Masyarakat Adat Timika Demo Tuntut Penutupan Freeport
Senin, 20 Maret 2017 12:58 WIB
Petugas dari satuan Brimobda DIY Satgas Amole III 2015 BKO PT Freeport Indonesia berjaga di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, Sabtu (19/9). Satgas Amole III bertugas guna menjaga wiayah pertambangan Freeport dari berbagai g
Timika, ANTARA JATENG - Sekitar 50-an orang yang mengatasnamakan diri
Masyarakat Adat Independen menggelar demonstrasi di Bundaran Timika
Indah, Timika, Papua, Senin, menuntut penutupan segera PT Freeport
Indonesia.
Juru bicara demonstran Vinsen Oniyoma mengatakan sejak masuk ke Timika setelah mendapat legalitas dari undang-undang penanaman modal asing pertama tahun 1967 di Indonesia, Freeport tidak pernah melibatkan dan menghargai hak-hak masyarakat adat Amungme dan Kamoro, dua suku besar pemilik hak ulayat.
Menurut dia, Freeport baru mengucurkan dana tanggung jawab sosial perusahaan setelah aksi warga di Timika yang merenggut nyawa tahun 1996.
"Dana satu persen yang diberikan pun tidak membuahkan kesejahteraan, melainkan menimbulkan konflik internal di kalangan masyarakat akar rumput dikarenakan para elit memanfaatkan untuk kepentingannya sementara masyarakat akar rumput tidak pernah merasakan dampak CSR itu hingga saat ini," tuturnya.
Ia juga mengatakan bahwa perusahaan sudah menyebabkan kerusakan lingkungan, melanggar hak asasi manusia, dan menimbulkan konflik sosial yang melukai hati masyarakat adat.
"Banyak persepsi dan kepentingan di kalangan elit Nasional Indonesia sampai ke Papua, di mana mereka tidak pernah berbicara tentang situasi yang sebenarnya terjadi di masyarakat akar rumput yang mengalami dampak langsung dari keberadaan PT Freeport," katanya.
Oleh karena itu, dalam aksi yang dikawal belasan polisi bersenjata, Masyarakat Adat Independen menuntut penutupan Freeport dan pengauditan Freeport.
Mereka juga meminta Freeport dan pemerintah lndonesia bertanggung jawab mengembalikan kerugian akibat kerusakan alam yang terjadi akibat aktivitas penambangan perusahaan di Timika.
Baca juga: (Imigrasi: 115 pekerja asing sudah tinggalkan Freeport)
Juru bicara demonstran Vinsen Oniyoma mengatakan sejak masuk ke Timika setelah mendapat legalitas dari undang-undang penanaman modal asing pertama tahun 1967 di Indonesia, Freeport tidak pernah melibatkan dan menghargai hak-hak masyarakat adat Amungme dan Kamoro, dua suku besar pemilik hak ulayat.
Menurut dia, Freeport baru mengucurkan dana tanggung jawab sosial perusahaan setelah aksi warga di Timika yang merenggut nyawa tahun 1996.
"Dana satu persen yang diberikan pun tidak membuahkan kesejahteraan, melainkan menimbulkan konflik internal di kalangan masyarakat akar rumput dikarenakan para elit memanfaatkan untuk kepentingannya sementara masyarakat akar rumput tidak pernah merasakan dampak CSR itu hingga saat ini," tuturnya.
Ia juga mengatakan bahwa perusahaan sudah menyebabkan kerusakan lingkungan, melanggar hak asasi manusia, dan menimbulkan konflik sosial yang melukai hati masyarakat adat.
"Banyak persepsi dan kepentingan di kalangan elit Nasional Indonesia sampai ke Papua, di mana mereka tidak pernah berbicara tentang situasi yang sebenarnya terjadi di masyarakat akar rumput yang mengalami dampak langsung dari keberadaan PT Freeport," katanya.
Oleh karena itu, dalam aksi yang dikawal belasan polisi bersenjata, Masyarakat Adat Independen menuntut penutupan Freeport dan pengauditan Freeport.
Mereka juga meminta Freeport dan pemerintah lndonesia bertanggung jawab mengembalikan kerugian akibat kerusakan alam yang terjadi akibat aktivitas penambangan perusahaan di Timika.
Baca juga: (Imigrasi: 115 pekerja asing sudah tinggalkan Freeport)
Pewarta : Jeremias Rahadat
Editor :
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Mahasiswa Unsoed lakukan penelitian terhadap lumbung paceklik adat Bonokeling
15 September 2023 20:22 WIB, 2023