Pakar: Pemerintah Harus Lakukan Standardisasi Keamanan Siber
Jumat, 16 Juni 2017 21:14 WIB
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC) Pratama Persadha. (Dok. CISSReC))
Semarang, ANTARA JATENG - Pemerintah melalui Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) harus melakukan standardisasi keamanan siber, khususnya bagi intansi negara, perbankan, dan sektor strategis lainnya, guna memastikan keamanan bagi masyarakat, kata pakar keamanan siber Pratama Persadha.
"Apalagi, hasil survei menunjukkan bahwa kesadaran untuk mem-`backup` datanya masih tergolong cukup rendah, yakni sekitar 60 persen responden menjawab tidak membuat cadangan data, sementara mereka yang mem-`backup` data sebanyak 40 persen," katanya kepada Antara di Semarang, Jumat malam.
Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikas (CISSReC) mengemukakan hal itu ketika dikonfirmasi hasil survei Communication and Information System Security Research Centre (CISSReC) terhadap 400 responden di sembilan kota.
Pengambilan data survei di DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Kota Yogyakarta, Surabaya, Medan, Palembang, Makasar, dan Bali itu pada 1 hingga 9 juni 2017, kata Pratama, menggunakan metode "stratified multistage random sampling".
"Jumlah sampel dalam survei ini adalah 400 responden dengan `margin of error plus minus` 4,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah itu.
Menyinggung hanya 33 persen dari responden melakukan "setting" PC dan laptop Windows sebagaimana anjuran Kemenkominfo terkait dengan peretasan luar biasa oleh ransomware Wannacry beberapa waktu lalu, sementara 67 persen tidak mengikutinya, Pratama menegaskan bahwa pemerintah melalui BSSN wajib mendorong edukasi keamanan siber di tengah masyarakat.
Hal itu mengingat masyarakat di kota besar memiliki kesadaran akan risiko keamanan siber. Namun, menurut Pratama, belum diikuti dengan langkah preventif oleh masyarakat itu sendiri.
Di sisi lain ada kekhawatiran pengguna layanan internet terhadap ketidakamanan SMS/internet banking di Indonesia. Akan tetapi, lanjut dia, tidak diikuti dengan kesadaran untuk mendalami lebih lanjut mengenai regulasi yang mengatur perlindungan data pribadi.
Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) memandang perlu adanya pendekatan kultural dengan memasukkan pendidikan keamanan siber sejak dini.
"Apalagi, hasil survei menunjukkan bahwa kesadaran untuk mem-`backup` datanya masih tergolong cukup rendah, yakni sekitar 60 persen responden menjawab tidak membuat cadangan data, sementara mereka yang mem-`backup` data sebanyak 40 persen," katanya kepada Antara di Semarang, Jumat malam.
Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikas (CISSReC) mengemukakan hal itu ketika dikonfirmasi hasil survei Communication and Information System Security Research Centre (CISSReC) terhadap 400 responden di sembilan kota.
Pengambilan data survei di DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Kota Yogyakarta, Surabaya, Medan, Palembang, Makasar, dan Bali itu pada 1 hingga 9 juni 2017, kata Pratama, menggunakan metode "stratified multistage random sampling".
"Jumlah sampel dalam survei ini adalah 400 responden dengan `margin of error plus minus` 4,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah itu.
Menyinggung hanya 33 persen dari responden melakukan "setting" PC dan laptop Windows sebagaimana anjuran Kemenkominfo terkait dengan peretasan luar biasa oleh ransomware Wannacry beberapa waktu lalu, sementara 67 persen tidak mengikutinya, Pratama menegaskan bahwa pemerintah melalui BSSN wajib mendorong edukasi keamanan siber di tengah masyarakat.
Hal itu mengingat masyarakat di kota besar memiliki kesadaran akan risiko keamanan siber. Namun, menurut Pratama, belum diikuti dengan langkah preventif oleh masyarakat itu sendiri.
Di sisi lain ada kekhawatiran pengguna layanan internet terhadap ketidakamanan SMS/internet banking di Indonesia. Akan tetapi, lanjut dia, tidak diikuti dengan kesadaran untuk mendalami lebih lanjut mengenai regulasi yang mengatur perlindungan data pribadi.
Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) memandang perlu adanya pendekatan kultural dengan memasukkan pendidikan keamanan siber sejak dini.
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor :
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Pakar : Google, Facebook, dan Twitter terancam diblokir tunjukkan ketegasan pemerintah
18 July 2022 13:16 WIB, 2022
Pratama: Peretasan IG pemkot tunjukkan pengamanan digital perlu dibenahi
10 October 2021 8:35 WIB, 2021
Pakar sebut human error penyebab Facebook, WhatsApp, dan Instagram down
05 October 2021 18:33 WIB, 2021
Kebocoran data pribadi gegara peladen aplikasi lama tak di-"takedown"
02 September 2021 12:04 WIB, 2021