Jakarta Antara Jateng - Pengadaan mobile crane (derek) yang dilakukan oleh PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) telah merugikan keuangan negara hingga Rp36,97 miliar.

"Akibat perbuatan terdakwa tersebut telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp36,970 miliar sesuai laporan hasil pemeriksaan investigatif atas pengadaan 10 unit mobile crane pada PT Pelindo II dari Badan Pemeriksa Keuangan RI," kata jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Jakarta Utara Tumpak M Pakpahan dalam sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin.

Direktur Operasi dan Teknik Pelindo II Ferialdy Noerlan dan Senior Manager Peralatan PT Pelindo II Haryadi Budi Kuncoro menjadi terdakwa dalam kasus ini.

Menurut dakwaan jaksa, pengadaan derek itu diketahui oleh Direktur Utama PT Pelindo II saat itu Richard Joost Lino.

Jaksa menjelaskan bahwa pada Oktober 2010, PT Pelindo II (Persero) rapat membahas rencana kegiatan tahun 2011 dan RJ Lino selaku Direktur Utama PT Pelindo II mengusulkan pengadaan mobile crane dengan kapasitas 25 ton dan 65 ton untuk keperluan cabang Pelabuhan Pelindo II.

"Dalam rapat tersebut disepakati pengadaan mobile crane tersebut dilaksanakan pada 2011 dengan pelaksanan kegiatan adalah terdakwa Ferialdy Noerlan yang memerintahkan Haryadi Budi Kuncoro untuk membuat kajian investasi dan menghitung harga satuan mobile crane," tambah jaksa Tumpak.

Dari hasil kajian, Ferialdy menyuruh Mashudi Sunyoto melaporkannya kepada RJ Lino.

Haryadi selanjutnya memerintahkan Erfin Ardiyanto memasukkan investasi mobile crane itu dalam daftar tambahan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahan (RKAP) dimana usul tersebut tidak dilampirkan dalam hasil kajian investasi.

Semua cabang pelabuhan di bawah PT Pelindo II tidak membutuhkan dan tidak pernah mengusulkan pengadan mobile crane, tapi pengadaan derek dimasukkan dalam RKAP dengan alokasi anggaran Rp58,92 miliar untuk 13 unit derek untuk delapan cabang pelabuhan yaitu pelabuhan Panjang, Palembang, Pontianak, Benkulu, Teluk Bayur, Banten, Cirebon dan Jambi.

Tim teknis dari kantor pusat PT Pelindo II dan perwakilan cabang pelabuhan selanjutnya melakukan rapat penyusunan rencana kerja dan syarat (RKS) pada April-Mei 2011 dimana Haryadi mengarahkan Mashudi Sunyoto untuk mempergunakan spesifikasi mobile crane yang diproduksi oleh Harbin Construction Machinery Co.Ltd (HCM) dari tiga perusahaan yaitu PT Narishi Century International, PT Altrak 1978 dan PT United Tracktor.

Tapi pada 12 September 2011, atas arahan Haryadi, dilakukan perubahan spesifikasi teknis tipe boom mobile crane menjadi lattice atau telescopic/lattice untuk menyesuaikan spesifikasi teknis mobile crane produksi HCM.

Namun lelang itu gagal karena hanya satu perusahaan yang memasukkan penawaran sehingga dilakukan lelang ulang pada 25 November 2011 untuk pengadaan 10 unit mobile crane kapasitas 25 dan 65 ton untuk kebutuhan cabang pelabuhan Pajang, Palembang, Pontianak, Teluk Bayur, Banten, Bengkulu, Cirebon dan Jambi dengan anggaran Rp46,205 miliar.

Guangxi Narishi Century M&E Equipment CO (GNCE) kembali mengajukan penawaran padahal mobile crane dibuat oleh HCM, tapi tim tenis atas arahan Haryati meloloskan PT GCNE meski tidak memenuhi sejumlah syarat administrasi.

Sampai 5 Desember 2012, GCNE pun tidak bisa melaksanakan perjanjian yang sudah ditandatangani yang seharusnya dibatalkan tapi malah diamandemen dari semula ke delapan cabang pelabuhan menjadi cabang pelabuhan Tanjung Priok dan mengurangi nilai pekerjaan sebesar Rp190 juta.

GNCE baru menyerahkan 10 unit mobile crane pada 24 November tanpa dilakukan commisioning test.

Setelah dilakukan pemeriksaan, tujuh unit mobile crane QYL65 dan tiga unit mobile crane tipe QYL25 oleh tim ahli dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjahmada, Universitas Diponegoro dan Institut Teknilogi 10 November Surabaya, spesifikasi teknis dan kinerja mobile crane QYL65 dan QYL25 tidak sesuai rencana kerja dan syarat teknis pengadaan bahkan kondisi riil di lapangan tidak sesuai dengan data di buku manual.

Selanjutnya mobile crane juga mengalami kondisi buckling (tekuk) pada pipa-pipa penyusun lengan/boom sehingga membahayakan keselamatan; kondisi mobile crane baik mesin penggerak maupun aksesori pendukung diduga merupakan kondisi bekas pakai yang kemungkinan hasil rekondisi untuk memenuhi syarat RKS.

Kedua terdakwa juga tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi) dan sidang dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi pada 5 Desember 2016.