Indonesia memiliki potensi bencana yang cukup besar. Adapun indikasinya adalah berbagai peristiwa yang terjadi terus-menerus atau bergantian di tiap wilayah.

        Bencana yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia adalah banjir, gempa, dan tanah longsor. Baru-baru ini, terjadi erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara. Erupsi tersebut tentu saja menimbulkan kerugian tidak sedikit.

        Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) didukung oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPMD) dan berbagai organisasi yang relevan, yaitu TNI, Polri, Basarnas, PMI, Kementerian Sosial, dan berbagai perangkat pendukung, seperti sukarelawan berbagai organisasi telah memiliki pengalaman untuk melakukan mitigasi, penanganan, hingga pascabencana.

        Walaupun demikian, sampai saat ini, berdasar pengamatan terhadap berbagai pemberitaan bencana di Indonesia, masih menunjukkan problematika di lapangan. Problematika tersebut menyangkut komunikasi, informasi, koordinasi, dan kerja sama (KIKK) terhadap beberapa kelompok rentan.

        Terdapat beberapa kelompok yang sangat rentan mendapat imbas dari bencana, yakni perempuan, anak-anak, para usia lanjut, dan difabel. Mereka merupakan kelompok yang paling dominan menjadi korban saat bencana. Keberadaan mereka selalu di rumah sehingga sulit mendapatkan akses informasi saat bencana tiba.

        Berbagai peristiwa bencana yang menaruh beban lebih berat terhadap perempuan menjadi salah satu pelajaran penting bagi pemerintah Indonesia untuk memasukkan perspektif gender dalam setiap kebijakan penanganan bencana.

        Selama ini, sistem penanganan bencana di Indonesia kurang melibatkan gender dan tidak menganalisis peran-peran gender yang timpang di tengah masyarakat (Women's Communication and Information Centre, 2013).

        Berbagai fakta global menyatakan bahwa korban bencana lebih banyak daripada kalangan perempuan dan anak-anak. Pada banyak kasus, perempuan sulit menyelamatkan diri ketika terjadi bencana.

        Pasalnya, perempuan dihadapkan dengan tugas sebagai ibu yang harus memastikan keselamatan anggota keluarga mereka, yaitu anak dan lansia atau orang tua.

        Terkait dengan hal tersebut, Elaine Enarson (2000) menyatakan bahwa gender membentuk dunia sosial ketika berbagai peristiwa alam terjadi. Kaum perempuan "dibuat" menjadi lebih rentan terhadap bencana melalui peran sosial yang dibangun untuk mereka.

        Selain itu, perempuan memiliki lebih sedikit akses ke sumber daya. Misalnya, transportasi, informasi, kontrol sumber daya alam dan ekonomi, mobilitas individu, bebas dari kekerasan, serta sedikitnya kendali oleh perempuan atas pengambilan keputusan dalam penanganan bencana.

        Sedikitnya akses perempuan terhadap berbagai sumber daya dikarenakan masyarakat Indonesia masih menerapkan relasi gender asimetris. Relasi gender asimetris merupakan relasi ketika sumber daya dan sumber pengetahuan masih dikuasai laki-laki (Sunarto, 2009).

   
               Ideologi Patriarki
   Relasi asimetris disebabkan oleh ideologi patriarki. Sebagai sebuah ideologi, patriarki merupakan "belief system", "world view", dan "value" yang mengakar kuat. Ideologi patriarki tidak merefleksikan realita secara akurat, bahkan bisa merendahkan pihak lain (Milan, Hoynes, Croteau, 2012).

        Relita semu bentukan ideologi patriarki ini telah merugikan perempuan korban bencana alam. Oleh karena itu, diperlukan advokasi politis semacam kritik untuk mengusahakan terpenuhinya kebutuhan khusus bagi perempuan korban bencana alam.

        Kebijakan penanganan bencana yang tidak sadar gender menimbulkan berbagai persoalan ketika perempuan harus berada di pengungsian yang terkait dengan posisinya sebagai perempuan.

        Beberapa kebutuhan khusus bagi perempuan tidak dapat terpenuhi dengan maksimal. Misalnya, pembalut, susu bayi, ketersediaan air bersih, dan MCK yang tidak aman bagi perempuan.

        Dalam penanganan bencana, hampir seluruh bantuan yang datang merupakan bantuan umum, tidak terkait dengan kebutuhan khusus perempuan. Bantuan umum tersebut biasanya berupa mi instan, roti, dan makanan kering. Bantuan tersebut memang penting. Namun, belum bisa memberikan pemenuhan khusus yang penting bagi perempuan.

        Persoalan bantuan pengungsi yang tidak menjangkau kebutuhan perempuan disebabkan karena perempuan tidak dilibatkan dalam pendataan kebutuhan. Hampir sebagian besar para pengambil keputusan atau orang-orang yang terlibat dalam penentuan ini adalah laki-laki yang hanya berpikir secara umum, tidak memikirkan kebutuhan khusus perempuan.

        Penanganan bencana selalu mengutamakan hal-hal yang dianggap utama dan prioritas. Pemahaman mengenai prioritas tidak menjadikan perempuan sebagai bagian yang penting dan utama. Akibatnya, kebutuhan perempuan yang secara spesifik diperlukan tidak tersedia.

        Pada akhirnya, peristiwa bencana dan aspek manajemen bencana perlu menyentuh persoalan gender. Oleh karena itu, faktor-faktor determinan yang penting bagi perempuan perlu dikembangkan dan diaplikasikan.

        Faktor-faktor yang sering menjadi persoalan adalah komunikasi, informasi, koordinasi, dan kerja sama yang belum menyentuh persoalan gender.

        Pendekatan yang perlu diketahui, dipahami, dan diimplementasikan adalah melalui prinsip kesadaran gender. Prinsip tersebut harus terintegrasi ke dalam sistem. Hal tersebut bertujuan agar tercipta upaya sinergis dan terintegrasi dari lembaga yang ditugaskan untuk menangani bencana dan lembaga pendukung lainnya.

        Pemenuhan kesadaran gender perlu diterapkan ke dalam seluruh sistem pemahaman yang kuat dalam melaksanakan upaya pengurangan risiko bencana.

        Hal tersebut sebenarnya penting dalam pendekatan sistem penanganan bencana berbasis gender. Sistem penanganan bencana berbasis gender, yaitu integrasi proses antarkomponen dalam melakukan gerakan dan tindakan untuk menyelamatkan korban dan potensi korban bencana dengan memprioritaskan kaum rentan, yakni perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas.

        Selain itu, dalam sebuah sistem penanganan bencana dibutuhkan lebih banyak peran sukarelawan perempuan guna mewujudkan sistem sebagai instrumen yang berkeadilkan gender dan sistem sebagai "outcome" yang berkeadilan gender.

        Korban bencana perempuan juga harus dilibatkan guna menghadirkan sudut pandang perempuan mengenai kebutuhan yang diperlukan di pengungsian.

        Dengan demikian, kebutuhan khusus yang penting bagi perempuan terpenuhi. Artinya, secara moral dan politis perempuan memiliki tempat untuk menyuarakan pendapatnya sendiri, tidak melalui pendapat laki-laki. Pendapat laki-laki tentu saja berpihak pada pemenuhan kebutuhan laki-laki.

   
*) Penulis adalah mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi (Mikom) Universitas Diponegoro Semarang.