Semarang (ANTARA) - Pakar hukum dari Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang Jawade Hafidz memandang perlu mempertahankan aturan mengenai pidana umum dan pidana khusus dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).

"Hal ini supaya tidak terjadi tumpang-tindih antar-UU, sekaligus menghindari terjadinya disparitas dalam penegakan hukum," kata Dr. Jawade Hafidz, S.H., M.H., di Semarang, Sabtu.

Dosen Fakultas Hukum Unissula Semarang ini menyampaikan hal itu ketika menjawab pertanyaan ANTARA terkait dengan aturan pidana khusus (lex specialis) perlu masuk atau tidak dalam RUU KUHP.

Apalagi, kata Jawade Hafidz, di dalam RUU KUHP Pasal 125 Ayat (2) disebutkan bahwa suatu perbuatan yang diatur dalam aturan pidana umum dan aturan pidana khusus hanya dijatuhi aturan pidana khusus, kecuali undang-undang menentukan lain.

Namun, jika mencermati aturan mengenai bendera negara dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan dengan RUU KUHP, terdapat pemidanaan yang berbeda.

Terhadap pelanggar UU No.24/2009 Pasal 24 Huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp100 juta.

Sementara itu, di dalam RUU KUHP Pasal 235 Huruf a, pidananya berupa denda paling banyak Rp10 juta. Padahal, kedua pasal tersebut terdapat frasa yang sama: "memakai bendera negara untuk reklame atau iklan komersial".

Meski demikian, ada nuansa berbeda terkait dengan frasa "Setiap orang dilarang: ..." (UU No.24/2009), sedangkan di dalam RUU KUHP "Setiap orang yang...".

Di dalam RUU KUHP penodaan terhadap bendera negara terdapat dua pasal (234 dan 235), sedangkan dalam UU No. 24/2009 diatur dalam Pasal 24 yang menyebutkan setiap orang dilarang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera negara.

Berikutnya, setiap orang dilarang memakai bendera negara untuk reklame atau iklan komersial; mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam.

Setiap orang dilarang mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apa pun pada bendera negara.

Larangan lainnya, memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan bendera negara.

Baca juga: Akademikus: Terlalu banyak aturan korupsi tak efektif penerapannya