Marissa Anita: Tanpa medsos saya bisa lebih produktif
Rabu, 29 Mei 2019 12:53 WIB
Marissa Anita. (ANTARA News/Natisha Andarningtyas)
Jakarta (ANTARA) - Aktris dan jurnalis Marissa Anita sejak beberapa tahun belakangan ini menutup semua akun media sosial yang dimilikinya agar bisa fokus melakukan hal-hal yang dicintainya.
"Deaktivasi, awalnya setahun, tapi itu (media sosial) bisa aktivasi kapan pun. Cuma saya sudah merasa terlalu nyaman tanpa medsos karena saya bisa lebih produktif," Marissa saat ditemui di acara "Gundala", Selasa (28/5) malam.
Pembicaraan mengenai media sosial rupanya salah satu yang digemari Marissa, apalagi pada 2016 lalu dia meneruskan sekolah di Inggris Raya yang berkaitan dengan media sosial.
Marissa tidak pernah menyatakan media sosial adalah hal yang buruk, namun, dia mengaku media sosial memberinya distraksi.
"Saya merasa enggak bisa fokus seperti dulu sebelum ada medsos. Tidak pernah membiarkan diri saya merasa bosan, padahal rasa bosan itu membuat otak kita berputar dan berkreasi," kata Marissa.
Dia pertama kali "puasa medsos" pada 2016 lalu, saat sekolah di Inggris. Marissa merasa kehidupannya di sana sebagai mahasiswa sangat berbeda sehingga dia tidak perlu terus-menerus membagikan aktivitasnya di dunia maya.
Pada masa itu, Marissa mengurangi penggunaan media sosial, kadang membuka, kadang tidak. Setelah membaca buku mengenai media sosial, dia baru tersadar distraksi yang ditimbulkan media sosial mengurangi produktivitasnya.
"Sudah saya rasakan dari 2016, tapi waktu itu belum sadar penuh".
Dia pun mulai merenungi arti pertemanan, selama ini Marissa merasa dia dapat terhubung dengan teman-temannya melalui media sosial, misalnya dengan memberikan "like".
Menurut dia saat itu, dengan memberikan "like", cukup untuk terhubung dengan temannya.
"That’s not real connection," kata Marissa.
Ketika mulai meninggalkan media sosial, Marissa harus memakai "cara lama" untuk mengetahui kabar teman-temannya: menelepon lalu mengajak bertemu.
"Ternyata tidak cukup, apa arti sebuah 'like' kalau saya nggak pernah duduk, ngopi sama kamu," kata Marissa.
Pun ketika bertemu, ada kalanya orang yang diajak bertemu sibuk dengan gawainya, bisa jadi mengakses media sosial. Marissa gusar dengan keadaan seperti itu, bagi dia, buat apa berada di tempat yang sama, namun sebenarnya pikiran tidak berada di sana.
Marissa juga mulai memperhatikan hubungan media sosial dengan kesehatan mental, menurut dia hubungannya tidak berbanding lurus. Semakin tinggi durasi akses media sosial, bisa jadi kualitas kesehatan mental seseorang menurun.
Dia memberi contoh, unggahan-unggahan di media sosial dapat membuat seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain, bisa dalam tingkat rendah maupun tinggi.
Semakin sering membandingkan, seseorang mulai mempertanyakan mengapa kehidupannya tidak bisa seperti itu.
Menurut Marissa, kondisi seperti itu sama saja seperti "memukul" diri sendiri dengan hal-hal yang kurang penting.
"Makanya saya nggak mau pusing dengan hal-hal itu, nggak mau waktu saya terbuang, nggak mau kesehatan mental saya terganggu, jadi akhirnya saya puasa medsos," kata dia.
Bukan hanya kesehatan mental yang menjadi perhatian Marissa tentang akses media sosial, gawai yang digunakan juga menimbulkan masalah baru jika terlalu sering digunakan yaitu sulit tidur.
