Menjadikan Dapur Komposisi Terkemuka
Jumat, 12 Agustus 2016 16:40 WIB
Meskipun sempat diwarnai gerimis di kawasan tersebut pada Kamis (11/8) sore, pertunjukan komposisi seni karya Suwandi Widianto (43), pengajar karawitan di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya yang sedang studi lanjutan di Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta hingga menjelang saat maghrib itu, tetap menyulut kehadiran ribuan orang, terutama warga dari desa-desa sekitar gunung setempat.
Sekitar 150 orang, gabungan mahasiswa STKW Surabaya dan masyarakat Padepokan Wargo Budoyo, Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, menyajikan "Dapurmu" secara memikat dengan gelak tawa dan keterlibatan penonton, termasuk anggota Banser dan aparat kepolisian.
Pemimpin Padepokan Wargo Budoyo Gejayan Riyadi didaulat sebagai pemimpin produksi karya komposisi pertunjukan "Dapurmu" berdurasi sekitar satu jam itu, yang disiapkan selama enam bulan terakhir.
Mereka memulai pementasan dengan arak-arakan dari tepi dusun menuju halaman rumah warga. Sekitar 150 pemain yang ikut arak-arakan itu, antara lain penari grasak (Padepokan Lumaras Budoyo Desa Petung, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang), para pembawa kayu bakar, dan sejumlah perempuan yang membawa berbagai alat dapur.
Rangkaian pergelaran juga menjadi ajang keramaian desa setempat dan mengundang kehadiran puluhan pedagang aneka barang, antara lain mainan anak-anak, makanan, dan minuman. Mereka menggelar dagangan di tepi kiri dan kanan jalan makadam dusun.
Gapura pintu masuk dusun juga dipasangi instalasi dari berbagai alat-alat rumah tangga terbuat dari anyaman bambu, seperti kukusan, tambir, tenggok, tampah, keranjang, besek, dan "cething".
Hadir dalam pertunjukan di halaman rumah warga yang telah dipasangi sejumlah instalasi berupa gubuk dari bahan alami itu, antara lain Camat Pakis Mashadi, Direktur Program Pascasarjana ISI Surakarta Aton Rustandi Mulyana, pengajar Program Pascasarjana ISI Surakarta Rahayu Supanggah dan Pande Made Sukerta.
Selain itu, pengajar seni tari Universitas Negeri Yogyakarta Wenti Nuryanti, budayawan Magelang Sutanto Mendut, Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto, dan pimpinan Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor di kawasan Gunung Merapi Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang Sitras Anjilin.
Secara umum, skenario teater Kentrung dengan menghadirkan dalang muda Komunitas Lima Gunung Sih Agung Prasetyo menceritakan warga setempat bernama Pak Timbul sedang memiliki hajat untuk anaknya yang bernama Suwandi.
Para ibu rumah tangga yang tetangga Pak Timbul, dengan dipimpin juru masak hajatan (Purbandari) datang untuk menyiapkan berbagai hidangan guna sajian para tamu yang diperankan Singgih, Badi, dan Sucipto.
Instalasi berupa dua gubug digunakan para perempuan, antara lain untuk menumbuk padi, mencuci piring dan periuk, memasak nasi, dan menu lainnya, sedangkan satu gubug sebagai ruang tamu, dan satu lainnya untuk para pemain musik menyuguhkan tembang-tembang Jawa dengan iringan tabuhan berirama variatif dari berbagai alat musik, seperti rebana atau terbang, kendang, drum, kenong, serta gesekan biola sebagai pengiring cerita "Dapurmu".
"'Sun wiwiti uro-uro sore enthe. Kulak krungu among rasa tapa ngrame. Luweng lemah, dandang mengkreng geni mawa. Lembah manah laku anteng solah bawa'," begitu salah satu tembang parikan Jawa yang kira-kira mengajak setiap orang saling berbagai informasi dan mengolah hati supaya dapat menjalani hidup bersama dengan semangat rendah hati.
Bunyi lumpang saat sejumlah perempuan melakukan performa menumbuk padi dan mengayak atau "nginteri" gabah dengan tampah, juga ditimpali secara memikat telinga penonton, dengan irama tetabuhan rebana, kenong, dan kendang.
Pandangan mata penonton juga mendapatkan suguhan tentang cerita warga dusun menyulut kayu bakar di tiga luweng atau tungku dengan masing-masing memiliki lubang berbeda-beda yang oleh Dalang Sih Agung dibeberkan memiliki filosofi tersendiri.
"Luweng dengan tiga lubang simbol cipta, rasa, dan karsa, luweng dengan dua lubang simbol keseimbangan di dunia, ada kiri-kanan, laki-laki dan perempuan, senang-susah, miskin-kaya, buruk-baik. Luweng dengan satu lubang menunjuk kepada semua mengarah kepada satu tujuan, yakni memuliakan Allah Yang Maha Agung. Luweng lubang satu juga simbol bahwa kita memiliki Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujarnya dalam bahasa Jawa.
