Logo Header Antaranews Jateng

Ketika Para Buddhis Menyapa Pagi Candi Borobudur

Rabu, 1 Juli 2015 22:04 WIB
Image Print
Sejumlah biksuni bersama umat Buddha berjalan mengelilingi Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, pada acara Konferensi Wanita Buddhis Internasional Sakyadhita, Rabu (1/7). ANTARA FOTO/Anis Efizudin/Rei/pd/15.
Orkestra kokok ayam tak diketahui rampungnya. Tiba-tiba saja menghilang dari perhatian wisatawan Borobudur di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, yang pagi itu khusus berkehendak menikmati indahnya sinar matahari terbit dengan hamparan kabut tebal menyelimuti kawasan candi tersebut.

Matahari yang mulai terlihat dari puncak stupa Candi Borobudur pada pukul 06.05 WIB itu seakan muncul dari peraduan. Bagaikan sinarnya menyembul tepat di antara pertemuan lembah Gunung Merapi dan Merbabu, nun jauh dari tempat wisata religius bagi umat Buddha itu.

Kemunculan sinar matahari yang seakan persis di antara Gunung Merapi dan Merbabu pada hari pertama bulan ketujuh tahun 2015 menjadi pembenar seorang petugas satuan pengamanan yang sebelumnya berbicang-bicang ramah dengan seorang wisatawan Candi Borobudur.

"Masih," kata anggota Satpam Zona I Candi Borobudur itu ketika menjelaskan bahwa sejak beberapa waktu terakhir matahari terlihat terbit mulai di antara dua gunung tersebut.

Lantunan ungkapan bunyi sembahyang menggantikan orkestra bunyi kokok ayam, sepertinya turut menyambut matahari yang temaram bergerak makin tinggi dengan cahayanya yang menjadi lebih terang. Udara sejuk pagi itu tercatat 22 derajat Celsius memberikan kesan kepada mereka yang ada di tempat itu.

"'Namo sakyamuni, namo buddhaya, sadhu, sadhu'," begitu sebagian ungkapan doa digemakan lirih yang berulang-ulang oleh ratusan biksuni bersama wanita Buddhis berasal dari 45 negara yang pagi itu berada di puncak Candi Borobudur.

Mereka mendaraskan doa-doa sambil berpradaksina di lantai puncak stupa candi yang dibangun sekitar abad ke-8, masa Dinasti Syailendra, di antara Kali Elo dengan Progo, dengan sebelah selatan berupa deretan Pegunungan Menoreh yang pagi itu juga sedang bermandi hamparan kabut tebal warna putih.

Kehadiran kalangan Buddhis di Candi Borobudur tidak setiap pagi terlihat, sedangkan tingkat keramaian wisatawan, terutama mancanegara, untuk menyaksikan matahari terbit telah berlangsung sejak sekitar sebulan terakhir.

"Ini kan sudah 'summer' (musim panas, red.), lebih banyak wisman datang ke Borobudur setiap tahun," kata Mura Aristina, petugas Bagian Hubungan Masyarakat Balai Konservasi Borobudur yang mendampingi rombongan biksuni dan wanita Buddhis berkunjung untuk berdoa, membaca parita, dan sutra di Candi Borobudur.

Pada hari Rabu (1/7) pagi, jumlah wisman dan wisnus matahari terbit di Candi Borobudur tercatat 113 orang, sedangkan rombongan biksuni dan wanita Buddhis berasal dari berbagai negara di empat benua sekitar 500 orang dipimpin Presiden Sakyadhita (International Association of Buddhist Women) Biksuni Jetsuma Tensin Palmo (72) berasal dari Inggris.

Tensin Palmo selama 12 tahun, sejak 1976--1988, tinggal di daerah dengan suhu di bawah minus 35 derajat Celsius dan bersalju selama 6--8 bulan setiap tahun. Dalam kurun waktu itu, dia tinggal di salah satu gua di Pegunungan Himalaya untuk menjalani latihan meditasi berdasarkan ajaran Buddha kuno.

Para biksuni dan wanita Buddhis yang melakukan kunjungan religius ke Candi Borobudur pagi itu adalah separuh dari seluruh peserta Konferensi Internasional Ke-14 Sakyadhita bertempat di Yogyakarta, 23--30 Juni 2015. Konferensi mereka digelar setiap dua tahun sekali dengan tempat berpindah-pindah di berbagai negara anggota.

Pembukaan konferensi ke-14 oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin yang antara lain dihadiri Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang notabene Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, sedangkan penutupan oleh istri Sri Sultan yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah RI Gusti Kanjeng Ratu Hemas.

