Logo Header Antaranews Jateng

Obituari - Kecemasan Regenerasi Poteni Sepeninggal Pak Thio

Kamis, 21 Agustus 2014 08:17 WIB
Image Print
Cerita wayang potehi Sie Djin Koei Tjeng See ditampilkan dalam pertunjukan Wayang Potehi di Klenteng Hong San Kiong Gudo, Jombang, Jawa Timur, Senin (4/2). Pertunjukan wayang yang digelar di Klenteng tersebut diadakan dalam rangka menyambut Tahun Bar

Kini, pada hari Rabu (20/8), sang dalang wayang potehi itu telah pergi, pada usianya yang ke-81 tahun setelah sekian lama berkutat dengan penyakit komplikasi yang membuatnya sering keluar-masuk rumah sakit.

Meski sedang dalam kondisi sakit, sosok yang akrab disapa Pak Thio itu pun tetap bersemangat mendalang maupun menerima siapa pun kalangan yang ingin mengetahui tentang seluk-beluk wayang potehi.

Perjalanan Pak Thio tidak bisa dilepaskan dari situasi politik di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan, termasuk mengalami era Presiden Soeharto yang "menutup" berkembangnya kebudayaan Tiongkok.

Seperti diceritakan anak keempat Pak Thio, yakni Thio Haouw Liep atau Heri Chandra Irawan, ayahandanya pernah berurusan dengan aparat semasa Presiden Soeharto yang melarangnya memainkan potehi.

"Saat itu, Presiden Soeharto kan melarang potehi dipentaskan. Hanya boleh di dalam kelenteng. Padahal, kan tidak mungkin di dalam kelenteng membuat panggung karena tempatnya tidak cukup," katanya.

Akhirnya, Pak Thio mementaskan wayang potehi di halaman kelenteng yang membuatnya harus berurusan dengan pihak berwenang. Akan tetapi, Pak Thio tidak surut semangat untuk melestarikan wayang potehi.

Heri menceritakan larangan pementasan wayang potehi saat Orde Baru itu karena dianggap berkaitan dengan urusan politik, padahal sebenarnya kisah-kisah wayang potehi mengajarkan tentang keteladanan.

Ada banyak keteladanan yang bisa diambil dari kisah-kisah wayang potehi, mulai dari kesederhanaan, kejujuran, hingga rasa tanggung jawab, dan tidak ada kaitan sama sekali dengan kepentingan politik.

"Papah (Thio Tiong Gie, red.) merupakan sosok ayah yang sangat bijaksana. Beliau mengajarkan seluruh anak-anaknya kejujuran, kesederhanaan, rasa tanggung jawab, dan sebagainya," ungkapnya.

Ada salah satu lakon dalam wayang potehi yang sering dimainkan ayahandanya menceritakan kisah seorang jenderal yang sangat baik hati, tidak pelit, bahkan terkesan "royal" kepada kawan-kawannya.

Namun, kata Heri, jenderal itu justru ditinggalkan kawan-kawannya ketika posisinya jatuh. Hal ini bisa diambil hikmah bahwa banyak teman yang hanya datang saat senang, dan pergi saat kawannya kesusahan.

"Mencari teman saat susah itu sulit, tetapi mencari teman untuk berfoya-foya saat sedang senang mudah. Itu salah satu hikmah dari kisah wayang potehi yang dimainkan Papah yang selalu saya ingat," katanya.

Sebenarnya, menurut dia, ada banyak hikmah dan keteladanan dalam berbagai kisah wayang potehi yang membuat kesenian asal Tiongkok yang sudah beralkulturasi dengan kebudayaan lokal itu wajib untuk dilestarikan.

Bahkan, Pak Thio juga tidak pernah membatasi siapa pun untuk belajar maupun mendalang potehi karena wayang potehi bukan hanya milik warga keturunan Tionghoa, melainkan sudah menjadi milik bangsa Indonesia.

"Bukan hanya wayang potehi, bagi Papa, barongsai bukan hanya milik warga Tionghoa, melainkan milik masyarakat Indonesia karena sudah berasimilasi dengan kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa," katanya.

