Logo Header Antaranews Jateng

Menyoal Impor Jeroan

Selasa, 26 Juli 2016 09:45 WIB
Image Print
Pedagang daging dan jeroan sapi di pasar.
Impor daging beku yang dimaksudkan untuk meredam tingginya harga daging sapi tampaknya tidak membuahkan hasil memuaskan. Harga daging di pasar maupun swalayan tetap dalam kisaran Rp110.000-Rp130.000/kg.

Tingginya harga sapi ditengarai akibat ketidakseimbangan kebutuhan dengan pasokan sapi lokal. Data 2015 menunjukkan kebutuhan nasional mencapai 654.000 ton, sedangkan produksi domestik hanya 416.000 ton. Berarti ada kekurangan 238.000 ton.

Operasi pasar yang digelar menjelang Ramadan 2016 hingga akhir Juli memang gagal menurunkan harga daging sapi. Namun di tengah kegagalan menurunkan harga tersebut, pemerintah justru mengimpor jeroan.

Padahal, selama ini nyaris tidak terdengar keluhan konsumen kekurangan pasokan jeroan. Eksportir utama jeroan ke Indonesia yakni AS, Selandia Baru, dan Australia. Di negara-negara tersebut jeroan tidak diserap penuh oleh pasar domestik sehingga diekspor dengan harga sangat murah.

Sejak pemerintah membatasi impor jeroan pada 2007, impor jeroan memang turun drastis menjadi dalam kisaran 13.000 ton/tahun. Padahal, pada 2004 dan 2005 rata-rata mencapai 35.000 ton/tahun. Ketika terjadi pembatasan impor jeroan, ketiga negara itu protes.

Selama ini memang tidak terdengar kekurangan stok jeroan, seperti usus, paru, hati, dan lainnya. Ini menandakan bahwa sebagian besar konsumen tidak terlalu peduli dengan komoditas tersebut.

Membaiknya pengetahuan dan kesadaran yang dibarengi tindakan tidak mengonsumsi jeroan berlebihan, menjadikan jeroan bukan pilihan penting ketika ingin mengonsumsi protein hewani. Konsumen boleh jadi memilih daging ayam atau ikan yang harganya relatif sama dengan jeroan namun kandungan gizinya lebih baik.

Oleh karena itu, kebijakan mengizinkan jeroan masuk ke negeri ini tetap merupakan anomali di tengah tingginya harga daging sapi. Kalau kebijakan ini dimaksudkan untuk memberi pilihan konsumen di tengah masih tingginya harga daging sapi, ini kurang tepat.

Konsumen tetap membutuhkan daging sapi yang memiliki kandungan gizi tinggi dengan risiko terkena penyakit lebih rendah dibandingkan mengonsumsi jeroan.

Oleh karena itu, kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang menolak masuknya jeroan impor patut diapresiasi. Kebijakan tersebut setidaknya memberi keuntungan peternak, misalnya, harga jeroan hasil pemotongan ternak lokal tidak jatuh.

Selain itu, karena jeroan masih memiliki nilai jual maka harga seekor sapi hidup tetap memperhitungkan harga hati, iso, babat, paru, dan jeroan lain. Dengan demikian harga daging masih bisa ditekan.

Tidak kalah penting, kebijakan Pemprov Jateng melarang masuk jeroan impor menunjukkan sikapnya dalam mendidik rakyat agar menerapkan pola konsumsi sehat dengan tidak mengonsumsi jeroan berlebihan yang harganya murah.

Guna memberi keuntungan kepada peternak lokal dan konsumen, alangkah baiknya pemerintah fokus pada penambahan populasi sapi domestik dengan memperbanyak jumlah peternak.

Sepanjang insentif yang didapat peternak sapi menggiurkan, dengan sendirinya kian banyak orang yang terjun di sektor ini. ***




Pewarta :
Editor: Zaenal A.
COPYRIGHT © ANTARA 2024