LPP PWI: Hindari bongkar pasang peraturan perundang-undangan
Kamis, 22 Maret 2018 8:41 WIB
Ketua LPP PWI Provinsi Jateng Zainal Abidin Petir, S.Pd., S.H., M.H (Foto: Dj. Kliwantoro)
Semarang (Antaranews Jateng) - Lembaga Pemantau Pemilu PWI Provinsi Jawa Tengah meminta pemerintah dan DPR RI untuk menghindari bongkar pasang pasal dalam peraturan perundang-undangan, khususnya pemilihan kepala daerah, apalagi perubahan atas undang-undang itu di tengah peserta pilkada berkampanye.
"Undang-undang itu harus komprehensif, jangan bolak-balik bongkar pasang pasal maupun ayat, kok, kayak bikin tata tertib rukun tetangga (RT) atau rukun warga (RW) saja sih," kata Ketua Lembaga Pemantau Pemilu (LPP) PWI Provinsi Jateng Zaenal Abidin Petir di Semarang, Kamis pagi.
Petir menambahkan bahwa pembuat peraturan perundang-undangan harus bersih dan terbebas dari kepentingan politik kelompok. Mereka harus berpikir demi kepentingan masyarakat secara menyeluruh.
Ia mengemukakan hal itu ketika merespons wacana perubahan kembali atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Undang-undang ini mengalami perubahan hingga dua kali, yakni pertama UU Nomor 8/2015 dan terakhir melalui UU Nomor 10/2016.
"Sebenarnya, revisi UU tidak ada masalah karena memang ada landasan hukumnya," kata Petir yang juga Koordinator Bidang Penyelesaian Sengketa Informasi Publik Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah.
Di dalam UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga mengatur tentang revisi atau perubahan manakala undang-undang sudah tidak sesuai dengan perkembangan yang ada. Apalagi dengan perkembangan banyaknya calon kepala daerah yang menjadi tersangka.
"Kalaupun di dalam UU Pilkada tidak menjadikan partai pengusung serta-merta harus mengganti, tetapi secara sosial kemasyarakatan sungguh menyakitkan dan memalukan calon pemimpin, kok, kotor tidak berintegritas," katanya.
Mestinya sejak awal pembentukan UU Pilkada harus sudah mengakomodasi mekanisme penggantian calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang berstatus tersangka.
"Ini yang menjadi pertanyaan bagaimana dahulu naskah akademik dan teman-teman dewan ketika melakukan pembahasan?" katanya.
Ia menegaskan bahwa UU Pilkada ini untuk menjaring calon pemimpin negara, dalam hal ini kepala daerah selaku wakil pemerintah di daerah. Dengan demikian, kalau membuat peraturan perundang-undangan terkait dengan pemilihan kepala daerah harus cermat.
Begitu pula Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi amanat dalam UU Pilkada untuk tugas atribusi mengeluarkan peraturan KPU. Penyelenggara pemilu harus cerdas.
"Jadi, peraturan yang dikeluarkan benar-benar bisa menjadikan kepastian hukum," kata Petir.
"Undang-undang itu harus komprehensif, jangan bolak-balik bongkar pasang pasal maupun ayat, kok, kayak bikin tata tertib rukun tetangga (RT) atau rukun warga (RW) saja sih," kata Ketua Lembaga Pemantau Pemilu (LPP) PWI Provinsi Jateng Zaenal Abidin Petir di Semarang, Kamis pagi.
Petir menambahkan bahwa pembuat peraturan perundang-undangan harus bersih dan terbebas dari kepentingan politik kelompok. Mereka harus berpikir demi kepentingan masyarakat secara menyeluruh.
Ia mengemukakan hal itu ketika merespons wacana perubahan kembali atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Undang-undang ini mengalami perubahan hingga dua kali, yakni pertama UU Nomor 8/2015 dan terakhir melalui UU Nomor 10/2016.
"Sebenarnya, revisi UU tidak ada masalah karena memang ada landasan hukumnya," kata Petir yang juga Koordinator Bidang Penyelesaian Sengketa Informasi Publik Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah.
Di dalam UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga mengatur tentang revisi atau perubahan manakala undang-undang sudah tidak sesuai dengan perkembangan yang ada. Apalagi dengan perkembangan banyaknya calon kepala daerah yang menjadi tersangka.
"Kalaupun di dalam UU Pilkada tidak menjadikan partai pengusung serta-merta harus mengganti, tetapi secara sosial kemasyarakatan sungguh menyakitkan dan memalukan calon pemimpin, kok, kotor tidak berintegritas," katanya.
Mestinya sejak awal pembentukan UU Pilkada harus sudah mengakomodasi mekanisme penggantian calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang berstatus tersangka.
"Ini yang menjadi pertanyaan bagaimana dahulu naskah akademik dan teman-teman dewan ketika melakukan pembahasan?" katanya.
Ia menegaskan bahwa UU Pilkada ini untuk menjaring calon pemimpin negara, dalam hal ini kepala daerah selaku wakil pemerintah di daerah. Dengan demikian, kalau membuat peraturan perundang-undangan terkait dengan pemilihan kepala daerah harus cermat.
Begitu pula Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi amanat dalam UU Pilkada untuk tugas atribusi mengeluarkan peraturan KPU. Penyelenggara pemilu harus cerdas.
"Jadi, peraturan yang dikeluarkan benar-benar bisa menjadikan kepastian hukum," kata Petir.
Pewarta : Kliwon
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024