Kecerdasan buatan dapat periksa batuk untuk deteksi dini COVID-19
Minggu, 1 November 2020 9:50 WIB
Ilustrasi kecerdasan buatan untuk kesehatan. Dok. antaranews
Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengembangkan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang dapat memeriksa suara batuk yang dapat menjadi peringatan dini seseorang kemungkinan besar berada pada tahap awal terinfeksi virus corona.
Dikutip dari laman Tech Crunch, Minggu, sebelumnya AI telah dibuat untuk mendeteksi kondisi seperti pneumonia, asma, dan bahkan penyakit neuromuskuler. Sebelum pandemi, peneliti Brian Subirana telah menunjukkan bahwa batuk bahkan dapat membantu memprediksi Alzheimer.
Baru-baru ini, Subirana berpikir jika AI mampu memberi tahu begitu banyak hal, termasuk COVID-19. Dia bersama timnya membuat situs web di mana orang-orang dapat berkontribusi merekam suara batuk mereka untuk data penelitian.Ribuan sampel digunakan untuk melatih AI tersebut.
AI mendeteksi pola halus dalam kekuatan vokal, kinerja paru-paru dan pernapasan, serta degradasi otot, hingga dapat mengidentifikasi 100 persen batuk oleh pembawa COVID-19 asimtomatik dan 98,5 persen yang bergejala, dengan spesifisitas masing-masing 83 persen dan 94 persen, yang berarti hasil cukup akurat.
"Menurut kami ini menunjukkan bahwa cara Anda menghasilkan suara berubah ketika Anda terkena COVID, bahkan jika Anda tidak menunjukkan gejala," kata Subirana tentang temuan itu.
Namun, dia mengingatkan bahwa meskipun sistem ini bagus dalam mendeteksi batuk tidak sehat, sistem ini tidak boleh digunakan sebagai alat diagnosis untuk orang dengan gejala tetapi tidak yakin dengan penyebab yang mendasarinya.
"Alat tersebut mendeteksi fitur yang memungkinkannya membedakan subjek yang memiliki COVID dan yang tidak," kata Subirana kepada Tech Crunch, menjelaskan lebih lanjut.
"Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Anda juga dapat memiliki kondisi lain. Seseorang dapat merancang sistem yang akan membedakan antara banyak kondisi, tetapi fokus kami adalah memilih COVID," dia menambahkan.
Bagi mereka yang memperhatikan soal statistik, 100 persen bukanlah angka yang sering dilihat pada model AI. Temuan ini perlu dibuktikan pada kumpulan data lain dan diverifikasi oleh peneliti lain.
Tim Subirana bekerja sama dengan beberapa rumah sakit untuk membangun kumpulan data yang lebih beragam. Tim penelitian tersebut juga bekerja sama dengan perusahaan swasta untuk menyusun aplikasi guna mendistribusikan alat untuk penggunaan yang lebih luas, jika mendapat persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat, FDA.
Dikutip dari laman Tech Crunch, Minggu, sebelumnya AI telah dibuat untuk mendeteksi kondisi seperti pneumonia, asma, dan bahkan penyakit neuromuskuler. Sebelum pandemi, peneliti Brian Subirana telah menunjukkan bahwa batuk bahkan dapat membantu memprediksi Alzheimer.
Baru-baru ini, Subirana berpikir jika AI mampu memberi tahu begitu banyak hal, termasuk COVID-19. Dia bersama timnya membuat situs web di mana orang-orang dapat berkontribusi merekam suara batuk mereka untuk data penelitian.Ribuan sampel digunakan untuk melatih AI tersebut.
AI mendeteksi pola halus dalam kekuatan vokal, kinerja paru-paru dan pernapasan, serta degradasi otot, hingga dapat mengidentifikasi 100 persen batuk oleh pembawa COVID-19 asimtomatik dan 98,5 persen yang bergejala, dengan spesifisitas masing-masing 83 persen dan 94 persen, yang berarti hasil cukup akurat.
"Menurut kami ini menunjukkan bahwa cara Anda menghasilkan suara berubah ketika Anda terkena COVID, bahkan jika Anda tidak menunjukkan gejala," kata Subirana tentang temuan itu.
Namun, dia mengingatkan bahwa meskipun sistem ini bagus dalam mendeteksi batuk tidak sehat, sistem ini tidak boleh digunakan sebagai alat diagnosis untuk orang dengan gejala tetapi tidak yakin dengan penyebab yang mendasarinya.
"Alat tersebut mendeteksi fitur yang memungkinkannya membedakan subjek yang memiliki COVID dan yang tidak," kata Subirana kepada Tech Crunch, menjelaskan lebih lanjut.
"Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Anda juga dapat memiliki kondisi lain. Seseorang dapat merancang sistem yang akan membedakan antara banyak kondisi, tetapi fokus kami adalah memilih COVID," dia menambahkan.
Bagi mereka yang memperhatikan soal statistik, 100 persen bukanlah angka yang sering dilihat pada model AI. Temuan ini perlu dibuktikan pada kumpulan data lain dan diverifikasi oleh peneliti lain.
Tim Subirana bekerja sama dengan beberapa rumah sakit untuk membangun kumpulan data yang lebih beragam. Tim penelitian tersebut juga bekerja sama dengan perusahaan swasta untuk menyusun aplikasi guna mendistribusikan alat untuk penggunaan yang lebih luas, jika mendapat persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat, FDA.
Pewarta : Arindra Meodia
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024