Cahaya biru atau blue light yang dipancarkan ponsel kurang lebih sama dengan cahaya matahari. Ketika mengakses ponsel, terutama dekat dengan waktu tidur, mata akan merespons cahaya tersebut sebagai tanda hari masih terang sehingga akan menyulitkan untuk beristirahat.
Marissa merasakan hal yang signifikan setelah beberapa waktu ini tidak mengakses media sosial.
"Tiba-tiba saya merasa punya lebih banyak waktu dan lebih fokus," kata dia.
Dia mengaku saat ini dia bisa mencurahkan diri 100 persen ke hal-hal yang disukainya, sementara saat masih aktif ber-media sosial dia hanya bisa memberikan 80 persen fokusnya karena ada distraksi.
Tips a la Marissa Anita
Marissa Anita memberikan salah satu cara bagaimana mengurangi pemakaian media sosial, yaitu tidak pernah mengisi ulang daya ponselnya di kamar.
Marissa mengisi daya gawainya di luar kamar dan kondisi ponsel mati total.
Bagi dia, mematikan ponsel berarti juga menstimulasi otak untuk beristirahat karena tidak perlu mengecek ponsel.
Jika ponsel terus menyala, biasanya muncul kekhawatiran ada yang menghubungi sehingga dia akan terus mengecek ponsel dan tidak bisa beristirahat.
Ada kalanya orang tidak bisa menahan diri saat mengakses media sosial, semula rencana hanya ingin buka media sosial selama 5 menit, tidak sadar menjadi satu jam.
Padahal dalam waktu satu jam, Marissa bisa melakukan hal-hal yang disukainya seperti menulis, minum kopi bersama teman hingga bermain teater.
Baca juga: Soal pembatasan media sosial, Ernest: waktunya bergaul dengan sesama
Baca juga: Tiga langkah pemerintah agar dunia maya tetap damai
"Deaktivasi, awalnya setahun, tapi itu (media sosial) bisa aktivasi kapan pun. Cuma saya sudah merasa terlalu nyaman tanpa medsos karena saya bisa lebih produktif," Marissa saat ditemui di acara "Gundala", Selasa (28/5) malam.
Pembicaraan mengenai media sosial rupanya salah satu yang digemari Marissa, apalagi pada 2016 lalu dia meneruskan sekolah di Inggris Raya yang berkaitan dengan media sosial.
Marissa tidak pernah menyatakan media sosial adalah hal yang buruk, namun, dia mengaku media sosial memberinya distraksi.
"Saya merasa enggak bisa fokus seperti dulu sebelum ada medsos. Tidak pernah membiarkan diri saya merasa bosan, padahal rasa bosan itu membuat otak kita berputar dan berkreasi," kata Marissa.
Dia pertama kali "puasa medsos" pada 2016 lalu, saat sekolah di Inggris. Marissa merasa kehidupannya di sana sebagai mahasiswa sangat berbeda sehingga dia tidak perlu terus-menerus membagikan aktivitasnya di dunia maya.
Pada masa itu, Marissa mengurangi penggunaan media sosial, kadang membuka, kadang tidak. Setelah membaca buku mengenai media sosial, dia baru tersadar distraksi yang ditimbulkan media sosial mengurangi produktivitasnya.
"Sudah saya rasakan dari 2016, tapi waktu itu belum sadar penuh".
Dia pun mulai merenungi arti pertemanan, selama ini Marissa merasa dia dapat terhubung dengan teman-temannya melalui media sosial, misalnya dengan memberikan "like".
Menurut dia saat itu, dengan memberikan "like", cukup untuk terhubung dengan temannya.
"That’s not real connection," kata Marissa.
Ketika mulai meninggalkan media sosial, Marissa harus memakai "cara lama" untuk mengetahui kabar teman-temannya: menelepon lalu mengajak bertemu.
