Dari jumlah tersebut, 1.107 orang dinyatakan sembuh dan 743 orang meninggal.
Masih di laman yang sama, COVID-19 telah menyebar ke 213 negara di dunia dan wilayah/teritorial.
Hampir semua negara setiap hari melaporkan perkembangan kejadian COVID-19, baik mengenai jumlah yang positif, sembuh, maupun meninggal.
Di antara mereka yang meninggal tersebut --dan kondisi ini menjadi keprihatinan bersama-- adalah para tenaga kesehatan, baik dokter, perawat, maupun tenaga kesehatan terkait lainnya --yang selama ini banyak diposisikan sebagai garda terdepan dalam "perang" menghadapi virus mematikan itu.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengonfirmasi bahwa tidak kurang dari 24 dokter meninggal akibat virus corona, sedangkan Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI) Harif Fadillah mengonfirmasi sekurangnya 16 perawat meninggal dunia terkait virus itu.
Dari data itu, tidak kurang dari 40 tenaga kesehatan telah gugur dalam tugas berat menangani COVID-19.
Itu sebabnya, pada Senin (20/4) dalam rapat terbatas melalui telekonferensi dari Istana Merdeka Jakarta, Presiden Joko Widodo memerintahkan diterapkannya perlindungan optimal bagi para dokter, perawat dan tenaga medis lainnya dalam menangani pandemi COVID-19.
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo saat menyampaikan arahan dari Presiden usai rapat terbatas itu meminta jajarannya menerapkan upaya agar tidak ada lagi tenaga medis yang wafat karena menangani pasien terinfeksi virus corona.
Penekanan dari Presiden untuk memberikan perlindungan optimal kepada para dokter dan tenaga medis lain sebagai garda dengan memastikan ketersediaan alat pelindung diri (APD) bagi para tenaga medis yang bertugas menangani pasien terkait COVID-19 karena tidak ingin ada lagi dokter yang wafat karena perlindungan belum maksimal.
Kepala Negara juga menginginkan seluruh tenaga kesehatan mendapat APD terbaik dan sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Guna memperkuat harapan Presiden itu, Menteri BUMN Erick Tohir menyatakan pihaknya terus berupaya melakukan banyak gagasan dalam rangka penanggulangan penyebaran COVID-19.
Baca juga: Presiden: Kabar gembira, virus Corona cepat mati pada suhu panas
Salah satu upaya itu, Bank Mandiri sebagai salah satu BUMN terbesar menyiapkan perlindungan asuransi dengan total uang pertanggungan hingga Rp1 triliun bagi tenaga kesehatan. Asuransi ini diberikan melalui anak perusahaan, AXA Mandiri Financial Services.
Proses pemberian polis akan dilakukan tim Bank Mandiri di masing masing wilayah, di mana rumah sakit berada dan implementasinya akan disesuaikan dengan jumlah tenaga kesehatan yang datanya akan diverifikasi bersama antara rumah sakit dan tim Bank Mandiri.
Mengimbangi
Ahli penyakit saraf Indonesia dr Andreas Harry, SpS (K) yang ikut menggalang bantuan untuk kebutuhan logistik dan asupan nutrisi tenaga kesehatan menyebut bahwa jika pemerintah dan semua unsur anak bangsa berkomitmen mengatasi pandemi COVID-19 saat ini, maka saat bersamaan dibutuhkan dukungan untuk mengimbanginya.
Wujudnya, semua elemen masyarakat mutlak harus patuh pada protokol kesehatan yang dikeluarkan pemerintah dan semuanya sudah sangat jelas, seperti melakukan "physical distancing" (jaga jarak), tetap berada di rumah bila tidak berkeperluan yang benar-benar sangat mendesak, dan lainnya yang terkait.
"Ini masalah kesehatan yang sangat serius! Jangan celakakan diri sendiri, keluarga dan orang lain," kata neurolog anggota "International Advance Research" Asosiasi Alzheimer Internasional (AAICAD) lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu.
Karena itu, harus diputuskan rantai penularannya dengan semua kebijakan dan protokol kesehatan yang sudah disampaikan pemerintah dan otoritas terkait.
Ia mengulang adagium yang sudah dikenal masyarakat bahwa "mencegah jauh lebih baik ketimbang mengobati pasien" dan dalam kasus COVID-19 ini, hal itu menjadi suatu keniscayaan yang harus benar-benar diseriusi dan tidak dipandang enteng.
Dalam suatu pernyatannya, Prof Zhong Nan Shan, dokter di Wuhan yang menjadi Kepala Tim Dokter COVID-19 di China --yang menanggulangi wabah SARS 2003-- juga mengingatkan publik untuk tidak menganggap enteng COVID-19.
Saran yang disampaikannya adalah "Jika ingin bepergian, berpikirlah secara jernih dan sayangi keluargamu. Jangan punya rasa percaya diri berlebihan atau hendak beradu nasib mujur. Tak seorang pun bisa luput dari serangan COVID-19. Jangan coba-coba menantang COVID-19 karena anda akan menyesal seumur hidup".
Zhong Nan Shan menambahkan, "Meskipun kelak telah ditemukan obat khusus COVId-19, itu hanyalah obat penyambung sisa nyawa anda. Sekalipun anda berhasil sembuh, nyawa anda tinggal separuh, paru-paru anda tetap sudah rusak. Hilangkanlah rasa congkak pada diri anda dalam perang melawan epidemi ini".
Pesan tersebut tampaknya mendapat penguatan dari setidaknya terpaparnya tenaga kesehatan di sejumlah rumah sakit (RS) di Indonesia.
