Petinju Indonesia dahaga latih tanding dan miskin taktik
Minggu, 2 September 2018 10:08 WIB
Dari sisi teknik dan kemampuan, petinju Indonesia tidak kalah dari petinju tangguh Asia, asal Uzbeksitan, India dan Thailand.
Namun petinju Indonesia tidak dibekali pengalaman tanding yang memadai. Alhasil petinju nasional kerap miskin taktik ketika berlaga di level internasional. Di atas ring, mereka kebingungan untuk menghadapi lawan dengan beragam tipe bertarung.
Evaluasi itu disampaikan Pelatih Kepala Tim Tinju Indonesia Adi Swandana menanggapi raihan dua perunggu dari Asian Games 2018. Hasil itu di bawah target satu medali emas dari PB Pertina.
Berdasarkan pengamatan Antara sepanjang Asian Games 2018 berlangsung, beberapa petinju nasional malah hampir menjadi "bulan-bulanan" petinju tangguh Asia jika tidak diselamatkan oleh bel tanda akhir pertandingan. Tidak sedikit pula, petinju nasional yang harus tersingkir di babak awal penyisihan, seperti Sarrohatua Lumbantobing di kelas welter (69 kg) putra dan Brama Hendra Betaubun di Kelas Menengah (69-75 kg) putra.
"Kami kalah pengalaman. Sebelum kompetisi ini, kami hanya dua kali 'try out' (latih tanding), itu tidak cukup untuk level Asian Games 2018," ujar Adi.
Melihat prestasi Uzbekistan, petinju negara, yang memborong lima medali emas Asian Games 2018 itu, menjalani minimal 5-7 uji coba dalam setahun. Jika tidak ada kejuaraan internasional, mereka membuat kompetisi yang mengundang berbagai petinju dunia.
Karena minimnya pengalaman bertarung, Adi mengaku kesulitan untuk mengevaluasi kemajuan atlet. Dalam segi teknik, kelemahan yang masih terjadi adalah petinju masih sulit membangun serangan ketika tersudut oleh agresivitas lawan. Taktik bertahan saat melawan petinju kidal juga menjadi "pekerjaan rumah" atlet.
Namun, dalam segi mental, Adi mengaku para petinju nasional sudah menunjukkan peningkatan dibanding beberapa tahun sebelumnya.
"Instruksi saya yang utama adalah mereka harus serang terus, pukul terus," ujar Adi.
Hanya dua dari 10 petinju Indonesia yang lolos hingga babak semifinal Asian Games 2018. Dua wakil pamungkas itu dihadang lawan yang kaya pengalaman dari Uzbekistan dan Thailand.
Minimnya pengalaman terlihat saat petinju masa depan Indonesia, Sunan Agung Amoragam bertarung dengan juara Uzbekistan, Mirazizbek Mirzakhalilov di laga semifinal kelas bantam (56 kg).
Petinju berusia 20 tahun itu tidak mampu membendung pukulan cepat dan bertenaga dari Mirazizbek. Di ronde ketiga, Sunan sempat dua kali dihitung oleh wasit karena terhuyung setelah diserang secara eksplosif oleh Mirzazibek, yang akhirnya mendapat medali emas.
"Saya terlambat 'start' untuk mengantisipasi jarak pukul dia yang efektif. Saya istilahnya belum banyak pengalaman untuk menang lawan dia," kata
Hal serupa dialami petinju putri Huswatun Hasanah. Di laga semifinal kelas ringan (60 kg) putri, Huswatun tidak berkutik melawan petinju senior Thailand Sudaporn Seesondee. Atun, sapaan akrab Huswatun, terus dibuat tidak berdaya sejak ronde pertama. Pukulan Atun lebih sering melenceng dan dibalas dengan pukulan balasan Seesondee yang menguras tenaga Atun.
Atun juga mengaku tidak menyangka pertandingan akan sesulit itu. Kelemahan utama dia adalah tidak bisa mengantisipasi pukulan kidal Seesondee. Petinju kidal memang kerap ditakuti. Selain memiliki pukulan berdaya ledak tinggi dan tidak terperkirakan, petinju kidal juga tangguh dalam bertahan.
"Latihan melawan petinju kidal tidak cukup. Dalam pertandingan tadi, saya kesulitan menangkis pukulan-pukulan kidalnya," ujar Atun. Dalam laga itu,Sunan dan Atun sama-sama kalah mutlak 0-5.
Sebelum Asian Games 2018, tim putra Indonesia yang berisi tujuh petinju hanya menjalani latih tanding (try out) di luar negeri dua kali yakni pemusatan latihan nasional (pelatnas) ke Ukraina dan turnamen di Thailand. Sedangkan tim putri yang dihuni tiga petinju mengikuti Turnamen Terbuka di India.
Tentu, lanjut Adi, dua kali latih tanding berskala internasional tersebut belum cukup untuk menjuarai kompetisi selevel Asian Games 2018.
Membidik SEA Games dan Olimpiade
Adi menuturkan fokus selanjutnya adalah SEA Games 2019 di FIlipina dan Olimpiade Musim Panas 2020 di Tokyo. Dia meminta bantuan kepada PB Pertina dan pemerintah untuk memperbanyak uji coba dan latih tanding bagi para petinju
Khusus Olimpiade, upaya yang dilakukan harus ekstra keras. Petinju nasional harus mengikuti turnamen resmi Asosiasi Tinju Internasional sebagai kualifikasi untuk berlaga di Olimpiade.
"Namun jika di Asian Games 2018 sudah mendapat perak. SEA Games seharusnya bisa dilewati dengan baik. Kemudian bersiap untuk Olimpiade," ujar Adi.
Sunan menjelaskan Asian Games 2018 memberikan banyak pelajaran untuk pengembangan teknik dan kemampuannya. Dia banyak belajar banyak dari petinju Uzbekistan tentang bermain cepat, sekaligus efektif dengan bertahan.
Sunan, petinju asal Maluku Utara ini, membidik medali emas pada SEA Games 2019. Sebelum bertanding di SEA Games, atlet harus mengikuti Kejuaraan Nasional Tinju pada Oktober 2018 sebagai ajang kualifikasi.
Petinju Putri Ukir Capaian Terbaik
Meskipun target medali emas gagal tercapai, tim tinju Indonesia tidak perlu berkecil hati. Dalam ajang Asian Games 2018, Indonesia mampu melahirkan bibit petinju putri masa depan. Atun yang masih berusia 20 tahun, dan di awal kompetisi tidak diunggulkan meraih medali, justeru mampu menorehkan sejarah baru dengan lolos ke semifinal. Sejak cabang tinju Asian Games mempertandingkan kelas putri pada 2010, Indonesia belum pernah lolos ke semifinal dan meraih medali.
Tidak tanggung-tanggung, Atun menumbangkan petinju senior India, Pavitra, yang telah beberapa kali meraih medali emas pada Kejuaraan Nasional Tinju Putri India.
Prestasi itu pula yang membuat Huswatun kini lebih percaya diri menatap SEA Games 2019.
“Ini pertama kalinya putri lolos ke semifinal. Namun saya harus puas dengan perunggu,” kata Atun.
Pewarta : Indra Arief Pribadi
Editor:
Mugiyanto
COPYRIGHT © ANTARA 2024