Logo Header Antaranews Jateng

Mewaspadai kampanye menggunakan hasil polling

Selasa, 3 Juli 2018 15:44 WIB
Image Print
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKom) Semarang Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. (Dok.)
... hasil polling elektabilitas bukanlah hal yang salah.
Pada era keterbukaan saat ini, menyampaikan segala sesuatu ke tengah masyarakat melalui berbagai media, terutama media sosial (medsos) sangatlah mudah.
 
Pada era pesatnya perkembangan teknologi komunikasi pula, peran komunikasi itu sangatlah disadari sehingga saat ini siapa pun selalu memanfaatkannya.

    Tidak kurang, para elite politik pun memanfaatkannya secara maksimal berbagai bentuk serta model komunikasi melalui berbagai media. Tujuannya, tentu makin dikenal, sekaligus mencari simpati masyarakat.

    Makin dekat dengan pemilihan umum (pemilu) anggota badan legislatif ataupun Pemilu Presiden dan wakil Presiden setiap partai politik (parpol) dengan para elitenya tentu berupaya keras merebut simpati masyarakat.

 Segala upaya mereka lakukan, termasuk memanfaatkan hasil polling dilakukan lembaga-lembaga survei, baik yang dilakukan secara mandiri (tidak dibiayai parpol) atau yang dibiayai parpol atau para kandidat.

    Dampaknya, hasil polling berseliweran di berbagai media, baik media arus utama (mainstream) atau medsos.  Yang mulai menonjol saat ini adalah elektabilitas parpol serta capres/cawapres.

    Bila dicermati, rata-rata parpol yang elektabilitasnya serta capres/cawapresnya tinggi mereka cenderung mengapresiasi sekaligus memanfaatkannya sebagai pesan kampanye untuk meyakinkan masyarakat bahwa merekalah atau kandidat merekalah yang akan menang.

 Dari sisi psikologis bila dikaitkan dengan pemanfaatan sugesti serta kecenderungan manusia meniru, diharapkan akan menarik minat masyarakat yang belum memiliki pilihan yang mantap.

    Sebaliknya, bagi yang elektabilitas parpol serta kandidatnya rendah, mereka cenderung akan menyalahkan lembaga survei, bahkan ada pula yang memanfaatkan lembaga survei yang kurang kredibel untuk memenangkannya sekaligus memublikasikannya.

    Oleh karena itu, agar masyarakat, terutama yang belum paham ilmu survei/penelitian tidak salah persepsi, pertanyaannya, apa dan bagaimana sebenarnya survei itu? Bagaimana melaksanakannya? Apa manfaatnya? Bagaimana pula menilainya?

Ilmu Kemungkinan
    Survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei menggunakan metodologi penelitian kuantitatif dengan menggunakan statistik sebagai alat mulai dari memetakan sampling hingga analisis. Statistik, sebagai salah satu cabang ilmu, adalah merupakan ilmu kemungkinan (probability science).

Oleh karena itu, waktu menggunakannya penyurvei selalu menyebutkan adanya standar kesalahan (standard of error), derajat kepercayaan/kebenaran (degrees of freedom).

    Akan selalu ada toleransi kesalahan sekian persen, serta taraf signifikansi sekian persen. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan bisa saja terjadi kesalahan meski secara ilmiah mereka telah menyebutkan toleransi kesalahannya.

 Dalam menentukan jumlah sampling serta areanya pun, mereka telah menggunakan perhitungan yang cermat sehingga mereka akan sampai pada jumlah tertentu (misalnya 1.200-an), seperti kebanyakan yang terilis, tergantung pada sifat populasinya.

    Meski toleransi kesalahan telah ditetapkan, pemetaan sampling secara cermat telah mereka lakukan secara ilmiah, perlu pula diketahui bahwa polling itu dasarnya adalah persepsi calon pemilih yang setiap saat masih saja bisa berubah sesuai dengan dinamika yang terjadi.

 Oleh karena itu, bagaimana pun cermatnya lembaga survei, ketidakcocokan dengan hasil akhir bisa saja terjadi. Bahkan, di AS pun survei yang banyak mengunggulkan Hillary Clinton, ternyata salah.

Bila mencermati publikasi/iklan dari lembaga survei atau parpol tertentu bahwa lembaga surveinya selalu tepat atau paling akurat dan sejenisnya, secara etika keilmuan hal tersebut tidak etis. Itulah yang harus diketahui serta dipahami oleh masyarakat.

Dibanding Hitung Cepat
    Sangat berbeda dengan survei. Meski metode penentuan samplingnya sama, hitung cepat mengacu pada hasil pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS) yang telah selesai dihitung. Dengan demikian, hasilnya lebih pasti dan sangat berbeda dengan persepsi ketika polling yang selalu menggunakan kata seandainya ....

    Meski masih saja ada pihak yang tidak mempercayai hasil hitung cepat, berdasarkan pengalaman pada pemilu beberapa tahun terakhir ini, hasilnya sangatlah sesuai dengan hasil final yang diumumkan KPU maupun KPUD.

    Dengan demikian, selama pemetaan samplingnya tepat sesuai dengan sifat populasinya, seberapa besar/kecilnya jumlah sampel yang diambil, hasil hitung cepat akhirnya akan sesuai dengan yang diumumkan KPU/KPUD sebagai hasil akhir, kecuali bila lembaga suvei gegabah dalam melakukan pemetaan sampling. Pengalaman di Indonesia sejak pemilihan lansung, rasanya belum terjadi hasil hitung cepat yang salah.

    Yang perlu dicermati oleh masyarakat justru jangan sampai lembaga survei atau parpol tertentu gegabah menginformasikan bahwa hasil polling itu sama dengan hasil hitung cepat. Meski bisa saja hasil polling benar sesuai dengan hasil akhir KPU, secara teknis keduanya sangat berbeda.

    Hasil polling, dasarnya adalah persepsi masyarakat sehingga pemungutan suara belum riil dilakukan. Hitung cepat, datanya adalah hasil riil dari TPS yang telah secara riil selesai dihitung. Secara psikologis dan sosiologis, polling yang didasari persepsi, masih rentan untuk berubah, dan itulah yang menyebabkan hasil polling tidak sesuai dengan hasil akhir setelah pencoblosan.

    Melihat kenyataan tersebut maka menggunakan hasil polling elektabilitas bukanlah hal yang salah. Dari sisi komunikasi persuasif, membujuk masyarakat dengan memanfaatkan keinginan serta kebutuhannya tanpa terasa, termasuk polling jagoannya, adalah sah dan secara ilmiah tidak salah.
 
    Yang perlu dihindarkan adalah memanipulasikan hasil polling tersebut dengan seolah memastikan jagoannyalah yang akan menang. Bila benar, tidak akan menjadi persoalan. Namun, bila salah, selain mengecewakan, akan melahirkan komunikasi manipulatif yang menyesatkan.

    Bagi masyarakat calon pemilih, puas atau kecewa terhadap hasil polling jagoannya boleh saja. Yang harus dihindarkan adalah meyakini hasil polling tersebut secara membabi buta, karena keyakinan tersebut sangatlah tidak rasional karena dianggap abai terhadap logika.

*) Dosen dan Ketua sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang; Dosen Luar Biasa Jurusan Ilmu Komunikasi UDINUS dan USM.

Pewarta :
Editor: D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025