Dua contoh yang bisa dirujuk adalah pertama, kasus 46 tenaga kesehatan di RSUP dr Kariadi Kota Semarang, Jawa Tengah, yang positif terinfeksi COVID-19, yang diduga terpapar akibat ada pasien tidak jujur atas kondisi kesehatannya.
Kemudian, kedua kondisi yang sama yang menimpa 51 tenaga kesehatan dan tenaga penunjang di RSUD Kota Bogor, Jabar, yang statusnya reaktif dan belum tentu positif COVID-19, meski akhirnya dinyatakan negatif setelah dilakukan dilakukan tes swab.
Baca juga: Ahli sarankan kombinasi tes cegah penyebaran COVID-19
WHO menyatakan hingga kini belum ada bukti seseorang bisa kebal atau imun terhadap virus COVID-19 walaupun orang yang pernah terinfeksi telah dinyatakan sembuh.
Laporan kantor berita transnasional yang dilansir, Sabtu (25/4), menyebutkan pernyataan, "Saat ini belum ada bukti bahwa orang yang telah sembuh dari COVID-19 dan memiliki antibodi (dalam tubuh) terlindungi dari infeksi selanjutnya".
Sedangkan CNN pada Jumat (17/4) melaporkan angka kematian pasien COVID-19 di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China melonjak drastis di mana lonjakan itu terjadi setelah Pemerintah Kota Wuhan melaporkan angka kematian baru 1.290 pasien.
Jumlah kematian di kota itu naik hingga 50 persen secara tiba-tiba, tidak lama setelah kebijakan "lockdown" dicabut pada 8 April lalu.
Disebutkan bahwa Pusat Pengendalian dan Pencegahan Epidemi Wuhan beralasan kasus-kasus yang terlewatkan itu karena staf medis di kota tersebut kewalahan pada awal penyebaran corona sehingga memicu "keterlambatan pelaporan".
Laporan ilmiah
Menurut dr Andreas Harry, ia baru saja mendapat laporan ilmiah dari tim dokter National Taiwan University Hospital(NTUH), Taiwan.
Laporan itu menyebutkan bahwa paling sedikit satu tahun ke depan tidak dianjurkan ada kegiatan berkumpul seperti ada reuni dan semacamnya yang melibatkan berkumpulnya orang, kecuali berani terpapar COVID-19.
Dalam setahun ini, masyarakat tetap harus menjaga jarak, tidak bertemu atau makan bersama dengan orang yang pernah terjangkit COVID-19 sehingga harus mempunyai pemahaman proteksi diri, jangan sampai lengah.
Tim dokter di NTUH Taiwan melalui bedah jenazah menunjukkan bahwa pertama, COVID-19 seperti gabungan dari SARS+AIDS. Banyak dokter beranggapan pasien yang sudah keluar RS, pengujian asam nukleatnya kembali positif, dan itu bukan kambuh, melainkan belum sembuh total. Ini ada hubungannya dengan karakteristik COVID-19.
Baca juga: Ahli Epidemiologi: Isolasi diri upaya memutus mata rantai COVID-19
Kedua, sistem kekebalan tubuh hampir seluruhnya rusak. SARS hanya menyerang paru-paru, namun tidak menyerang kekebalan tubuh. AIDS menyerang kekebalan tubuh, sedangkan kerusakan organ tubuh pasien COVID-19 seperti SARS+AIDS.
Ketiga, kerusakan akut organ paru-paru penyebab utama kematian penderita SARS, sedangkan kematian karena COVID-19 diakibatkan "kegagalan banyak organ".
Ketua Jurusan Penyakit Berat Zhong Nan Hospital Universitas Wuhan Prof Peng Zhi Yong, setelah melakukan bedah jenazah, memimpin tim untuk pembahasan beberapa hal, yakni, (1) pasien yang telah keluar dari RS, hasil tes darahnya menunjukkan bahwa indeks limfosit tidak kembali ke tingkat normal, sistem kekebalan tubuh pasien tidak pulih seutuhnya.
Kemudian, (2) dari pasien yang baru-baru ini keluar dari RS, pemeriksaan asam nukleatnya negatif, namun sistem kekebalan tubuhnya sangat buruk, tidak kembali utuh. Setelah keluar dari RS akan mudah kembali ke positif.
Lalu, (3) kondisi tersebut mirip dengan pasien hepatitis B, yang dalam jangka panjang akan menyimpan virus di dalam tubuhnya, dan (4) sekarang yang perlu diteliti adalah tubuh pasien yang menyimpan virus COVID-19 itu apakah dapat menularkan ke orang lain.
Para dokter yang berada di garda depan penyembuhan COVID-19 itu, menyatakan sebelumnya konsentrasi ada pada pertolongan pertama kepada pasien COVID-19. Setelah semakin banyak pasien yang "sembuh" dan keluar dari RS, perlu mengalihkan fokus pada masalah pengaturan pasien yang keluar dari RS.
Prof Peng Zhi Yong mengatakan pihaknya akan menelusuri setahun ke depan, perubahan yang terjadi pada pasien yang sudah keluar dari RS, virus yang masih tersimpan dalam tubuhnya apakah bisa menular, apakah berdampak pada orang di sekelilingnya.
Karena itu, dalam hal peperangan melawan COVID-19, ia menyebut "masih jauh dari kata akhir".
Untuk itulah disarankan paling sedikit setahun ke depan ini, keluar rumah harus memakai masker, usahakan untuk menghindari dari perkumpulan atau berdiam di tempat umum.