Membaca kebutuhan desa zaman kini
Senin, 12 Februari 2018 12:17 WIB
Sementara warga setempat, dalam acara yang dikemas melalui pentas kesenian kontemporer akhir bulan lalu itu, mendapat suguhan makanan dalam kemasan kardus, sebagai menu yang dianggap istimewa saat kehadiran tamu penting tersebut.
Menu makanan dalam kardus untuk warga dusun terpencil itu kelihatannya juga tidak istimewa banget, antara lain arem-arem, sepotong kue lapis legit, salak, dan segelas air mineral.
Menurut seorang perangkat desa setempat, suguhan palakependem sebagai hal biasa bagi mereka. Mereka ingin mendapatkan suguhan istimewa yang disebutnya sebagai "snack" saat sang Gubernur datang. Mungkin kepercayaan diri dan kebanggaan mereka akan kekayaan bumi pertanian berupa palakependem sebagai salah satu nilai khas kedesaan mesti dipulihkan.
Untuk menyuguhkan kesenian kepada sang Gubernur pun mereka merasa tidak memiliki, meski sejumlah anak setempat pada kesempatan itu menyuguhkan tarian kreasi berjudul "Mentok-Mentok".
Berbagai pementasan dan penggarapan acara serta tata panggung berinstalasi bahan alam di tepi sawah dusun setempat, digarap oleh para seniman petani Komunitas Lima Gunung dari Kabupaten Magelang.
Acara berlangsung meriah dalam nuansa hiasan pascahujan di dekat tujuh sumber air dusun itu. Gubernur Pranowo dan warga menumpahkan kegembiraan dalam peluncuran novel "Anak Negeri" karya Gatotkoco Suroso yang berasal dari dusun itu.
Kegembiraan dan kemeriahan yang seakan serupa, tertumpah saat komunitas seniman petani Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh, Kabupaten Magelang, menggelar pentas wayang kontemporer berjudul "Topeng-Topeng 2018" di Pendopo Saraswati kompleks Pondok Tingal Borobudur, awal bulan ini.
Semua yang hadir mendapat suguhan nasi bungkus, aneka camilan desa, dan minuman hangat secara prasmanan. Hadir mantan Bupati Wonosobo Abdul Kholiq Arif, pemimpin Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo Kabupaten Magelang K.H. Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), Direktur Utama Bank Jateng yang juga pemusik Supriyatno (Nano Tirta), peneliti budaya air hujan dan rohaniwan Romo Vincentius Kirjito, dan General Manajer Hotel Atria Kota Magelang Chandra Irawan.
Selain itu, puluhan peserta Borobudur Moving Life dari sejumlah negara yang dibawa pengasuh Padepokan Lemah Putih Karanganyar Suprapto Suryadarma berlokakarya gerak di kawasan Candi Borobudur.
Pementasan wayang "Topeng-Topeng 2018" dengan dalang Komunitas Lima Gunung Sih Agung Prasetyo sebagai sinyal penanda kejelian dan kearifan warga desa dalam menyikapi tahun politik saat ini.
Tidak ada latihan khusus untuk pementasan tersebut, kecuali bermodal kebiasaan melakukan tindakan disiplin warga komunitas, sedangkan jadwal urutan acara disusun sedemikian cair dan tanpa "njelimet" (detail). Acara berlangsung secara mengalir dengan gembira dan meriah hingga menjelang tengah malam.
Acara yang digarap Komunitas Lima Gunung bekerja sama dengan pihak Hotel Pondok Tingal Borobudur itu disebut oleh budayawan Sutanto Mendut sebagai bagian dari tindakan budaya "post-management" komunitas seniman petani tersebut.
"Bagian dari rasa syukur desa yang membebaskan diri dari sistem-sistem yang berlaku, tetapi ada sistem hidup. Jumlah piring (sajian makanan, red.) tidak jelas, tetapi toh cukup karena kami punya manajemen batin bersama. Tahun politik ini kalau kami ditunggangi, kami juga bisa menunggangi karena kami belajar kuda lumping," kata dia dalam sesi pidato sore harinya sambil guyonan.
Pergelaran kesenian yang terkesan nekat juga dilakukan Sanggar Batara Dusun Jurang, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang, pimpinan Sujono. Sejak beberapa bulan sebelum pensiun dari dinas militer, ia menggalang warga sekitar tempat tinggalnya di desa itu untuk bergabung dengan Komunitas Lima Gunung. Sejak setahun terakhir mereka menghidupkan kembali kesenian tarian "Goh Muko".
Ia membaca dengan baik kebutuhan warga dusunnya untuk berkumpul dan guyub dengan gembira, dan kemudian melahirkan sanggar kesenian rakyat itu.
