Kisah Bayu Selama Penyanderaan
Rabu, 4 Mei 2016 16:40 WIB
Pasangan suami istri warga Dukuh Miliran, Desa Mendak, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah tersebut, sebelum ada kabar tentang putra sulungnya, Bayu termasuk 10 WNI yang disandera di kawasan lautan perbatasan Filipina dan Malaysia, pada Sabtu (26/3), menjalani kehidupan seperti hari-hari biasa.
Bayu Oktavianto seperti biasa, setiap berangkat berlayar menjalankan tugas dari perusahaan, PT Patria Maritim tersebut, menghubungi orang tuanya untuk pamitan. Saat itu, dia di Banjarmasin Kalimantan Selatan, berpamitan akan ke Filipina.
Namun, beberapa hari kemudian Sutomo dikagetkan berita 10 WNI ABK Tug Boat Brahma 12, termasuk putranya, telah disandera oleh kelompok teroris pimpinan Abu Sayyaf.
Dia mengatakan keluarga kaget dan prihatin atas berita yang menimpa anak sulungnya saat berlayar ke Filipina. Bahkan, sejumlah sanak kerabat dan tetangganya sempat memberikan dukungan moral agar mereka tetap tabah dan sabar menghadapi peristiwa itu.
Sutomo bersama kelompok pengajian di desanya kemudian melakukan zikir dengan dipimpin seorang ustadz setempat setiap malam, sejak kabar Bayu dan sembilan WNI ABK disandera.
"Kami sebelumnya tidak ada firasat jika Bayu mendapat musibah itu," katanya.
Namun, Sutomo bersama kelompok pengajiannya baru melaksanakan zikir 33 hari, sudah ada kabar jika Bayu Oktavianto bersama sembilan lainnya sudah dibebaskan dari penyanderaan di Pulau Suluh, Filipina selatan.
"Saya bersama keluarga bersyukur setelah mendapatkan telepon dari pihak perusahaan PT Patria Maritim Jakarta, bahwa 10 ABK, termasuk Bayu, sudah dibebaskan dari penyanderaan," kata Sutomo.
Dia mengaku sebelumnya sekitar pukul 14,00 WIB telah diberitahu oleh awak media bahwa putranya bersama sembilan ABK lainnya sudah dibebaskan dari sandera kelompok Abu Sayyaf di Filipina.
Namun, pihak keluarga belum percaya dengan informasi tersebut karena sebelumnya sudah diberitahu oleh perusahaan tempat putranya bekerja, agar tidak mempercayai informasi selain dari perusahaan atau pemerintah.
Sutomo kemudian sekitar pukul 16.00 WIB mendapat telepon dari petugas bagian personalia PT Patria Maritim Jakarta, bernama Mega, bahwa putranya bersama sembilan ABK sudah dibebaskan dari penyanderaan.
"Saya percaya langsung bersyukur, Tuhan Yang Maha Esa telah melindungi anak kami, Bayu kembali dengan selamat," katanya.
Bahkan, Sutomo kemudian juga mendapatkan informasi terakhir dari perusahaan, bahwa 10 ABK yang sudah dibebaskan tersebut, dalam perjalanan dari Filipina menuju Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta, Minggu (1/5) malam.
Pihak keluarga Bayu di Klaten diminta untuk berangkat ke Jakarta untuk menjemput putranya. Sutomo bersama adik kandungnya, Supardi, berangkat dari rumah menuju Bandara Adi Soemarmo Boyolali, pada Senin (2/5), sekitar pukul 09.00 WIB. Mereka berangkat naik pesawat Sriwijaya Air pada pukul 11.00 WIB.
"Kami mendapatkan informasi dari pihak perusahaan pelayaran, bahwa Bayu bersama sembilan ABK lainnya tiba di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta, Minggu (1/5) malam. Mereka tidak langsung dipulangkan ke rumah masing-masing," ujarnya.
Ia mengaku diminta ke Jakarta dengan dikirim bukti pesan untuk dua orang, tiket pesawat Sriwijaya Air melalui Bandara Adi Soemarmo, Senin (2/5) paginya.
