Kudus (ANTARA) -
Wacana impor beras yang sempat ramai diperbincangkan turut memberikan sentimen negatif terhadap harga jual gabah di pasaran menjadi lebih tertekan sehingga merugikan petani yang berharap bisa meraih keuntungan, kata Ketua KTNA Kabupaten Kudus Hadi Sucahyono.
"Gara-gara muncul wacana impor beras, banyak penebas padi yang memanfaatkan momen tersebut dengan menawar gabah petani dengan harga di bawah rata-rata harga jual di pasaran dengan pertimbangan khawatir terjadi impor beras," ujarnya di Kudus, Minggu.
Alasan penebas, kata dia, memang masuk akal karena beras yang dibeli ketika tidak bisa langsung terjual habis, kebetulan muncul beras impor di pasaran tentunya harga jualnya juga akan turun sehingga bisa merugikan. Akibatnya, petani yang sangat dirugikan karena tidak bisa mendapatkan keuntungan, sedangkan pedagang masih bisa tetap untung.
Harga jual gabah kering panen di pasaran, kata dia, berkisar Rp3.300 per kilogram, sedangkan normalnya bisa mencapai Rp4.500 hingga Rp4.600/kg.
"Jika dihitung secara matematis, memang ada selisih biaya dari penjualan dalam 1 hektare tanaman padi bisa mendapatkan uang hingga Rp19,8 juta. Akan tetapi, biaya produksi selama empat bulan tersebut belum termasuk biaya tenaga petani sendiri yang mengolah lahan," ujarnya.
Idealnya, kata dia, harga jual gabah yang bisa menguntungkan petani berkisar Rp4.000 hingga Rp4.600/kg. Untuk itulah, wacana impor beras di saat musim panen perlu dihindari agar tidak menimbulkan sentimen negatif karena petani yang dirugikan.
Untuk saat ini, katanya, petani mulai tertarik menanam padi khusus, seperti ketan, beras organik maupun beras merah yang tidak begitu terpengaruh secara signifikan dengan wacana impor beras, sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan petani.
Kasi Fasilitasi Perdagangan Dinas Perdagangan Kudus Teddy Hermawan menambahkan wacana beras impor memang memberikan sentimen negatif terhadap harga jual gabah karena penebas juga bisa mempermainkan harga jual di pasaran dengan alasan akan ada beras impor.