Ketika adegan para perempuan desa bersama-sama memasak, para peraga musik dan tembang pun mengiring dengan lagu-lagu parikan sebagaimana dalam pentas teater Kentrung yang dikenal berasal dari kawasan pantai utara Jawa dan kemudian menyebar di wilayah Semarang, Pati, Jepara, Blora (Jawa Tengah), hingga Tuban di Jawa Timur itu.
"'Abang-abang brambang tomat lombok. Dirajang tipis, digoreng, digangsa. Yen berjuang ora pareng kapok. Mengkis-mengkis, ora dirasa. Ireng-ireng silite dandang. Diasahi digosok disikat. Tetep mempeng olehe tumandang. Nggayuh kamulyan tekade kuat. Ijo-ijo godhonge gedang. Dipincuki dinggo ajang bakmi. Wis manunggal kabeh kanca rewang. Sadumuk bathuk sanyari bumi'," demikian syair tembang tersebut.
Maksud syair itu, kurang lebih mengajak semua orang untuk berjuang secara total, bekerja keras untuk mencapai cita-cita mulia, dan pesan tentang pembelaan terhadap kedaulatan Ibu Pertiwi.
Dalam adegan dialog Pak Timbul dengan tiga tamunya, terungkap pertanyaan reflektif tentang masih aktual atau tidak ungkapan populer di kalangan masyarakat Jawa, bahwa "Mangan ra mangan anggere kumpul" (Makan ataupun tidak makan asalkan berkumpul), sebagaimana disampaikan Sucipto.
Perkembangan zaman telah membuktikan bahwa orang saat ini bisa menjalani hidup di luar desanya dan berpisah secara ragawi serta harian, dengan keluarga besarnya sebagaimana pendapat Badi, seakan menjadi koreksi atas ungkapan "Mangan ra mangan anggere kumpul".
Tidak ada kesimpulan dalam dialog tema tersebut, selain oleh Singgih ditutup melalui ungkapan bahwa setiap insan harus hidup dengan memegang sikap arif dan bijaksana.
Pementasan karya "Dapurmu" diakhiri dengan pesan dari Purbandari, sang juru masak, bahwa para ibu di dapur telah selesai menyiapkan aneka menu makanan.
Semua orang yang terlibat dalam pergelaran kemudian berpindah dari tempat pementasan di halaman rumah warga setempat ke Pendopo Padepokan Warga Budoyo Gejayan untuk santap makan bersama.
Komponis Suwandi menjelaskan ide karya "Dapurmu" mengungkapkan seluk beluk suasana sibuk dapur rumah tangga melalui irama musik dengan dukungan performa teater Kentrung.
"Bahwa di dapur ada tokoh ibu sebagai maestro masak tanpa gelar, bahwa sajian makan itu penting karena mengikat tali silaturahim, bahwa budaya gunung dan desa tentang dapur itu posisinya meskipun di belakang tetapi perannya sebagai terkemuka," ujarnya.
Rahayu Supanggah yang maestro gamelan itu, mengemukakan bahwa apapun ragam kesenian tidak lepas dari kegiatan sosial kemasyarakatan.
Ihwal itu, sebagaimana diungkapkan secara menarik melalui pementasan karya "Dapurmu" yang kental bercerita tentang suasana dapur rumah tangga pedesaan dengan spontanitas orang-orang berupa kesenian rakyat.
Memasak di dapur dalam suatu hajatan masyarakat sebagai kegiatan sosial karena orang saling bertemu, berbagi informasi tentang apa saja, bekerja dengan sukarela, dan bergotong-royong.
"Ada suara wajan, ada suara bunyi orang memasak, menggoreng. Itu bisa menjadi komposisi musik juga sebenarnya. Masak 'nggak' bisa dipisahkan dari kegiatan kesenian, orang bersenandung, menciptakan spontanitas. Dulu festival itu awalnya dari masak, bukan dari keseniannya dulu. Lalu ada orang makan-makan, yang lain menyanyi, memperlihatkan kebolehannya," ucapnya.
Ia menyebut bahwa memasak menjadi budaya di berbagai daerah menunjukkan betapa posisi dapur yang secara ragawi di bagian belakang rumah, sesungguhnya berperan terkemuka dalam merajut jalinan silaturahim antarmanusia.
"Dalam masyarakat Jawa, Minang, Bali juga. Makan tidak bisa dipisahkan. Masak membuat orang berkumpul," katanya.
"'Manuk jalak brodhol wulune. Brodhol siji rupane ireng. Mangan enak lawuhe luwe. Luwih enak yen mangan bareng' (Burung jalak rontok bulunya. Rontok satu warnanya hitam. Makan enak saat lapar. Tetapi lebih enak kalau makan bersama, red.)'," begitu satu syair tembang parikan dalam pementasan itu, yang tentunya menjadi bagian ungkapan bahwa makanan karya para ibu menunjuk betapa dapur berperan terkemuka.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor:
Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025