Paris, ANTARA JATENG - Emmanuel Macron terpilih sebagai presiden Prancis, Minggu waktu setempat, setelah mengalahkan Marine Le Pen, nasionalis kanan ekstrem yang mengancam mengeluarkan Prancis dari Uni Eropa.

Macron menjadi pemimpin paling muda di Prancis sejak era Napoleon Bonaparte. Bankir investasi berusia 39 tahun itu pernah dua tahun menjadi menteri luar negeri Presiden Francois Hollande.

Kemenangan Macron memenuhi dahaga lama rakyat Prancis kepada hadirnya perubahan generasi pemimpin dalam politik Prancis yang selama bertahun-tahun terus-terusan diisi wajah-wajah lama.

Dia akan menjadi pemimpin paling muda di antara para pemimpin Kelompok G7. Dia disandingkan dengan pemimpin muda Barat baik di masa lalu maupun sekarang, mulai PM Kanada Justin Trudeau sampai mantan PM Inggris Tony Blair dan bahkan mendiang presiden Amerika Serikat John F. Kennedy.

Namun kemenangan 66 persen suara atas Marine Le Pen yang hanya 34 persen, diselimuti oleh tingginya angka golput yang mencapai 25 persen yang merupakan paling tinggi dalam seabad ini. Itu ditambah dengan 11 persen kotak suara hilang atau rusak selama Pilpres kemarin.

Kebanyakan dari yang abstain itu para pendukung pemimpin kubu kiri ekstrem Jean-Luc Melenchon yang berpandangan mirip dengan Le Pen karena sama-sama anti Uni Eropa dan anti globalisasi.

Melenchon hanya meraih 19 persen pada Pilpres putaran pertama, dan dia menolak mengalihkan dukungan kepada Macron yang bersama Le Pen maju ke putaran kedua.

Serikat buruh terbesar di Prancis, CFDT, menyambut kemenangan Macron namun menggarisbawahi masih tingginya suara Front Nasional pimpinan Le Pen.

Sementara itu Le Pen akan bekerja keras mengonversikan suara hasil Pilpres di parlemen dengan kian menjauhkan kaitan dengan xenofobia seperti diadopsi ayahnya, Jean Marie Le Pen. Wakilnya, Florian Philippot bahkan menyatakan tidak lagi akan menggunakan sebutan Front Nasional, demikian Reuters.