Ketika Dolar Kian Liar
Selasa, 16 Desember 2014 10:38 WIB
Dengan kurs serendah itu maka inilah nilai tukar rupiah paling buruk sejak 2008. Kita tentu tidak ingin krisis moneter yang terjadi pada 1998 yang melemahkan rupiah hingga ke Rp17.000 per dolar AS terulang lagi.
Terus melemahnya rupiah belakangan ini memicu sejumlah spekulan untuk memborong dolar AS atau mata uang kuat lainnya. Setidaknya, menurut catatan Kementerian Keuangan, nilai penarikan itu mencapai 801 juta dollar AS atau Rp10 triliun lebih dari pasar obligasi.
Di luar faktor yang berbau spekulatif, sejumlah hal disebutkan menyebabkan belanja dolar AS mengalami kenaikan drastis. Misalnya, banyak utang dalam bentuk dolar AS yang harus dibayar sebelum tahun 2014 berakhir. Banyak pula pembelian dolar yang didorong untuk membiayai liburan akhir tahun ke luar negeri.
Masyarakat saat ini sebenarnya sudah menanggung beban tak ringan setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Semua harga kebutuhan naik, sedangkan rata-rata kenaikan upah pekerja bergaji tetap tidak lebih dari angka inflasi tahunan sekitar tujuh persen.
Artinya, sebelum dolar AS kian kian liar, rakyat sebenarnya sudah dipaksa untuk mengencangkan ikat pinggang. Keluhan ibu-ibu yang belanja di pasar jadi bukti betapa kenaikan penghasilan tidak sebanding dengan kenaikan harga kebutuhan.
Beban bakal bertambah berat jika nilai rupiah kian merosot. Ketergantungan Indonesia terhadap impor untuk barang-barang strategis hingga kini masih tinggi, termasuk di sektor makanan dan minuman. Kedelai, bahan baku tahu dan tempe, misalnya, sebagian besar diimpor. Terigu, gula pasir, susu, buah-buahan, hingga bahan penolong industri manufaktur pun juga masih impor.
Menguatnya kurs dolar AS yang di luar ekspektasi pengusaha dikhawatirkan juga bakal memukul industri dengan kandungan teknologi relatif tinggi, seperti, elektronik, komputer, gawai (gadget), hingga industri sepeda motor dan mobil.
Satu hal yang mencemaskan yakni melemahnya daya beli konsumen domestik. Padahal selama satu dasawarsa terakhir, termasuk saat krisis ekonomi pada 2008, permintaan domestiklah yang menjadi mesin ekonomi dan pertumbuhan Indonesia.
Tiga sampai enam bulan ke depan akan terlihat sejauh mana dampak dari pelemahan rupiah saat ini memengaruhi industri keseluruhan. Sektor properti dan otomotif bisa menjadi indikator seberapa dalam dampak penurunan rupiah tersebut terhadap kondisi perekonomian rakyat.
Sebagian besar rumah, apartemen, sepeda motor, dan mobil dibeli dengan cara kredit. Di masa normal, persentase kredit bermasalah (non-performing loan) di bawah lima persen.
Oleh karena itu, bila 3-6 bulan ke depan terjadi kenaikan NPL hingga melampaui lima persen, itu menandakan debitur sudah mulai kewalahan bayar angsuran.
Bisa jadi karena penghasilannya tersedot untuk kebutuhan primer. Bisa pula karena mereka dirumahkan atau di-PHK karena perusahaan tempat mereka bekerja tiba-tiba melakukan rasionalisasi.
Kita berharap Bank Indonesia segera melakukan intervensi agar dolar tidak semakin liar, melampaui Rp13.000. Langkah ini penting untuk meyakinkan pasar dan masyarakat bahwa saat ini kita tidak sedang memasuki fase awal krisis moneter seperti pernah terjadi 17 tahun lalu. ***
Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor:
Zaenal A.
COPYRIGHT © ANTARA 2024