Kepada ANTARA Jateng, Sabtu, Dewi mengatakan bahwa berbagai keributan soal berbagai kebijakan pemerintah secara instan, makin menggambarkan betapa ricuh dan amburadulnya tata kelola sektor energi Indonesia. Soal migas, pertambangan, dan lain-lain makin menggiring negara ini ke arah kehancuran energi.

   "Harapan rakyat terhadap goodwill Pemerintah tampaknya makin suram. Belum ada titik terang soal sikap Pemerintah terhadap asing dalam posisi kepemilikan berbagai potensi sektor energi," kata wakil rakyat asal Daerah Pemilihan Jawa Tengah IX (Kabupaten Brebes, Kota Tegal, dan Kabupaten Tegal) itu.

   Menanggapi artikel Marwan Batubara di Kompas (19/5) yang menyebutkan soal enam tahun ke depan hingga 2018 ada puluhan kontrak migas (PSC-JOA) yang akan berakhir, di antaranya Siak (Chevron-2013), Mahakam (Total-2017), South Sumatra, SES (CNOOC-2018), South Natuna Sea B (Conoco-Phillips-2018), East Kalimantan (Chevron-2017), Sanga-sanga (Virginia-2018), Lho Sukon B (Exxon-2017), Corridor, Bertak, dan Bijak Ripah (Conoco-Phillips 2016), Onshore Salawati Basin (Petrochina-2016), Ogan Komering (petrochina-2018), dan Arun (exxon-2017), Dewi Aryani sepakat bahwa pemerintah harus segera mengambil sikap tegas dan ambil risiko segala keputusannya.

    Kemandirian dan kedaulatan energi Indonesia, lanjut dia, harus berada di tangan pemimpin yang tepat. Energi harus mampu didudukkan sebagai leading sector berbagai kebijakan pemerintah ke depan di berbagai bidang.

   Dewi mengatakan,"Cadangan migas dan berbagai potensi pertambangan kita harus diinvestigasi ulang untuk menjawab berbagai dugaan bahwa cadangannya masih cukup besar dan cukup waktu untuk segera dikelola sendiri oleh BUMN kita."

    Namun, menurut dia, Pertamina saja tidak cukup, harus ada BUMN lain sekelas Pertamina yang didirikan oleh negara untuk dapat fokus mengelola sekian banyak sumber minyak dan gas, termasuk pertambangan. Pertamina tidak boleh menjadi superbody. "Dan, layak jika Pertamina pun saat ini harusnya diaudit dahulu oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan banyaknya dugaan-dugaan korupsi di dalamnya," ujar Dewi.

   Untuk industri pertambangan raksasa, seperti Freeport, Newmont, dan lain-lain, Pemerintah juga harus berani melakukan renegosiasi yang ketat. "Jangan hanya bisa menghancurkan pertambangan-pertambangan kecil, termasuk tambang-tambang rakyat. Namun, juga harus berani negosiasi ulang dengan kontrak karya-kontrak karya raksasa dengan mengedepankan keuntungan bagi negara dan rakyat," katanya.

   Tata kelola sektor energi, menurut Dewi, membutuhkan kepemimpinan yang kuat, seorang risk taker (berani mengambil risiko) dan memang paham industri energi. "Jika tidak, yang terjadi seperti sekarang ini semua serba parsial, ad hoc, tidak menyeluruh sehingga hanya menghasilkan kekacauan baru dan berbagai konflik baru," demikian anggota Komisi VII DPR RI, Dewi Aryani.