Menggugat Jarak Rakyat dengan DPR
Rabu, 18 Februari 2015 13:33 WIB
Pada tataran tersebut, kita masih melihat bahwa arah politik KIH dan KMP sedikit banyak masih mencerminkan sikap konstituennya dalam kebijakan-kebijakan politik yang diambil parlemen atau pemerintah.
Akan tetapi, sekat tebal KIH dengan KMP langsung luluh lantak ketika Presiden Jokowi mengirim nama Budi Gunawan untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan di parlemen. Kedua kubu kompak mengamini pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri kendati saat itu Komisi Pemberantasan Korupsi baru saja menetapkan BG sebagai tersangka.
Fahri Hamzah, politikus PKS (KMP) termasuk salah seorang yang bersuara lantang mendesak kepada Presiden untuk secepatnya melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri meskipun saat itu sidang praperadilan Budi Gunawan belum digelar di PN Jakarta Selatan. Begitu pula politikus di kubu KMP, seperti Desmon J. Mahesa (Gerindra) dan Taufik Kurniawan (PAN).
Padahal, publik sebagaimana terekam di media sosial atau media arus utama, dengan suara lantang dan berkelanjutan menentang pelantikan Budi Gunawan sebagai orang nomor wahid di Polri. Penentangan kian kencang pascaputusan praperadilan yang dimenangkan kubu BG.
Dalam kasus tersebut sikap dan aspirasi politik konstituen dengan wakil rakyat di DPR jelas-jelas berseberangan. Mengapa politikus-politikus di Senayan tidak mau mendengar suara rakyat, tapi malah mengumandangkan koor untuk Presiden agar segera melantik Budi Gunawan. Untuk apa sebutan mentereng "pembawa aspirasi rakyat" yang selama ini didengungkan para politikus?
Ada jarak yang luar biasa jauh antara wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya. Bahkan, seolah keduanya tidak memiliki hubungan politik, sosial, sejarah, dan psikologis karena apa yang disampaikan politikus di Senayan berbanding terbalik dengan aspirasi mayoritas rakyat.
Mengapa dalam kasus tersebut partai politik yang direpresentasikan oleh fraksi-fraksi di DPR tidak mau mendengar aspirasi konstituennya? Apakah konstituen sudah sedemikian bodoh dan buta informasi sehingga suaranya bisa diabaikan begitu saja oleh wakil rakyat?
Ketidakwajaran bersikap partai-partai politik, terutama anggota KMP yang memosisikan sebagai oposisi, dengan mudah menimbulkan kecurigaan dan spekulasi. Misalnya, dugaan ada transaksi atas sikap politik yang berseberangan secara diametral dengan konstituen.
Sudah sedemikian nekatkah partai-partai politik sehingga tidak ada yang suaranya segaris dengan kebanyakan orang? Kalau memang tidak lagi mau menyampaikan sikap dan aspirasi rakyat, maka gugur pula sebutannya sebagai wakil rakyat.
"Buruh partai" mungkin sebutan yang lebih tepat untuk politikus DPR saat ini. Bukankah mereka hanya melaksanakan perintah partai, tapi tuli terhadap suara rakyat?
Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor:
Zaenal A.
COPYRIGHT © ANTARA 2024