"Di sini (Candi Borobudur, red.) setelah konferensi, kami memanjatkan doa untuk perdamaian dunia, untuk terciptanya keadilan sosial yang kuat, dan semangat 'welas asih' yang makin berkembang," kata Wakil Ketua Panitia Konferensi Ke-14 Sakyadhita Lusy Salim.

Kehadiran mereka di Candi Borobudur bertepatan dengan matahari terbit membuat kepariwisataan Borobudur pagi itu terkesan kental dengan suasana religius kebuddhaan. Borobudur adalah candi peninggalan zaman Buddha. Sejak 1991 ditetapkan oleh Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) sebagai warisan budaya dunia.

Setiap tahun sekali, umat Buddha dari berbagai daerah di Indonesia dan negara lain merayakan Tri Suci Waisak di Candi Borobudur. Waisak untuk memperingati tiga peristiwa penting dalam ajaran Buddha, yakni kelahiran Sidharta Gautama, Sang Buddha mencapai pencerahan sempurna, dan mangkat Buddha Gautama.

Para biksuni dan wanita Buddhis yang melakukan prosesi doa di Candi Borobudur saat matahari terbit itu, berasal dari empat sangha Buddha, yakni Tantrayana, Theravada, Mahayana, dan Buddhayana.

"Dengan tradisi sangha masing-masing, kami melakukan persembahan doa di sini untuk menguatkan spiritualitas dan tekad membangun kehidupan bersama umat manusia yang semakin berkeadilan, terbebas dari berbagai kekerasan, termasuk membebaskan diri dari tindak kekerasan terhadap wanita dan kekerasan dalam rumah tangga," katanya.

Darasan doa dari puncak Candi Borobudur itu, kata dia, juga untuk memperkuat tekad peserta konferensi dalam membangun kesamaan peran antara pria dan wanita dalam kehidupan di dunia.

"Untuk kami memperkuat tekad membangun perdamaian dunia, membangun kesamaan peran pria dan wanita. Pria dan wanita sesungguhnya memang berbeda, tetapi saling melengkapi dalam kehidupan," katanya.

Secara spontan dan atas kesadaran masing-masing, para wisatawan yang sebelumnya duduk-duduk santai di teras stupa untuk menyaksikan matahari terbit, lalu bergeser ke tempat lain. Mereka memberikan penghormatan dan mewujudkan sikap toleransi kepada para biksuni dan kaum Buddhis yang melakukan prosesi persembahyangan di stupa itu.

Mereka memberi jalan untuk kalangan Buddhis menjalankan prosesi pradaksina beberapa kali di teras stupa Borobudur sehingga suasana khusyuk dengan seketika terbangun lekat dalam terpaan terbitnya sinar matahari di ufuk timur dari candi Buddha terbesar di dunia itu.

Setelah pradaksina, Biksuni Jetsuma Tensin Palmo bersama sejumlah wanita Buddhis lainnya duduk bersila di teras stupa Borobudur. Mereka bersila dan bermeditasi dengan menghadap ke timur bagaikan menikmati terpaan sinar matahari yang keluar dari peraduan.

Para biksuni dan umat lainnya mengambil tempat yang terpisah, lalu duduk bersila di beberapa tempat di teras stupa untuk melakukan meditasi dan pembacaan doa-doa dengan takzim untuk perdamaian dunia.

Kehadiran mereka untuk prosesi doa, memperkuat usaha-usaha pengelola Candi Borobudur selama ini dengan dukungan berbagai pihak yang berkepentingan untuk membangun kepariwisataan religius atas Borobudur, sebagaimana dikatakan Direktur Pemasaran dan Kerja Sama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, Sahala Parlindungan Siahaan.

Berkunjung ke Candi Borobudur bukan hanya berfoto "selfie", melainkan juga penting mengembangkan tempat itu untuk wisata religius, terutama bagi umat Buddha dari seluruh dunia.

"Borobudur juga penting sebagai tempat wisata religi. Potensi Borobudur kuat untuk menjadi kiblat umat Buddha untuk kegiatan ritual," katanya saat beberapa waktu lalu berbicara pada "Sosialisasi Warisan Budaya dan Pemanfaatannya untuk Pariwisata" di hadapan para taruna Akademi Militer di lembah Gunung Tidar Kota Magelang.

Kunjungan kalangan pemeluk Buddha dari berbagai belahan dunia ke Candi Borobudur bertepatan dengan terbitnya matahari, bukan lagi sekadar daya tarik bagi wisatawan umum.

Sapaan atas pagi hari melalui prosesi persembahyangan mereka di bangunan agung dan bersejarah itu, juga menjadikan suasana hidup kepariwisataan religius di Candi Borobudur.


Pewarta :
Editor: M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025