Ekonom: Perang dagang AS-Tiongkok hambat pertumbuhan ekonomi RI
Senin, 29 Oktober 2018 13:49 WIB
Nugroho SBM. (Foto: undip.ac.id)
Semarang (Antaranews Jateng) - Perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok serta menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ikut menghambat pencapaian target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018, kata ekonom Dr. Nugroho SBM.
"Pemerintah agak berat bisa mencapai target pertumbuhan 5,4 persen pada tahun ini. Kita tidak tahu kapan perang dagang AS dengan China berakhir, rupiah juga masih belum stabil," ujarnya di Semarang, Senin.
Perang dagang tersebut berimbas pada tertahannya arus keluar barang karena kedua negara tersebut bersikap protektif, padahal AS dan China termasuk pasar penting produk Indonesia.
Oleh karena itu, ia memprediksi pertumbuhan ekonomi pada 2018 sekitar 5,2-5,3 persen atau lebih rendah dibanding target pemerintah 5,4 persen.
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang tersebut menjelaskan kebijakan efisiensi sektor kepabeanan dan perpajakan yang belum sepenuhnya rampung.
Padahal jika reformasi kedua sektor tersebut berjalan bakal ikut mendorong pertumbuhan karena arus masuk-keluar barang di pelabuhan bisa lebih lancar dan masa tunggu (dwell time) juga lebih pendek. ?
Faktor domestik lain yang punya andil realisasi target pertumbuhan lebih rendah, menurut dia, cukup besarnya defisit neraca perdagangan. "Impor naik, sementara kenaikan volume ekspornya tidak bisa mengimbangi," katanya.
Neraca perdagangan Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik, pada Agustus 2018 masih defisit ?Rp15 triliun lebih (1,02 miliar dolar AS). Dibanding bulan sebelumnya, ?defisit tersebut menurun tajam karena pada Juli 2018 defisit 2,03 miliar dolar AS.
Bila tensi perang dagang China-AS mereda dan rupiah relatif stabil, ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa lebih tinggi seiring dengan beroperasinya infrastruktur.
Nugroho menyatakan pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, jalan raya, hingga bandara, yang masih berlangsung saat ini, kelak bakal mendorong lebih kencang perekonomian antardaerah sehingga pertumbuhan ekonomi nasional juga bakal lebih tinggi.
Mengenai kenaikan harga bakan bakar minyak nonsubsidi, ia menyatakan bahwa hal itu juga berpengaruh pada kemampuan daya saing produk Indonesia.
"Pemerintah agak berat bisa mencapai target pertumbuhan 5,4 persen pada tahun ini. Kita tidak tahu kapan perang dagang AS dengan China berakhir, rupiah juga masih belum stabil," ujarnya di Semarang, Senin.
Perang dagang tersebut berimbas pada tertahannya arus keluar barang karena kedua negara tersebut bersikap protektif, padahal AS dan China termasuk pasar penting produk Indonesia.
Oleh karena itu, ia memprediksi pertumbuhan ekonomi pada 2018 sekitar 5,2-5,3 persen atau lebih rendah dibanding target pemerintah 5,4 persen.
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang tersebut menjelaskan kebijakan efisiensi sektor kepabeanan dan perpajakan yang belum sepenuhnya rampung.
Padahal jika reformasi kedua sektor tersebut berjalan bakal ikut mendorong pertumbuhan karena arus masuk-keluar barang di pelabuhan bisa lebih lancar dan masa tunggu (dwell time) juga lebih pendek. ?
Faktor domestik lain yang punya andil realisasi target pertumbuhan lebih rendah, menurut dia, cukup besarnya defisit neraca perdagangan. "Impor naik, sementara kenaikan volume ekspornya tidak bisa mengimbangi," katanya.
Neraca perdagangan Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik, pada Agustus 2018 masih defisit ?Rp15 triliun lebih (1,02 miliar dolar AS). Dibanding bulan sebelumnya, ?defisit tersebut menurun tajam karena pada Juli 2018 defisit 2,03 miliar dolar AS.
Bila tensi perang dagang China-AS mereda dan rupiah relatif stabil, ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa lebih tinggi seiring dengan beroperasinya infrastruktur.
Nugroho menyatakan pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, jalan raya, hingga bandara, yang masih berlangsung saat ini, kelak bakal mendorong lebih kencang perekonomian antardaerah sehingga pertumbuhan ekonomi nasional juga bakal lebih tinggi.
Mengenai kenaikan harga bakan bakar minyak nonsubsidi, ia menyatakan bahwa hal itu juga berpengaruh pada kemampuan daya saing produk Indonesia.
Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024