Logo Header Antaranews Jateng

Priskilla Perempuan Tunanetra Pahlawan Orang-Orang Terbuang

Rabu, 11 November 2015 19:25 WIB
Image Print
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa (tengah) menggendong salah satu anak terlantar yang ditampung di pesantren Metal Muslimin Al Hidayah, Pasuruan, Jawa Timur, Minggu (5/7). (ANTARA FOTO/Moch Asim/wdy/15)
Dilahirkan dengan keterbatasan, yakni tidak bisa melihat sejak lahir tak membuat perempuan penyandang tunanetra kelahiran Jambi, 8 Mei 1978, itu merasa terbatasi dalam kehidupannya.

Usianya sekarang ini 37 tahun. Selama itu pula dia tidak pernah bisa melihat dunia, tetapi tak menjadikannya "buta" terhadap penderitaan orang-orang yang membutuhkan kasih dan sayang.

Pendidikan sekolah dasar yang tak dienyamnya sampai lulus membuatnya memutuskan merantau menjajal berbagai macam profesi, mulai kondektur, penjual kue, sampai sempat jadi preman pasar.

Akhirnya, ibu dua anak itu "terdampar" di Semarang yang mempertemukannya dengan Fandy Prasetya Kusuma yang menjadi pendamping hidupnya saat menjajal kemampuannya jadi penyiar radio di Rhema FM.

Kehidupan keras yang dialami Priskilla membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang keras, termasuk sempat sangat marah dan membenci kedua orang tuanya. Namun, kini semuanya berubah menjadi kasih.

Melalui Yayasan Sekolah Kehidupan yang didirikannya sejak 2005, Priskilla menampung orang-orang selama ini terbuang, seperti anak-anak jalanan, anak telantar, sampai penderita gangguan jiwa.

Meski harus berpindah-pindah kontrakan, tak menghalangi Priskilla untuk melayani sesama yang kini dilakukannya bersama sang suami di sebuah rumah kontrakan, Jalan Cakrawala Utara III Nomor 34 Semarang.

"Saya mau memberikan harapan hidup bagi orang-orang yang sudah diabaikan keluarganya," kata ibu dari Dyka Adlero Clifzer Holy Covenant (Adlero) dan Holy Melekh Fedelick Ephesdamim (Holy) itu.

Priskilla pun pernah diundang dalam sebuah tayangan inspiratif dari sebuah stasiun televisi swasta dan pernah pula mendapatkan penghargaan Universitas Diponegoro Award atas kiprahnya.

Sekarang ini, setidaknya ada puluhan orang yang ditampung di Yayasan Sekolah Kehidupan (The School of Life Foundation), terdiri atas 28 laki-laki dewasa, 22 perempuan dewasa, dan 12 anak-anak.

Untuk orang-orang dewasa memang dibedakan tempatnya dengan anak-anak, mengingat anak-anak yang dirawat Priskilla rata-rata sudah sejak bayi yang sekarang ini juga disekolahkannya secara formal.

"Orang dewasa sama anak-anak tidak disatukan. Anak-anak ini tidak mengalami disabilitas dan gangguan kejiwaan. Rata-rata mereka dirawat sejak bayi," kata Elisabeth Jusmi, pengasuh di Yayasan Sekolah Kehidupan.

Priskilla sering mendapat "titipan" bayi-bayi yang dibuang oleh orang tuanya karena hasil hubungan di luar nikah, kemudian dirawat di Yayasan Sekolah Kehidupan, termasuk disekolahkan.

Modalnya Adalah Kasih
Elisabeth yang akrab disapa Elis sudah tujuh tahun membantu Priskilla untuk merawat orang-orang terbuang ini dan kini merasakan kenyamanan dengan memberikan kasih kepada sesama yang membutuhkan.

Diakuinya, Priskilla yang dikenalnya semasa menjalani pendidikan teologia di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, merupakan sosok perempuan tangguh yang tidak pernah menyusahkan orang lain.

"Kebetulan, beliau (Priskilla, red.) satu kamar dengan saya ketika menempuh pendidikan teologia di Ungaran. Meski memiliki keterbatasan, beliau tidak pernah mau merepotkan orang lain," ujarnya.

Setelah itu, Elis diajak Priskilla untuk membantu memberikan pelayanan di Yayasan Sekolah Kehidupan. Namun, tak segera diiyakannya karena harus meminta persetujuan keluarganya di Purwodadi, Grobogan.

Ternyata, keluarga tidak menyetujui dan setelah itu sempat putus kontak cukup lama dengan Priskilla. Namun, setelah empat tahun kemudian Priskilla kembali menghubunginya dan segera disanggupinya.

"Awalnya, saya juga kaget karena tiba-tiba harus berbaur dan merawat mereka-mereka ini. Namun, sekarang ini saya sangat merasa nyaman. Bu Priska (panggilan Priskilla, red.) sangat hebat," katanya.

Bahkan, Priskilla dan semua pengasuh yang berjumlah sekitar 25 orang, yakni 15 pengasuh dewasa dan 10 pengasuh anak-anak, di Yayasan Sekolah Kehidupan menganggap semuanya lebih dari keluarga sendiri.

Suami Priskilla, Fandy (33), juga menilai istrinya sebagai sosok perempuan yang hebat yang mampu memberikan kasih sayang kepada semua orang tanpa melupakan kewajibannya sebagai istri dan juga ibu.

"Saya ketemu pertama dengan Priska saat siaran di Rhema FM. Kebetulan, saat itu saya mentori dia. Ketika itu, orang yang ditampungnya baru satu orang," kata pria kelahiran Semarang, 9 September 1982 itu.

Fandy juga setia mendampingi Priska berpindah-pindah mencari kontrakan demi kontrakan untuk rumah, kantor yayasan, sekaligus untuk menampung orang-orang yang membutuhkan kasih sayang tanpa syarat.

"Awalnya di kawasan Talangsari, kemudian pindah di Murti Mulyo, Muktiharjo, kemudian Tlogosari. Setelah itu, sempat pula ditampung di sebuah gereja di Permata Hijau, Semarang, selama sebulan," katanya.

Kemudian, pindah lagi ke daerah Tanah Mas, lalu daerah Bintoro, dan sekarang ini di Jalan Cakrawala yang bersebelahan dengan Bandara Internasional Ahmad Yani Semarang yang juga masih mengontrak.

Mereka sama-sama mengiyakan modal utama untuk memberikan pelayanan kepada orang-orang yang membutuhkan itu adalah kasih yang diberikan tanpa syarat. Pasalnya, jika sudah bersyarat berarti tidak ada ketulusan.

"Saya katakan orang terbuang karena mereka benar-benar terbuang. Tidak ada yang mempedulikan mereka lagi, mungkin karena malu, dan sebagainya. Namun, kami menyayangi mereka dengan kasih," pungkas Fandy.


Pewarta :
Editor: M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024