Penjaga Situs di Tengah Perburuan Benda Kuno
Rabu, 10 September 2014 09:20 WIB
Benda-benda keramik yang tidak ternilai harganya itu tersimpan dalam rak kayu di ruang depan dan sebuah kamar di rumah Samudi (29), petugas keamanan Situs Liyangan.
Benda-benda keramik tersebut, kata Samudi, saat ditemukan berupa pecahan-pecahan keramik, kemudian direkonstruksi atau dirakit sehingga kelihatan utuh lagi.
Perakitan pecahan keramik itu semula dilakukan oleh para petugas dari Balai Arkeologi Yogyakarta. Namun, waktu mereka terbatas karena perakitan dilakukan saat bersamaan kegiatan ekskavasi.
"Melihat temuan pecahan keramik yang terus bertambah dan menumpuk di rumah kami dan pos keamanan Situs Liyangan, kami penasaran untuk mencoba ikut merakitnya meskipun kami tidak memiliki latar belakang keahlian di bidang tersebut," kata pemuda lulusan SMK jurusan otomotif ini.
Samudi bahkan rela mengeluarkan uang pribadi guna membeli lem perekat untuk menyambung pecahan-pecahan keramik itu.
Dari sekitar 70-an benda keramik yang berhasil direkonstruksi, kata dia, dirinya berhasil merakit belasan barang kuno tersebut.
Kegiatan merakit pecahan keramik itu juga diikuti oleh warga Liyangan yang peduli terhadap kelestarian Situs Liyangan, Budiono (45).
Pria yang saat ini diangkat sebagai tenaga kontrak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah sebagai juru pelihara situs ini menuturkan bahwa dirinya ikut merakit pecahan keramik karena iseng dan rasa penasaran.
"Rasa iseng dan penasaran ini mendorong kami untuk ikut merakit dan ternyata bisa kami lakukan," katanya.
Situs Liyangan yang diperkirakan peninggalan zaman Mataram Kuno abad IX tersebut kini memiliki lima tenaga kontrak di bawah naungan BPCB Jawa Tengah, yakni Samudi dan Istiarso sebagai satuan keamanan serta Budiono, Dian Marlina dan Abadi sebagai juru pelihara.
Penggalian pasir di kawasan Situs Liyangan hingga kini terus berlangsung guna membantu menemukan benda-benda bersejarah lainnya.
Sebagai tenaga keamanan dan juru pelihara, mereka memiliki tanggung jawab besar untuk mengamankan dan menyelamatkan benda-benda temuan di kawasan Situs Liyangan.
Meskipun tidak ada kegiatan ekskavasi, baik dari Balai Arkeologi Yogyakarta maupun dari BPCB Jawa Tengah, kata Budiono, para tenaga kontrak tetap masuk kerja untuk menjaga kompleks Situs Liyangan.
"Bahkan, kami bekerja selama 24 jam secara bergiliran untuk mengamankan Situs Liyangan. Kalau siang kami juga mengawasi para penambang jangan sampai mereka merusak benda-benda temuan dan tugas kami untuk menyelamatkan," katanya.
Samudi mengatakan bahwa para tenaga kontrak bekerja siang dan malam. Namun, dirinya jarang mendapat giliran berjaga malam di kompleks situs karena harus menjaga benda-benda keramik yang dititipkan di rumahnya.
Menurut dia, mendapat tantangan cukup berat sebagai tempat penyimpanan benda-benda kuno tersebut selain menjaga keselamatan benda temuan juga harus tahan godaan dari upaya pembelian dari para kolektor benda kuno.
"Ada beberapa orang yang menemuinya dan berusaha membeli barang-barang yang tidak ternilai harganya tersebut. Namun, kami menolaknya karena barang-barang peninggalan nenek moyang itu harus diselamatkan," katanya.
Ia mengatakan bahwa upaya pembelian benda bersejarah tersebut terjadi saat awal penemuan benda keramik. Kala itu honor sebagai tanaga kontrak sebesar Rp600 ribu per bulan. Mereka datang dari kota besar, seperti Jakarta dan Bandung.
Meskipun mengetahui bahwa benda-benda kuno tersebut harganya bisa mencapai jutaan rupiah, apalagi di luar negeri, sebagai warga Liyangan, pihaknya tetap berpendirian akan mempertahankan dan menyelamatkan peninggalan nenek moyang itu.
Keramik Dinasti Tang
Berdasarkan penelitian, temuan puluhan benda keramik di Situs Liyangan berasal dari Tiongkok atau pada masa Dinasti Tang.
Peneliti dari Pusat Arkeologi Nasional Yusmaini Eriawati menyebutkan, dari sejumlah benda keramik berupa guci, teko, dan mangkuk yang telah dianalisis, semuanya berasal dari Dinasti Tang pada abad IX-X masehi atau pada masa kerajaan Mataram Kuno.
"Kami belum tahu fungsinya secara pasti karena harus dikaitkan dengan fungsi situs. Namun, diperkirakan berkaitan dengan ritual pemujaan," katanya.
Menurut dia, keramik temuan tersebut sebagian besar berasal dari Guandong. Selain itu, dari Changsha dan Yue. Waktu itu keramik dari daerah tersebut paling populer dan diperdagangkan hingga luar daerah.
Keramik dari Guandong berkualitas menengah dan diproduksi secara massal, sedangkan keramik asal Changsha dan Yue pembuatannya dalam kontrol pemerintah sehingga termasuk barang-barang berkualitas.
Ia mengatakan bahwa adanya temuan keramik asal Changsha dan Yue mengindikasikan dahulu Situs Liyangan bukan sembarang atau dikontrol pemerintah, yang pada abad IX-X masehi dalam kekuasaan Mataram kuno. Situs Liyangan semasa dengan Prambanan dan Borobudur.
"Benda-benda keramik itu bisa milik raja, bangsawan, atau anggota keluarganya, yang pasti dalam kontrol pemerintah. Di sini yang penting temuan keramik adalah dalam kontrol penguasa," katanya.
Ia mengatakan bahwa keramik atau tembikar produksi suatu daerah di Tiongkok memilik ciri khas tertentu sehingga memerlukan kecermatan dalam menganalisis. Keramik atau tembikar dari luar negeri seperti dari Tionmgkok ada glasirnya, sedangkan buatan Indonesia tidak.
"Kerajaan di Nusantara waktu itu jelas belum bisa memproduksi keramik. Jadi, keramik temuan ini berasal dari luar dan diketahui dari Tiongkok," katanya.
Selain keramik dari Tiongkok, di Situs Liyangan juga ditemukan gerabah dari Vietnam dan Thailand. Namun, jumlahnya sedikit.
Pewarta : Heru Suyitno
Editor:
Mahmudah
COPYRIGHT © ANTARA 2025