"Dalam perda sebelumnya, muatannya ada yang masih relevan, sudah tidak relevan, dan ada sama sekali belum diatur sesuai dengan zamannya, karena itulah kita lakukan revisi," kata Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bali I Nyoman Parta disela-sela sidang paripurna DPRD provinsi setempat, di Denpasar, Senin.
Menurut politisi dari PDI Perjuangan itu, dalam revisi perda tersebut akan lebih diatur mengenai tanggung jawab pemerintah dalam pelestarian dan pembinaan bahasa, aksara, dan sastra Bali misalnya dalam penyiapan kurikulum, buku-buku, dan bahan ajar.
"Termasuk menyangkut tentang penggunaan aksara Bali dalam fasilitas publik, seperti di plang nama jalan, kantor pemerintahan, serta ada momen tertentu baik di sekolah, tempat umum, instansi untuk menggunakan bahasa Bali halus," ujar Parta pada sidang paripurna terkait revisi Perda No 3 Tahun 1992 tersebut.
Tidak ketinggalan, keberadaan penyuluh bahasa Bali yang selama 1,5 tahun ini ditugaskan di setiap desa di Pulau Dewata juga akan diatur pada revisi perda tersebut.
"Penyuluh bahasa Bali selama ini hanya diatur melalui Peraturan Gubernur Bali. Selain itu, kami melihat kinerja penyuluh juga bagus, seperti berhasil mengidentifikasi sekitar 8.000 lontar dengan isinya yang berbeda-beda," ucapnya.
Selain itu, lanjut Parta, para penyuluh pun sudah menemukan banyak cerita rakyat di desa-desa dan itu diinventarisasi. Dengan adanya revisi perda, maka tentu akan ada pencetakan dan penulisan kembali terhadap cerita rakyat tersebut.
Pihaknya berharap lewat revisi perda yang inisiatif datang dari jajaran legislatif itu akan diatur mengenai penghargaan bagi para sastrawan, dalang, hingga penuturnya karena selama ini dipandang perhatian pemerintah masih sangat minim.
Tak hanya itu, kalangan swasta pun diharapkan turut serta agar menggunakan nama kantor dengan bertuliskan aksara bali, menggunakan bahasa Bali halus pada hari-hari tertentu, serta dapat berkontribusi langsung melalui dana CSR untuk pelestarian bahasa, aksara, dan sastra Bali. (Editor : Tasrif Tarmizi).