Karyawan Freeport Ancam Tutup Kantor Pemerintah Mimika
Kamis, 23 Maret 2017 10:48 WIB
Karyawan PT Freeport Indonesia saat berdemonstrasi di Kantor Bupati Mimika, Papua, Jumat (17/2/2017). Mereka meminta pemerintah Indonesia segera menerbitkan izin ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia. (ANTARA/Vembri Waluyas)
Timika, ANTARA jateng - Ratusan karyawan PT Freeport Indonesia yang
tergabung dalam Gerakan Solidaritas Peduli Freeport (GSPF) mengancam
akan menutup kantor Sentra Pemerintahan Kabupaten Mimika jika pemerintah
tidak segera menindaklanjuti tuntutan mereka.
"Kami akan tutup kantor sentra pemerintahan kalau pemerintah pusat tidak segera normalisasi kembali Freeport hingga 120 hari batas waktu berakhir," kata Mikhael Adii, juru bicara aksi demo, saat berorasi di halaman kantor Sentra Pemerintah Kabupaten Mimika di Timika, Kamis.
Ia mengklaim Freeport dan karyawannya telah memberi sumbangan besar kepada pemerintah, termasuk pemerintah daerah, antara lain dalam membangun kantor Sentra Pemerintahan Kabupaten Mimika.
Mereka juga mengungkapkan kekecewaan karena menilai Bupati Mimika Eltinus Omaleng tidak konsisten mengikuti kesepakatan bersama untuk menyampaikan aspirasi mereka saat demonstrasi pertama 17 Februari di kantor Sentra Pemerintah Kabupaten Mimika.
"Kami kecewa dengan Pak Bupati. Ia pergi sendiri ke Jakarta dan memperjuangkan kepentingan pribadi dengan minta saham...," tuturnya.
Demonstran, yang meliputi karyawan perusahaan dan keluarga mereka, menyampaikan orasi selama kurang lebih 30 menit lalu berkonvoi dengan kendaraan roda dua dan empat menuju bundaran Timika Indah dengan kawalan polisi.
PT Freeport Indonesia tidak lagi melakukan ekspor konsentrat tembaga, emas dan perak sejak 12 Januari 2017, setelah pemerintah tidak lagi mengizinkan perusahaan tambang melakukannya.
Pemerintah meminta Freeport mengganti rezim Kontrak Karya yang ditandatangani tahun 1991 menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Dengan mengubah kontrak karya ke IUPK sebagaimana amanat Undang-Undang No.4/2009 tentang Mineral dan Batubara, PT Freeport dan perusahaan-perusahaan pertambangan lain di Indonesia wajib membangun industri pemurnian di dalam negeri, mengikuti aturan pajak terbaru terkait ekspor konsentrat dan mengubah luasan wilayahnya hingga maksimal 25 ribu hektare.
Buntut dari kebijakan itu, sejak 10 Februari operasional tambang terbuka Grasberg dan tambang bawah tanah PT Freeport Indonesia sementara berhenti beroperasi, karena PT Freeport hanya bisa memasok 40 persen produksi konsentratnya ke pabrik pengolahan di PT Smelting Gresik, Jawa Timur.
Setelah penerapan kebijakan itu, PT Freeport dan perusahaan kontraktor serta perusahaan privatnya mulai merumahkan sebagian karyawan.
Pemerintah dan PT Freeport Indonesia belum sepakat mengenai perpanjangan kontrak perusahaan tambang tersebut.
"Kami akan tutup kantor sentra pemerintahan kalau pemerintah pusat tidak segera normalisasi kembali Freeport hingga 120 hari batas waktu berakhir," kata Mikhael Adii, juru bicara aksi demo, saat berorasi di halaman kantor Sentra Pemerintah Kabupaten Mimika di Timika, Kamis.
Ia mengklaim Freeport dan karyawannya telah memberi sumbangan besar kepada pemerintah, termasuk pemerintah daerah, antara lain dalam membangun kantor Sentra Pemerintahan Kabupaten Mimika.
Mereka juga mengungkapkan kekecewaan karena menilai Bupati Mimika Eltinus Omaleng tidak konsisten mengikuti kesepakatan bersama untuk menyampaikan aspirasi mereka saat demonstrasi pertama 17 Februari di kantor Sentra Pemerintah Kabupaten Mimika.
"Kami kecewa dengan Pak Bupati. Ia pergi sendiri ke Jakarta dan memperjuangkan kepentingan pribadi dengan minta saham...," tuturnya.
Demonstran, yang meliputi karyawan perusahaan dan keluarga mereka, menyampaikan orasi selama kurang lebih 30 menit lalu berkonvoi dengan kendaraan roda dua dan empat menuju bundaran Timika Indah dengan kawalan polisi.
PT Freeport Indonesia tidak lagi melakukan ekspor konsentrat tembaga, emas dan perak sejak 12 Januari 2017, setelah pemerintah tidak lagi mengizinkan perusahaan tambang melakukannya.
Pemerintah meminta Freeport mengganti rezim Kontrak Karya yang ditandatangani tahun 1991 menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Dengan mengubah kontrak karya ke IUPK sebagaimana amanat Undang-Undang No.4/2009 tentang Mineral dan Batubara, PT Freeport dan perusahaan-perusahaan pertambangan lain di Indonesia wajib membangun industri pemurnian di dalam negeri, mengikuti aturan pajak terbaru terkait ekspor konsentrat dan mengubah luasan wilayahnya hingga maksimal 25 ribu hektare.
Buntut dari kebijakan itu, sejak 10 Februari operasional tambang terbuka Grasberg dan tambang bawah tanah PT Freeport Indonesia sementara berhenti beroperasi, karena PT Freeport hanya bisa memasok 40 persen produksi konsentratnya ke pabrik pengolahan di PT Smelting Gresik, Jawa Timur.
Setelah penerapan kebijakan itu, PT Freeport dan perusahaan kontraktor serta perusahaan privatnya mulai merumahkan sebagian karyawan.
Pemerintah dan PT Freeport Indonesia belum sepakat mengenai perpanjangan kontrak perusahaan tambang tersebut.
Pewarta : Jeremias Rahadat
Editor :
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Tiga Karyawan subkontraktor Freeport Hirup Gas Beracun, Seorang Tewas
18 October 2017 12:10 WIB, 2017
Kelompok Bersenjata Kembali Menyerang Kendaraan Freeport, Seorang Luka
25 September 2017 13:31 WIB, 2017