Di Jakarta, setelah acara serah terima, selanjutnya Bayu bisa dibawa pulang ke kampung halamannya di Klaten. Bayu yang ditemani ayahnya dan pamannya kemudian pulang ke Klaten melalui Bandara Adi Soemarmo Boyolali, pada Selasa pagi.
Kedatanganya ditunggu-tunggu keluarga, terutama ibunda Rahayu, sanak saudara dan kerabatnya sejak Selasa pagi. Mereka baru tiba di Bandara Adi Soemarmo sekitar pukul 09.35 WIB.
Setelah Bayu masuk terminal kedatangan di Bandara Adi Soemarmo dan menuruni tangga, ibu kandungnya langsung berlari menghampiri putra sulungnya itu.
Rahayu langsung mendekap erat tubuh Bayu, seolah-olah tidak mau melepaskan, karena sudah sekian lama dia tidak bertemu putranya yang bekerja di luar pulau di perusahaan pelayaran dan menghadapi penyanderaan.
Bayu yang mendapatkan sambutan hangat dari ibu kandung, tunangan, dan sanak saudaranya tidak bisa menahan haru. Bayu kelihatan tabah dan bersyukur karena tetap diberikan kesehatan dan bertemu keluarganya kembali setelah pembebasan dari penyanderaan.
Ia kemudian menceritakan kisahnya bersama sembilan temannya selama dalam penyaderaan. Mereka merasa khawatir dan selalu was-was saat dalam pengawasan para penyandera yang semuanya berkomunikasi menggunakan bahasa daerah setempat.
"Saya tidak tahu apa yang diomongkan para penyandera karena mereka menggunakan bahasa daerah mereka," kata Bayu saat tiba di rumahnya di Klaten.
Saat awal kejadian sekitar pukul 03.00 WIB, ujarnya, para penyandera tiba-tiba sudah berada di kapalnya dan kemudian 10 WNI ABK dibawa ke suatu pulau di mana Bayu tidak tahu tempat itu.
Bayu bersama lainnya selama 33 hari dalam penyanderaan, hidup di hutan, dan tidur di tanah. Jika mereka tidak makan, 10 sandera itu juga tidak makan. Makan diberikan dua kali, yakni nasi yang dibungkus dengan daun pisang atau kadang dibuat ketupat.
Dia mengaku selama hidup di hutan kakinya sempat gatal-gatal karena sering digigit nyamuk, bukan karena luka dianiaya oleh penyandera.
Mereka tidak mengancam 10 ABK, tetapi mereka memberitahukan kalau tuntutan uang tidak diberikan oleh perusahaan, para sandera akan dipenggal kepalanya.
"Jika perusahaan tidak mau bayar, kami akan dipotong kepala," kata Bayu yang kelahiran 16 Oktober 1993 itu.
Sebanyak 10 WNI ABK, kata dia, selama hidup di hutan kadang dipisah menjadi dua kelompok dan kadang juga dijadikan satu kelompok. Bayu bersama sembilan orang lainnya pernah dipisah menjadi dua kelompok, yakni tiga orang dalam satu kelompok dan satu kelompok lainnya tujuh orang, termasuk Bayu.
Jika mereka memindahkan tempat sandera, 10 ABK ditutup matanya. Bayu bersama ABK lainya hanya pasrah dan menurut apa yang dimau para sandera. Jika memungkinan bisa tidur maka mereka tidur, tetapi jika tidak, para ABK mengobrol untuk menghilangkan ketakutan.
Menurut Bayu, selama disandera kehidupan bersama-sama di hutan, bukan dimasukan dalam rumah karena di hutan tidak ada rumah. Para penyandera jumlahnya banyak dengan masing-masing membawa senjata.
Mereka, katanya, memperlakukan para sandera dengan baik. Jika mereka menjalankan shalat, para sandera juga ikut meski ada yang non-muslim berjumlah tiga orang.
