BPKN: Standarisasi dan Upaya Perlindungan Konsumen di Daerah masih Terkendala
Jakarta, ANTARA JATENG - Berlakunya Undang undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyebabkan terjadinya beberapa ketidakpastian hukum dalam pembagian kewenangan fungsi dalam hukum antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Dan Pemerintah Kabupaten/Kota terkait Standardisasi dan Perlindungan Konsumen di seluruh Indonesia tidak hanya di Provinsi Jawa Timur.
Demikian disampaikan Kepala Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Ardiansyah usai menggelar Focus Group Discussion dengan topik "Koordinasi Perlindungan Konsumen terhadap Implementasi UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah (UU 23/2014) tentang Pemerintah Daerah."
"Perubahan struktur organisasi perangkat daerah pada Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota merupakan hal yang tidak terelakan," kata Ardiansyah melalui keterangan pers di Jakarta, Kamis.
Demikian pula halnya dengan Pemerintahan Daerah Propinsi. Meskipun tidak mengubah struktur organisasi perangkat daerah, penambahan kewenangan tersebut berdampak pada perubahan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dibawahnya.
Pergerakan kelembagaan organisasi perangkat daerah tersebut, berdampak pada mobilisasi sumber daya baik manusia, sarana dan prasarana serta pendanaan.
Dengan adanya implementasi UU 23/2014 maka terdapat beberapa permasalahan terkait Standardisasi dan Perlindungan Konsumen yaitu fungsi pengawasan perlindungan konsumen di Daerah; Fungsi BPSK terkait Implementasi UU No. 23/201; dan fungsi Kemetrologian Legal dalam melaksanakan Tera/Tera Ulang dan Pengawasan.
Fakta di lapangan, peredaran barang illegal lebih masif pada tingkat Kabupaten Kota, seperti Peraturan Menteri Perdagangan mencakup berbagai konsekuensi hukum pada perbuatan pelaku usaha dalam Permendag No. 19/2009 tentang Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan Purna Jual Dalam Bahasa Indonesia Bagi Produk Telematika dan Elektronika.
Selain itu, Permendag No. 35/2014 tentang Pencantuman Harga Barang dan Tarif Jasa yang diperdagangkan, dan Permendag No. 67/2013 tentang kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia pada Barang dan perubahannya Nomor 10/2014 masih banyak dilanggar.
Pemerintah Kabupaten/kota sebagai ujung tombak yang menghadapi langsung permasalahan konsumen memiliki berbagai kendala dengan adanya keterbatasan kewenangan sesuai UU itu.
Di antaranya, penanganan sengketa konsumen tidak bisa dilaksanakan Pemkab/Pemkot, intensitas pengawasan terbatas dan pembinaan sosialisasi Perlindungan Konsumen yang tidak dilaksanakan secara mandiri.
Selain itu, implementasi Undang-Undang tersebut juga sampai saat ini masih ditemukan kendala, menurut data UPTD Metrologi Legal saat ini dari Unit Metrologi Legal yang seharusnya ada di setiap Kabupaten/Kota, yang sudah terverifikasi hanya 97 Kabupaten/Kota dan baru 82 Kabupaten/Kota yang sudah mempunyai alat ukur tera/tera ulang yang sesuai dengan ketentuan pemerintah.
Dengan keterbatasan Unit Pelaksana Tugas Daerah (UPTD) Metrologi Legal ini maka pelayanan tera, tera ulang dan pengawasan alat ukur legal di daerah menjadi terkendala dan mengganggu jaminan akurasi ukuran sebagai dasar transaksi perdagangan, yang lebih jauh tentunya akan menurunkan kepercayaan konsumen dalam bertransaksi.
Pewarta : Sella Panduarsa Gareta
Editor:
COPYRIGHT © ANTARA 2024