kembali ke sana pada Kamis untuk bertemu dengan pemimpin parlemen dan senat dari Partai Demokrat dan partai Republik.
Anggota parlemen dari Partai Republik, Ed Royce, Ketua Komite Urusan Luar Negeri Parlemen, mengatakan usai pertemuan dengan Suu Kyi bahwa meski pemerintahan baru telah membawa harapan bagi Myanmar, dia masih mempertanyakan komitmen Suu Kyi untuk melindungi kelompok marjinal Muslim Rohingya.
Suu Kyi selama ini dikritik karena hanya melakukan sedikit untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim Rohingya, 125.000 di antaranya ditampung di kamp-kamp sementara sejak kekerasan 2012.
Hukum Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai satu dari 135 kelompok etnis resmi negara itu, menjadikan mereka tak bernegara. Dianggap sebagai imigram ilegal dari negara tetangga Bangladesh, mereka tidak disukai oleh kebanyakan warga Myanmar.(Uu.G005)
"Ini tindakan tepat yang harus dilakukan untuk memastikan rakyat Burma merasakan manfaat dari cara baru menjalankan usaha dan pemerintahan baru," kata Obama di Kantor Oval bersama Suu Kyi di sampingnya.
Perjalanan Suu Kyi (71), yang seperti Obama adalah peraih Hadiah Nobel Perdamaian, menutup perjalanan sepanjang satu dekade dari penjara politik menuju pemimpin nasional setelah partainya memenangi pemilihan umum tahun lalu.
Dengan Suu Kyi tidak lagi menjadi tokoh oposisi, Washington mempertimbangkan untuk pelonggaran sanksi lebih lanjut terhadap Myanmar, yang sebelumnya dikenal sebagai Burma, sementara Obama ingin menormalisasi hubungan dengan negara yang dijauhi ketika dikuasai oleh junta militer itu.
"Kami pikir waktunya sekarang sudah tiba untuk mencabut semua sanksi yang menghancurkan kami secara ekonomi," kata Suu Kyi, menyatakan bahwa Kongres Amerika Serikat mendukung negaranya dengan mengenakan sanksi di masa lalu sebagai tekanan untuk melaksanakan reformasi demokratis.
Bersamaan dengan kedatangan Suu Kyi, Gedung Putih mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa pemerintah akan memasukkan kembali Myanmar ke dalam Generalized System of Preferences (GSP), yang membebaskan bea masuk barang-barang impor dari negara-negara miskin dan berkembang.
Myanmar dicoret dari daftar penerima manfaat GSP tahun 1989 menyusul pemberontakan pro-demokrasi setahun sebelumnya yang secara brutal ditekan oleh penguasa junta militer. Myanmar akan kembali ke program itu pada 13 November menurut para pejabat AS.
Masuknya kembali Myanmar ke dalam daftar penerima manfaat GSP, ditambah dengan pencabutan sanksi "akan memberi pemerintah, pengusaha, dan institusi nirlaba Amerika Serikat insentif lebih besar untuk berinvestasi dan berpartisipasi di negara yang kami harap makin demokratis dan sejahtera di kawasan," kata Obama.
Dalam satu pernyataan tentang Myanmar, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan bahwa beberapa pembatasan masih tetap berlaku, seperti pecegahan visa bagi pemimpin militer.
Amerika Serikat melonggarkan beberapa sanksi terhadap Myanmar tahun ini untuk mendukung reformasi politik namun mempertahankan sebagian besar pembatasan yang ditujukan untuk menghumun mereka yang dipandang menghambat pemerintahan yang terpilih secara demokratis.
Usai mengunjungi Gedung Putih, Suu Kyi akan bertemu dengan sejumlah anggota parlemen di Capitol. Dia akan kembali ke sana pada Kamis untuk bertemu dengan pemimpin parlemen dan senat dari Partai Demokrat dan partai Republik.
Anggota parlemen dari Partai Republik, Ed Royce, Ketua Komite Urusan Luar Negeri Parlemen, mengatakan usai pertemuan dengan Suu Kyi bahwa meski pemerintahan baru telah membawa harapan bagi Myanmar, dia masih mempertanyakan komitmen Suu Kyi untuk melindungi kelompok marjinal Muslim Rohingya.
Suu Kyi selama ini dikritik karena hanya melakukan sedikit untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim Rohingya, 125.000 di antaranya ditampung di kamp-kamp sementara sejak kekerasan 2012.
Hukum Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai satu dari 135 kelompok etnis resmi negara itu, menjadikan mereka tak bernegara. Dianggap sebagai imigram ilegal dari negara tetangga Bangladesh, mereka tidak disukai oleh kebanyakan warga Myanmar.(Uu.G005)
Pewarta : Antaranews
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Akademisi Unsoed: Kampung Cibun siap menjadi ikon Kampung Cinta Budaya Nusantara Banyumas
29 October 2024 17:41 WIB
Terpopuler - Gadget
Lihat Juga
Prancis: Keputusan Donald Trump "Risiko Serius" bagi Tatanan Perdagangan Global
01 February 2017 6:29 WIB, 2017