Semarang (ANTARA) -
Para petani tembakau mendesak pemerintah menjaga eksistensi kelangsungan industri pertembakauan di Indonesia yang berkeadilan sebagai wujud keberpihakan.

"Wacana kenaikan cukai tembakau tahun depan oleh pemerintah tidak memihak para petani tembakau karena akan membuat harga rokok naik," kata Ketua Umum DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno pada acara Rembug Tani Tembakau di Kabupaten Karanganyar, Jumat.

Menurut dia, kenaikan cukai tembakau akan menbuat permintaan pabrikan menurun sangat drastis dan dampaknya banyak petani sangat terpukul pada masa panen tahun ini, sedangkan industri sektor ini merupakan industri padat karya.

Ia mengatakan bahwa pada 2020 kenaikan cukai tercatat paling tinggi dalam satu dekade terakhir, terhitung kenaikan 23 persen dengan rata-rata harga jual eceran naik 35 persen sehingga tidak bisa dihindari faktor ini membuat harga rokok naik secara gradual.

"Kontraksi ekonomi di tengah wabah pandemi COVID-19 selalu turun hingga daya beli masyarakat menurun, petani tembakau bagai dihantam dua palu godam," ujarnya.

Ia menyebut pemerintah bersikeras mengejar target penerimaan cukai dan seolah tidak berempati melihat kondisi yang menyengsarakan pemangku kepentingan pertembakauan, padahal dampak kenaikan cukai 2020 ini saja sudah berat.

Seharusnya, lanjut dia, pemerintah belajar dari kondisi tahun ini atau setidaknya dengan tidak memberi beban baru.

"Sulit dibayangkan jika petani tak lagi menghasilkan tembakau sebagai bahan baku utama industri. Target penerimaan cukai akan makin jauh panggang dari api sehingga APTI menolak rencana pemerintah yang akan menaikkan cukai rokok tahun depan," tegasnya.

Dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) untuk penanganan dan pencegahan COVID-19 juga menjadi sorotan petani tembakau.

Harapannya, ada alokasi DBHCHT yang semestinya dikembalikan ke petani tembakau sebagaimana mandat UU Cukai.
"Pandemi COVID-19 bukan hanya sekadar bencana kesehatan, pandemi juga memukul aktivitas sosial dan ekonomi di berbagai sektor seperti pasar keuangan, 'supply chain', industri hingga melemahkan daya beli masyarakat," katanya.

Pada kesempatan yang sama, anggota Komisi IV DPR RI Luluk Nur Hamidah mengatakan, kenaikan cukai berdampak serapan produk tembakau rendah dan mengancam eksistensi pabrik rokok menengah dan kecil, termasuk juga tenaga kerja, petani, serta buruh rokok.

"Produsen kecil dan pabrikan kretek yang notabene warisan nusantara tak akan bertahan jika dihadapkan dengan produsen besar sehingga apabila tahun depan dinaikkan kembali, akan sangat memberatkan pelaku pabrikan menengah kecil serta petani tembakau lokal di saat semua pelaku ekonomi sedang berjuang menghadapi resesi ekonomi akibat pandemi COVID-19," ujarnya.

Menurut dia, pemerintah lebih baik mereformasi fiskal di sektor lain atau menarik pajak yang lebih tinggi dari sektor lain.

Sementara itu, Ketua DPD APTI Jawa Tengah M. Rifai meambahkan bahwa pada intinya para petani tembakau di Jateng sangat keberatan jika pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau dan meminta harus ada keadilan DBHCHT bagi petani tembakau serta transparansinya.

"Efek dari kenaikan CHT berimbas pada serapan tembakau petani oleh pabrikan rokok. Jika CHT naik, harga jual rokok ke konsumen pasti meningkat, saat ini daya beli konsumen rokok mengalami penurunan dan pabrikan rokok pasti menurunkan produksi,” katanya.

Petani tembakau, kata dia, jangan dibebani untuk memulihkan perekonomian negara dengan kenaikan cukai hasil tembakau agar serapan ke pabrik menurun dan harga tembakau juga anjlok.