Ketika Gejala "Xenoglosofilia" Kian Menggila
Rabu, 7 Oktober 2015 14:16 WIB
Kesannya, tanpa menggunakan kata atau kalimat asing, pesan yang disampaikan tidak dimaknai sebagai sesuatu yang berkelas.
Hampir semua produk yang bersentuhan dengan teknologi, sebut saja mobil, sepeda motor, telepon seluler, serta peralatan elektronik rumah tangga, cara mengiklannya pun acap menggunakan istilah asing.
Padahal, jika tidak malas menengok kekayaan bahasa Indonesia atau bahasa daerah, boleh jadi tersedia beberapa padanan kata yang bisa diserap dari beragam bahasa yang ada di negeri ini.
Yang lebih menyedihkan, sejumlah media seolah tidak berdosa kala memberi nama program tayangannya dengan istilah asing. Sebut saja "Indonesia Morning Show" dan "Indonesia Lawyer Club". Indonesia disebut, tapi dipisahkan dari jati dirinya.
Lalu ada tayangan "Kick Andy", "Prime Time News", "Wide Shot", "Ini Talk Show", "Opera van Java", dan masih banyak lagi.
Stasiun televisi nasional, yang memiliki jangkauan luas serta punya pengaruh lebih besar dibandingkan dengan media lain, seharusnya menyadari posisi pentingnya sebagai perekat bangsa.
Bukan malah latah menggunakan istilah asing demi menempatkan dirinya pada sesuatu yang semu agar dicap sebagai tayangan berkelas.
Meluasnya penggunaan istilah asing sempat merisaukan Pemda Jawa Tengah pada 1980-an. Pemda akhirnya mengeluarkan larangan penggunaan kata atau istilah asing untuk tempat usaha.
Hasilnya, memang ada. Sejumlah toko yang semula menggunakan kata asing mengubah namanya yang lebih berkaratker Indonesia. Kebijakan tersebut menunjukkan adanya pemihakan pemimpin terhadap bahasa sendiri.
Kendati kebijakan tersebut sempat dinilai kontroversial, di tengah derasnya pengaruh keterbukaan zaman seperti sekarang, bangsa ini membutuhkan sosok yang berani melawan arus demi memperkuat salah satu unsur perekat bangsa yang bernama bahasa.
Kesepakatan menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia merupakan berkah tak terkira bagi bangsa ini. Sayangnya, bangsa ini tidak selalu menyadari pentingnya bahasa bagi keberlangsungan sebuah bangsa.
Kehebatan bahasa Indonesia di luar fungsinya sebagai alat komunikasi juga diakui oleh ahli Indonesia, William Liddle. Indonesianis asal Amerika Serikat ini menyatakan bahasa Indonesia menjadi bahan perekat penting dalam membentuk budaya Indonesia modern.
Namun di era kesejagatan yang semakin terbuka akibat kemajuan teknologi komunikasi, yang berlaku akhirnya hukum rimba; "Siapa yang kuat, dialah yang menang".
Bagi sebuah bangsa yang masih menyisakan penyakit rendah diri dan dibarengi dengan lemahnya posisi konsumen, tidak akan sulit bagi penguasa wacana (produsen/pengiklan) untuk menaklukkan awam.
Meminjam konsep hegemoni Antonio Gramsci, awam merasa tidak sedang dikuasai oleh wacana yang dijejalkan oleh pengiklan (penguasa) sehingga menganggap istilah dan kosa kata yang disampaikan dalam bahasa bangsa lain pun dianggap wajar sekalipun itu berada di negeri sendiri. Celakanya, tidak sedikit yang malah menganggap lebih berkelas.
Tersudut
Betapa pengembang apartemen nyaris tidak menyisakan kata dalam bahasa Indonesia. Padahal yang dimaksud setali tiga uang dengan rumah susun.
Disadari atau tidak, dalam benak masyarakat akhirnya terbentuk pesan dan citra kuat bahwa rumah susun itu untuk warga kelas bawah atau warga tergusur, sedangkan apartemen untuk kalangan berpunya.
Belum cukup dalam bermain kata dan kalimat, perancang iklan apartemen (baca: rumah susun) juga cenderung memilih model orang bule ketimbang orang Indonesia. Padahal, pasar utamanya WNI.
Pemilik kafe tenda juga tidak mau kalah mendongkrak harga pisang goreng berkeju dengan menamakan "banana fritters". "Black coffee", "french fries", "crispy tofu", "orange juice" dan banyak lagi istilah asing seolah menjadi hal biasa ketika pembeli disodori daftar makanan.
Dalam olok-olok yang beredar di media sosial, rumah yang dijual dengan iklan berkata kunci "river side" laku Rp750 juta, tapi bila disebutkan rumah "girli" alias pinggir kali hanya bisa ditawarkan Rp100 juta.
Tamam Ruji Harahap dalam artikel berjudul "Bahasa Menunjukkan (Kebingungan) Bangsa" menggambarkan kondisi bangsa Indonesia saat ini yang semakin tersudut.