Pengelolaan grup kesenian di bawah tangan dinginnya membawa kepada pembuktian bahwa kesenian rakyat sebagai sarana berkumpul warga. Sejak setahun terakhir, mereka pun berkesempatan menampilkan kesenian "Goh Muka" di berbagai tempat dalam berbagai kesempatan, terutama bersama pergelaran yang dijalani Komunitas Lima Gunung.
"Komunitas ini telah menjadi guru saya, guru kami, wawasan berpikir warga menjadi terbuka karena kami aktif berkomunitas," ujar Sujono yang juga diisukan maju dalam pemilihan kepala desa setempat, beberapa waktu mendatang.
Betapa kebanggaan atas kampung dengan rumah-rumah berjarak sempit di Dusun Jurang ditunjukkan dengan nekat melalui pergelaran kesenian memperingati satu tahun sanggar itu pada Minggu (11/2) sepanjang siang hingga malam hari.
Sejak beberapa bulan terakhir mereka secara swadaya menyiapkan pementasan yang juga diisi dengan pengajian, menghadirkan Ustadzah Mumpuni dari Cilacap dan Gus Yusuf yang juga pemimpin spiritual Komunitas Lima Gunung.
Panggung pertunjukan yang luas dipasangi instalasi raksasa "Goh Muka" berupa kepala Dasamuka, tokoh pewayangan, yang menjadi ikon grup berbasis tarian pencak silat itu. Jalan kampung dihiasi dengan instalasi gunungan dari bambu dan bahan lainnya dari alam pertanian sekitarnya. Puluhan pedagang datang untuk menggelar makanan, minuman, dan mainan anak-anak. Demikian pula warga setempat, membuka warung jajanan untuk penonton.
Sederetan pentas kesenian diatur secara ringan, namun mengalir sepanjang siang hingga malam hari di panggung luas yang ditaburi tata lampu warna warni. Berbagai kesenian itu, antara lain musik madyapitutur, tari soreng, tari bocah gunung, tari pemburu kijang, tari golek suyung dayung, sendratari arga buwana, wayang kontemporer, tari kukila gunung, kolaborasi soreng truntung kipas mega, soreng putri, goh muka, kuntulan, gojek bocah, kuda lumping, dan tari alang-alang.
Gus Yusuf yang hadir untuk bertausiyah di panggung "Goh Muka" Dusun Jurang yang dikelilingi ratusan warga seakan mempertegas betapa tradisi berkumpul terus menerus dihidupi masyarakat desa sebagaimana dalam wujud "slametan", "jagong bayi", kenduri, dan berkesenian rakyat.
Tradisi berkumpul warga desa itu juga terus diperkuat dengan taburan nilai-nilai tentang akhlak mulia, sebagaimana teladan serta warisan oleh para Wali Sanga, kiai, dan ulama yang menyebarkan ajaran Islam di Tanah Jawa sejak masa lampau.
"Jaga warisan Wali Sanga, ulama karena inilah `benteng Indonesia`. Islam Indonesia seperti itu, ada kesenian yang dihidupi dengan akhlak mulia. Islam yang penuh kasih sayang, membawa ketenteraman dan kedamaian. Orang Jawa susah senang yang penting kumpul," katanya.
Mau tidak mau warga desa yang menghidupi tradisi berkumpul, merawat adat istiadat peninggalan leluhur dan kesenian mereka, juga ikut masuk dalam dinamika tahun politik.
Mereka juga diterpa dengan serbuan informasi seiring dengan makin "ngetren" kehadiran media sosial zaman kini, yang menyertai media konvensional.
Dalam situasi yang berkembang cepat dan dinamis itu, kalau mereka tidak kuat dalam nilai-nilai agama dan akar budayanya, bisa limbung menjalani kehidupan sehari-harinya.
Mereka bisa menjadi merasa minder akan kekayaan desa yang sesungguhnya membanggakan itu, sebagaimana terwujud atas makna palakependem suguhan untuk sang Gubernur dalam kunjungan ke desanya.
Para kiai dan ulama di kampung-kampung disebut Gus Yusuf sebagai para figur panutan sehari-hari warga desa. Melalui langgar dan masjid, mereka secara telaten, baik siang maupun malam, menuntun kaum Muslim di sekitarnya mewujudkan kehidupan sehari-hari yang berakhlak mulia. Disebutnya bahwa mereka tidak terpisah dengan umat.
Menghadapi tahun-tahun seperti ini, banyak informasi berseliweran. Oleh karena itu, masyarakat desa harus terus bertekun menjaga kebersamaan dan menghargai perbedaan, termasuk memperkuat penghormatan kepada orang yang berbeda keyakinan.
"Kalau ada kabar, tanya dulu ke kiai, lurah, sesepuh, supaya tidak gampang diadudomba," ujarnya.
Karena hal terpenting yang mereka butuhkan adalah hidup yang guyub, "ayem", tenteram, dan penuh hidayah.
Pewarta : Maximianus Hari Atmoko
Editor:
Mahmudah
COPYRIGHT © ANTARA 2024