Regenerasi Dalang Potehi
Sebagai anak Pak Thio, Heri pun mengakui tidak semua saudaranya memiliki ketertarikan menjadi dalang wayang potehi mengikuti jejak sang maestro potehi kelahiran Demak, 9 Januari 1933 tersebut.

Ketujuh anak Thio Tiong Gie, yakni Thio Koei Lian, Thio Haouw Poen, Thio Koei Hwa, Thio Haouw Lip, Thio Haouw Lie, Thio Koei Hoen, dan Thio Haouw Too, sementara istrinya sudah meninggal 25 tahun silam.

Namun, seluruh anak Pak Thio pernah mendampingi saat ayahandanya tampil mendalang potehi, terutama anak kelimanya, yakni Thio Haouw Lie (Herdian Chandra Irawan) yang paling sering mendampingi mendalang.

"Ya, kami berharap adik saya ini bisa meneruskan apa yang dilakukan Papah karena dia (Herdian, red.) yang paling sering mendampingi Papah saat mendalang sehingga lebih menguasai potehi," ungkapnya.

Di luar keluarga Pak Thio, dia mengakui justru lebih banyak calon-calon dalang potehi yang telah menimba ilmu dari ayahandanya, termasuk kalangan mahasiswa, yang kebanyakan berasal dari Jawa Timur.

Pak Thio memang terbuka untuk mengajarkan wayang potehi, tidak hanya sebatas kalangan warga keturunan Tionghoa, tetapi sudah cukup banyak kalangan pribumi yang sudah belajar potehi dari sang dalang.

Prinsip itulah yang selalu dipegang Pak Thio semasa hidupnya karena tidak ingin kesenian wayang potehi musnah ditelan modernitas zaman, apalagi kesenian potehi sudah menjadi milik bangsa Indonesia.

Kecintaan Pak Thio terhadap wayang potehi memang tidak diragukan lagi, bahkan salah satu permintaan terakhirnya sebelum meninggal adalah salah satu anaknya memainkan wayang potehi di samping jenazahnya.

"Beliau juga ingin ada sepasang wayang potehi yang dibawa serta dalam liang kuburnya. Rencananya, nanti yang akan main (mendalang, red.) adalah adik saya, Herdian. Namun, lakonnya belum tahu," katanya.

Kemungkinan, kata dia, lakon potehi yang akan dimainkan untuk memenuhi permintaan ayahandanya adalah kisah Jenderal Sie Djien Koei, panglima perang gagah perkasa yang kisahnya kerap dimainkan Pak Thio.

Nantinya, tokoh wayang potehi Jenderal Sie Djien Koei beserta istrinya yang mungkin akan diikutkan dalam peti mati ayahandanya, atau tokoh-tokoh lainnya, asalkan sepasang seperti diminta Pak Thio.

Di mata anak-anaknya, Pak Thio merupakan sosok ayahanda yang sangat bijaksana, sangat disiplin mendidik anak-anaknya, dan setia karena tidak mau menikah lagi sepeninggal istrinya sejak 25 tahun silam.

"Mungkin karena kesetiaan beliau yang besar kepada Mamah. Selama 25 tahun ini, Papah tidak mau menikah lagi hingga meninggal dunia meski sudah banyak yang menyarankan menikah lagi," kenangnya.

Dalam hal kesederhanaan, banyak sikap Pak Thio yang sudah dicontohkan kepada anak-anaknya, salah satunya tidak ingin upacara pemakamannya digelar secara mewah, tetapi cukup dengan sederhana.

"Bukti kesederhanaannya, beliau minta upacara pemakaman tidak dibuat mewah, sederhana saja. Biasanya, upacara pemakaman sebagaimana adat Tionghoa kan begitu, tetapi beliau 'pengen' sederhana," katanya.

Dari aspek kejujuran, Pak Thio selama hidupnya selalu memegang prinsip kejujuran dan sangat membenci tindakan korupsi yang dilakukan para koruptor, bahkan mulai dari korupsi di lingkup terkecil.

"Dalam suatu rapat di salah satu forum, beliau pernah memprotes dan dengan lantang berkata, 'Dari seluruh panitia saya memang yang termiskin, tetapi kejujuran, siapa yang bisa menandingi saya?'," pungkas Heri.


Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024