Jakarta (ANTARA News) - Kepergian Bondan Haryo Winarno pada Rabu (29/11) mendapat banyak simpati dari berbagai kalangan, utamanya para penggemar kuliner dan kalangan yang pernah melihat penampilan pria kelahiran 29 April 1950 itu di televisi untuk acara kuliner dan juga mereka yang aktif di komunitas Jalansutra.

Kepergian Bondan untuk selamanya pertama kali dikabarkan oleh presenter Arie Parikesit melalui twitternya. Kabar itu sontak mendorong aliran simpati dari berbagai kalangan melalui berbagai akun media sosial, utamanya twitter, tempat Bondan memiliki akun dengan alamat @pakbondan.

Masyarakat mengenang Bondan Winarno sebagai sosok yang sederhana, egaliter dan mudah akrab dengan siapapun. Latar belakangnya sebagai wartawan pada dekade 1980 hingga 1990-an mengasah kemampuannya beradaptasi di berbagai lingkungan pergaulan.

Selain dunia jurnalistik, ayah dari Gwendolin Amalia Winarno, Marisol Winarno dan Eliseo Raket Winarno ini juga aktif dalam dunia usaha ditandai dengan sejumlah pengalaman dan jabatan di perusahaan swasta.

Pada 1984-1987 ia menjadi redaktur kepala majalah SWA. Pada 1987-1994 ia beralih menjadi pengusaha dan menjabat sebagai Presiden Ocean Beauty International, sebuah perusahaan makanan laut yang berbasis di Seattle Washington, Amerika Serikat.

Sedangkan, antara 1998-1999 ia menjadi konsultan untuk Bank Dunia di Jakarta, dan setelah itu, hingga Tahun 2000 ia menjadi direktur eksekutif dari sebuah organisasi pelestarian lingkungan. Kemudian, pada 2001-2003 ia menjadi pemimpin redaksi harian Suara Pembaruan.

Kepiwaian Bondan dalam menilai makanan mulai dikenal masyarakat secara luas setelah ia membawakan acara kuliner di sebuah stasiun televisi swasta.

Dengan pembawaannya yang khas, secara tak langsung ia memopulerkan kepada masyarakat sebuah pola wisata baru yang tak hanya mengunjungi objek wisata berbasis keindahan alam, namun juga menjadi salah satu pendorong ketertarikan warga terhadap wisata kuliner.

Salah satu sahabat Bondan, William Wongso mengenang dia sebagai sosok yang turut memopulerkan makanan Indonesia bagi masyarakat Indonesia.

"Almarhum Pak Bondan yang memacu masyarakat Indonesia untuk niat mencicipi masakan luar daerah melalui program Wisata Kuliner-Maknyus dan Twitter," katanya.

Jalansutra adalah sebuah komunitas yang diinisasi oleh Bondan Winarno. Bondan juga menuliskan pengalamannya melakukan perjalanan kuliner pada kolom di sejumlah media.

Berawal dari milis yang dibentuk bersama Wasis Gunarto, Jalansutra merupakan forum tempat pegiatnya bisa bertukar informasi, khususnya tentang makanan. Tulisan-tulisan di milis ini bahkan telah dibukukan.

Bondan sendiri menulis buku dengan judul Jalansutra: kumpulan kolom tentang jalan-jalan dan makan-makan di Suara Pembaruan Minggu dan Kompas Cyber Media yang diterbitkan pada 2003.



Jurnalisme Investigasi

Kepiawaian Bondan tak hanya di bidang "icip-icip" makanan sambil menjelaskan bahan baku dan tata cara memasak hidangan yang tengah dicobanya. Keandalan lain yang dimiliki olehnya, tak jauh dari dunia jurnalistik, adalah menulis.

Dikutip dari wikipedia, sejumlah buku telah dihasilkan sepanjang 1979 hingga dekade 2000-an. Selain tentang jurnalistik, tulisannya juga mencakup tentang manajemen, bahkan hingga novel dan kumpulan cerita pendek.

Dan salah satu yang fenomenal adalah tulisannya tentang Bre-X, sebuah perusahaan pertambangan emas dan diakui sebagai salah satu liputan berbasis jurnalisme investigasi.

Melalui buku yang diterbitkan Juni 1997 itu dengan judul Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi, Bondan melakukan serangkaian tahapan pengumpulan data, verifikasi hingga penarikan kesimpulan atas kasus kematian salah satu petinggi perusahaan yang mengklaim menemukan cadangan emas di kawasan Busang, Kalimantan Timur, yang kenyataannya tidak seperti yang diklaim oleh perusahaan asal Kanada tersebut.

Jurnalis dan salah satu praktisi liputan dokumenter, Dandhy Dwi Laksono dalam bukunya tentang Jurnalisme Investigasi sempat menyinggung bagaimana pola kerja Bondan Winarno untuk menguak tabir misteri kematian De Guzman, salah satu petinggi perusahaan pertambangan tersebut.

Untuk menelusuri data dan membuktikan sejumlah fakta, bahkan Bondan mendatangi Manila, Filipina, untuk melihat langsung makam yang diklaim tempat jenazah De Guzman dimakamkan dan juga mengunjungi banyak tempat lainnya.

Atas apa yang dilakukan Bondan, Dandhy dalam bukunya mengatakan,"...jurnalis manapun sependapat bahwa dari karya Bondan Winarno ini banyak dimensi yang bisa dipelajari, baik ketekunan riset, metode peliputan, strategi membangun jaringan, teknik wawancara, logistik peliputan hingga implikasi hukum setelah publikasi."

Dandhy menambahkan komentarnya,"....oh ya satu lagi, Bondan melakukan semua ini pada usia 47 tahun. Usia ketika rata-rata wartawan senior Indonesia memilih memerintahkan anak buahnya daripada terjun sendiri. Apa yang dilakukan Bondan adalah gambaran sebuah praktik jurnalistik yang kerap disebut dengan gagah sebagai : jurnalisme investigasi."

Tak hanya piawai memikat masyarakat untuk mencoba berbagai jenis masakan khas Nusantara, Bondan juga memiliki kemampuan membedah isu dengan menggunakan pendekatan investigasi dan langkahnya menjadi panutan bagi banyak jurnalis yang mendalami liputan investigasi.

Ketika ia meninggal, bukan hanya kenangan atas semboyan "maknyus" yang diikuti dengan kode tangan kanan diangkat dan jari mengisyaratkan huruf "O" namun juga kenangan bahwa Bondan memiliki peran dalam mengembangkan kualitas jurnalistik Indonesia melalui etos kerja dan tulisannya.(Editor : Fitri Supratiwi).