Ia menerangkan di era kesejagatan, dengan menggunakan istilah Marshall Mc. Luhan, Indonesia modern sudah semakin terpojok dan tersudutkan oleh kuatnya desakan hegemoni kapitalisme secara ekonomi politik.
"Indonesia modern secara sosiokultural juga semakin terserabut dan terseret ke dalam permainan realitas semu, yang melenturkan dan meleburkan identitas sekaligus mendesak bahasa Indonesia ke tepian praktik sosial dalam kehidupan masyarakat," tulis Tamam seperti dimuat dalam laman balaibahasa.org.
Dalam riset di kedai di Yogyakarta, ia sampai pada kesimpulan bahwa penggunaan istilah asing sudah tidak tepat lagi disebut sebagai fenomena, tapi sudah menjadi gejala.
"Ini adalah sebuah 'xenoglosofilia'; yaitu suatu kecenderungan untuk 'beringgris-inggris ria' (baca: berbahasa asing)," tulis Tamam.
Gejala xenoglosofilia bukan hanya melanda kalangan pebisnis dari kelas tenda pinggir jalan hingga restoran dan hotel bintang lima. Para pejabat negara pun memilih menggunakan istilah asing kendati sudah tersedia dalam istilah Indonesia.
"Double tracks", "monorail", "busway", "separator", "site plan", "single", "power plant, "feeder", "sustainable", "ring road", "underpass", "three in one", dan lainnya.
Bangsa ini juga membiarkan kata diskon merajalela. Padahal kata potongan digunakan jauh lebih dulu. Kata panjar yang lebih ringkas, kini pun tersisih dengan istilah DP (down payment).
Warga juga dihinggapi "penyakit" serupa, termasuk pendukung setia klub sepak bola. Di sebuah dinding selokan, ditulis besar seperti ini: (lambang PSIS) never surender..! You'll never understand if you're not the one of us.(PSIS tidak pernah menyerah. Kalian tidak pernah mengerti karena kalian bukan merupakan bagian dari kami).
Kalimat itu sangat mungkin ditulis oleh pendukung setia PSIS setelah klub ini dijatuhi hukuman oleh PSSI akibat permainan sepak bola gajah ketika melawan PSS Sleman pada kompetisi Divisi Utama tahun 2013/2014.
Hanya, yang sulit dimengerti, mengapa ungkapan perasaan seperti itu disampaikan dengan bahasa Inggris. Padahal belum tentu semua pengurus PSSI cakap berbahasa Inggris.
Padahal pula, pendukung setia PSIS sebagian besar lebih cakap berbahasa Indonesia daripada bahasa Inggris. Bahkan setiap hari mereka lebih sering menggunakan bahasa Jawa, bukan bahasa Inggris. Jadi untuk apa diungkapkan dengan bahasa Inggris bila tujuannya dibaca oleh pengurus PSSI atau sesama pendukung PSIS?
Mengapa mereka memilih mengungkapkan perasaan dengan bahasa Inggris? Boleh jadi gejala "xenoglosofilia" memang kian menggila, merasuki semua lapisan warga.
Menuai Sukses
Namun di pihak lain, ada pecinta bahasa dan media berjuang untuk mencari padanan istilah asing ke dalam bahasa Indonesia.
Laman, unduh, unggah, tautan, gawai (gadget), risak (bully), petahana, kudapan, prabayar, pascabayar, canggih, penyintas (survivor), canggih, dan rasuah merupakan sebagian contoh sukses dari pengindonesiaan istilah asing yang akhirnya diterima secara luas.
Memang tidak semua pengindonesiaan istilah asing menuai sukses, milsanya, sangkil dan mangkus untuk menggantikan kata efektif dan efisien.
Akan tetapi, sebagai upaya menebalkan identitas bangsa sekaligus memperkuat kesatuan, tidak sepantasnya bangsa ini menyerah begitu saja atas serbuan asing, termasuk dalam bahasa.
Harus ada kebanggaan sekaligus kesadaran bersama untuk menomorsatukan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi di negeri ini. Thailand, China, dan Prancis bisa jadi contoh rakyatnya bangga terhadap bahasanya.
Pembiaran dan ketelanjuran serbuan asing sudah berlangsung lama termasuk dalam bahasa. Namun, masih ada waktu untuk melindungi bahasa Indonesia agar tidak semakin terpinggirkan.
Bangsa ini tidak cukup hanya mengucapkan sumpah "Berbahasa Satu Bahasa Indonesia", sementara hampir semua ruang dibiarkan disesaki oleh pesan-pesan berbahasa Inggris.
Kewajiban menggunakan bahasa Indonesia pun sudah diatur dalam UU Nomor 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Persoalannya, selama ini penggunaan istilah asing terus dibiarkan tanpa kendali. Pembiaran berkelanjutan ini boleh jadi bakal semakin mengucilkan bahasa Indonesia di negeri sendiri. (penyunting: Masuki M. Astro)
Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor:
Zaenal A.
COPYRIGHT © ANTARA 2025