"Ternyata tidak cukup, apa arti sebuah 'like' kalau saya nggak pernah duduk, ngopi sama kamu," kata Marissa.
Pun ketika bertemu, ada kalanya orang yang diajak bertemu sibuk dengan gawainya, bisa jadi mengakses media sosial. Marissa gusar dengan keadaan seperti itu, bagi dia, buat apa berada di tempat yang sama, namun sebenarnya pikiran tidak berada di sana.
Marissa juga mulai memperhatikan hubungan media sosial dengan kesehatan mental, menurut dia hubungannya tidak berbanding lurus. Semakin tinggi durasi akses media sosial, bisa jadi kualitas kesehatan mental seseorang menurun.
Dia memberi contoh, unggahan-unggahan di media sosial dapat membuat seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain, bisa dalam tingkat rendah maupun tinggi.
Semakin sering membandingkan, seseorang mulai mempertanyakan mengapa kehidupannya tidak bisa seperti itu.
Menurut Marissa, kondisi seperti itu sama saja seperti "memukul" diri sendiri dengan hal-hal yang kurang penting.
"Makanya saya nggak mau pusing dengan hal-hal itu, nggak mau waktu saya terbuang, nggak mau kesehatan mental saya terganggu, jadi akhirnya saya puasa medsos," kata dia.
Bukan hanya kesehatan mental yang menjadi perhatian Marissa tentang akses media sosial, gawai yang digunakan juga menimbulkan masalah baru jika terlalu sering digunakan yaitu sulit tidur.
Cahaya biru atau blue light yang dipancarkan ponsel kurang lebih sama dengan cahaya matahari. Ketika mengakses ponsel, terutama dekat dengan waktu tidur, mata akan merespons cahaya tersebut sebagai tanda hari masih terang sehingga akan menyulitkan untuk beristirahat.
Marissa merasakan hal yang signifikan setelah beberapa waktu ini tidak mengakses media sosial.
"Tiba-tiba saya merasa punya lebih banyak waktu dan lebih fokus," kata dia.
Dia mengaku saat ini dia bisa mencurahkan diri 100 persen ke hal-hal yang disukainya, sementara saat masih aktif ber-media sosial dia hanya bisa memberikan 80 persen fokusnya karena ada distraksi.
Tips a la Marissa Anita
Marissa Anita memberikan salah satu cara bagaimana mengurangi pemakaian media sosial, yaitu tidak pernah mengisi ulang daya ponselnya di kamar.
Marissa mengisi daya gawainya di luar kamar dan kondisi ponsel mati total.
Bagi dia, mematikan ponsel berarti juga menstimulasi otak untuk beristirahat karena tidak perlu mengecek ponsel.
Jika ponsel terus menyala, biasanya muncul kekhawatiran ada yang menghubungi sehingga dia akan terus mengecek ponsel dan tidak bisa beristirahat.
Ada kalanya orang tidak bisa menahan diri saat mengakses media sosial, semula rencana hanya ingin buka media sosial selama 5 menit, tidak sadar menjadi satu jam.
Padahal dalam waktu satu jam, Marissa bisa melakukan hal-hal yang disukainya seperti menulis, minum kopi bersama teman hingga bermain teater.
Baca juga: Soal pembatasan media sosial, Ernest: waktunya bergaul dengan sesama
Baca juga: Tiga langkah pemerintah agar dunia maya tetap damai
Pewarta : Natisha Andarningtyas
Editor : Edhy Susilo
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Kemensos: Pendamping sosial harus bisa tangani semua permasalahan yang ada di masyarakat
22 October 2022 9:31 WIB, 2022
Anita Kolopaking ditahan, Polri: Kalau tak terima, silakan praperadilan
09 August 2020 22:01 WIB, 2020
Pengacara Anita Kolopaking bakal diperiksa sebagai tersangka kasus Djoko Tjandra
03 August 2020 19:47 WIB, 2020