Sekretaris Jenderal KPA Iwan Nurdin dan Koordinator FK-BPLS Thoyib mengemukakan hal itu dalam siaran pers yang diterima Antara Jateng, Selasa malam.

Iwan mengungkapkan bahwa bencana luapan lumpur Sidoarjo yang menenggelamkan wilayah masyarakat masih menyisakan kesengsaraan. Misalnya, warga di Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur yang mendapatkan ketidakadilan atas proses ganti rugi penyelesaian semburan lumpur panas Sidoarjo.

Awalnya, para korban lumpur diperas oleh oknum pejabat BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) dan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Sejak 2009, masyarakat yang menolak memberi sejumlah uang kepada pejabat BPLS, pemda, BPN diancam bahwa status tanahnya ditetapkan sebagai tanah sawah. Ancaman tersebut kemudian terbukti kepada lima warga yang mempunyai tujuh bidang tanah di Desa Besuki, Kecamatan Jabon.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2008, dan SK Kepala BPLS No.43/KPTS/BPLS/2008 tentang besaran bantuan sosial kemasyarakatan dengan harga tanah dan bangunan yaitu bagi tanah darat 1.000.000/m2, tanah basah 120.000/m2 dan bangunan 1.500.000/m2.
Karena penolakan warga atas pemerasan (pungutan liar) dari oknum BPLS, lembaga ini melakukan aksi sepihak dengan menyatakan bahwa tanah seluas 1,7 hektare milik lima warga, adalah tanah sawah, padahal objek tanah tersebut nyata-nyata adalah tanah darat sesuai dengan peta BPLS, yaitu peta di luar area terdampak yang merupakan tanah darat dan juga bukti lainnya seperti PBB dan sertifikat kepemilikan tanah.

Lima warga desa telah menempuh jalur hukum, antara lain memenangi penetapan status tanah sebagai tanah darat oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo tahun 2011 dengan Nomor 125-129/PDT.P/2010/PN.Sidoarjo. Namun, BPLS justru tetap menolak memenuhi kewajibannya.

Warga kembali menempuh jalur hukum dengan menggugat Presiden, Menteri Pekerjaan Umum sebagai Dewan Pengarah BPLS dan BPLS sebagai pelaksana penanganan area terdampak lumpur Sidoarjo ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. PN Jakarta Pusat akhirnya mengeluarkan keputusan dengan Nomor 246-250/PDP.G/2012/P.N.JKT.PST bahwa Menteri Pekerjaan Umum dan BPLS telah melanggar hukum dengan tidak membayar kewajiban penyelesaian pemenuhan hak korban lumpur melalui skema jual-beli tanah darat sesuai dengan SK Kepala BPLS No.43/KPTS/BPLS/2008.

Sebelumnya, dalam aksi KPA dengan FK-BPLS pada tanggall 31 Mei 2013 di Kementerian Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto telah berjanji untuk menyelesaikan kasus ini. Bahkan, Djoko Kirmanto berjanji akan menginstruksikan BPLS untuk segera membayar dan tidak akan naik banding atas putusan PN Jakarta Pusat yang memutuskan agar Menteri Pekerjaan Umun melalui BPLS memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi warga liam desa Besuki.

Akan tetapi, lagi-lagi Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto ingkar janji terhadap pernyataannya sendiri. Dkoko Kirmanto justru tidak memenuhi janji dan kewajibannya dengan melakukan langkah banding terrhadap putusan PN Jakarta Pusat yang memenangkan lima warga Desa Besuki.

Hal itulah yang mendorong lima warga Desa Besuki kembali datang ke Jakarta (19/11) dengan melakukan aksi demonstrasi dengan mandi lumpur ke Istana Negara, guna menuntut agar Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono segera menginstruksikan kepada Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto untuk menyelesaikan pembayaran ganti rugi terhadap lima warga di luar area terdampak semburan lumpur panas Sidoarjo Sesuai Perpres No. 48 tahun 2008, Keputusan PN Sidoarjo No 125-129/PDT.P/2010/PN.Sidoarjo dan Keputusan PN Jakarta Pusat dengan Nomor 246-250/PDP.G/2012/P.N.JKT.PST

“Kami mengecam dugaan korupsi yang dilakukan BPLS yang menunjukan tidak adanya iktikad baik Pemerintah dalam hal ini Menteri Pekerjaan Umum dan BPLS menyelesaikan kewajibannya memenuhi hak-hak korban lumpur Sidoarjo. Jangan sampai BPLS mempraktikkan bisnis kemanusiaan di atas penderitaan korban lumpur Sidoarjo dengan melakukan korupsi,” katanya.