Semarang, ANTARA JATENG - Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat menegaskan informasi atau berita hoaks harus diantisipasi dengan edukasi kepada seluruh pihak, khususnya masyarakat sebagai pembaca.

"Edukasi harus dilakukan kepada seluruh pihak, bukan hanya wartawannya. Kalau wartawan sudah pasti antihoaks," kata Ketua Bidang Hubungan Antarlembaga dan Kerjasama SMSI Pusat Auri Jaya di Semarang, Sabtu.

Hal tersebut diungkapkannya saat pelantikan Pengurus SMSI Provinsi Jawa Tengah Periode 2017-2022, sekaligus seminar nasional bertajuk "Peran Media Siber di Era Digital" yang berlangsung di Balai Kota Semarang.

Auri mengatakan masyarakat ketika membaca informasi atau berita harus mengetahui sumber beritanya untuk memastikan bukan hoaks, kecuali berita dari media mainstream yang sudah tentu bukan berita hoaks.

"Di era digital memang muncul banyak sekali model media. Ini menyebabkan bias antara media mainstream dengan media-media yang lain. Kondisi ini tidak bisa serta melarang, membentengi, tetapi harus mengedukasi," tuturnya.

Menurut dia, sekarang ini setidaknya terdapat 136 juta pengguna internet di Indonesia yang terus menunjukkan pertumbuhan signifikan, seperti pada kuartal pertama tahun ini yang bertumbuh sekitar 10 juta pengguna.

Namun, kata Auri, dari 140-an juta pengguna internet di Indonesia sekarang ini, sebanyak 71,6 juta di antaranya adalah pengakses media sosial, seperti Facebook sehingga bukan semuanya pembaca media mainstream.

Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Kota Semarang Theodorus Yosep Parera yang menjadi pembicara juga mengakui seberapa kuat pengaruh media siber di era digital dengan berita yang sangat cepat sampai pembaca.

Dalam kondisi seperti ini, kata dia, masyarakat juga harus dilindungi dari arogansi wartawan di era siber, sebab tidak semua berita bisa asal disampaikan secara gamblang dan "telanjang" tanpa mempertimbangkan banyak hal.

"Media juga berperan menjaga sistem pemerintahan agar tidak tergoncang. Misalnya begini, ada pemerintah yang baru dilantik tetapi media sudah `mengganggu` dengan berbagai macam isu, seperti korupsi, etnis, PKI, dan sebagainya," ujarnya.

Tentunya, kata dia, pimpinan aparatur pemerintah dalam posisi seperti itu akan berkutat mempertahanan diri dari terpaan isu, bukan melayani masyarakat yang sudah menjadi tanggung jawabnya ketika dilantik menjadi pejabat.

"Berita-berita hoakz juga harus secepatnya disampaikan bagaimana sebenarnya kebenarannya, edukasi. Kaum milenial sekarang ini cenderung menganggap media sosial sebagai ruang privat, padahal ruang publik," ucapnya.

Anggota DPR RI Dr Noor Achmad yang menjadi pembicara juga mengakui peran vitalnya media siber dengan berita yang bisa tersaji setiap detik meski tetap tidak bisa menafikkan bahwa keberadaan media cetak tetap penting.

"Mungkin saja perang dunia ketiga terjadi karena siber. Ketika berita-berita sedemikian gencar di dunia maya tetapi tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya," kata politikus Partai Golkar itu.

Sementara itu, Ketua Pengurus SMSI Jateng Setiawan Hendra Kelana menjelaskan SMSI bukan organisasi personal wartawan, tetapi organisasi perusahaan media siber yang saat ini sudah 25 media siber bergabung.

"Sudah ada 27 kepengurusan SMSI tingkat provinsi, termasuk Jateng. Yang sudah tergabung di SMSI Jateng ada 25 media, tetapi kemungkinan ke depan akan terus bertambah," tambah Pemimpin Redaksi Suara Merdeka CyberNews itu.