Mesksipun Bayu mengalami peristiwa penyanderaan, dia tetap akan menjalani kehidupan berlayar karena hal itu sudah menjadi profesi dan cita-citanya sejak kecil.
"Saya tetap berlayar karena sudah menjadi profesinya. Saya tidak kapok berlayar karena hal ini sudah menjadi risiko," katanya.
Namun, dirinya untuk sementara waktu harus istirahat terlebih dahulu agar pikiran lebih tenang setelah peristiwa penyaderaan yang menimpa dirinya bersama sembilan temannya beberapa waktu lalu.
Dia menceritakaan saat awal pembebasan. Sebanyak 10 ABK, termasuk dirinya, diantar ke pulau lain dan hanya sampai di jalan, kemudian dijemput dengan truk yang bermuatan kayu, Mereka dibawa ke rumah gubernur setempat. Setelah diterima gubernur, mereka diberi makan dan baju.
"Saya bersama sembilan ABK diantar dengan truk selama sekitar tiga jam, dan tidak tahu jika dibebaskan," kata Bayu.
Dia mengaku selama disandera, hal yang dirasakan hanya takut, pasrah, dan selalu berdoa. Semua barang diminta oleh penyandera dan hanya dokumen pribadi yang dikembalikan.
"Kami selalu jalan selama di hutan berpindah-pindah tempat sekitar empat hingga lima jam setiap hari, kemudian diminta istirahat. Jika jalan malam hari, mata dibuka, jika siang ditutup," katanya.
Sebanyak 10 ABK tetap bersama-sama dan saling memberikan semangat untuk mengurangi ketakutan. Mereka selalu dikawal. Jika jalan, mereka menjaga di sampingnya. Mereka jalan biasanya pada malam hari, sedangkan siangnya istiharat.
Prosesi Mandi Sungai
Pihak keluarga menyambut kedatangan Bayu Oktavianto di Dukuh Miliran, Desa Mendak, Delanggu, Kabupaten Klaten, dengan meminta Bayu mandi di Sungai Pusur, di belakang rumahnya.
Kepercayaan warga setempat, hal itu untuk membuang sial, dan sebagai prosesi penyambutan Bayu karena kembali ke keluarganya.
Rahayu yang tidak ikut menjemput Bayu di Jakarta, sudah menyiapkan segala sesuatu di rumah, seperti masak tumpeng dan segala kelengkapannya, untuk syukuran atas keselamatan Bayu dan kembalinya anak itu ke keluarga.
Ia mengatakan saat tiba di kampung halaman, Bayu tidak langsung masuk rumah, tetapi dimandikan di sungai di belakang rumahnya terlebih dahulu. Prosesi itu harus dilakukan sebagai kepercayaan untuk membuang sial yang dialami Bayu.
"Saya sangat bersyukur Bayu bisa pulang dengan selamat. Saya kangen sekali dengan Bayu. Dia masih dilindungi Tuhan Yang Maha Esa," kata Rahayu.
Keluarga menyambut kedatangan Bayu dengan syukuran. Keluarga dan tetangga sudah membuat tumpeng. Malamnya mengadakan pengajian untuk berdoa tanda syukur kepada Tuhan YME yang telah menyelamatkan putranya dan sembilan ABK lainnya dari penyanderaan.
Sutomo mengatakan keluarga tetap mengizinkan Bayu bekerja di pelayaran karena hal itu sudah menjadi cita-cita anak tersebut.
Berdasarkan hasil rapat dengan perusahaan, Bayu untuk sementara diberi waktu istirahat. Dia masih sebagai karyawan perusahana pelayaran tersebut.
Sutomo juga mengucapkan terima kasih kepada pemerintah yang bekerja keras membebaskan 10 WNI ABK dari penyanderaan.
Ungkapan terima kasih keluarga juga ditujukan kepada perusahaan dan berbagai pihak lainnya yang mendukung usaha pembebasan mereka dari para penyandera.
"Kini mereka sudah kembali ke keluarganya masing-masing, terima kasih yang tak terhingga," katanya.
Pewarta : Bambang Dwi Marwoto
Editor:
Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025