Mengungkap simbol-simbol populisme
Kamis, 3 Januari 2019 14:14 WIB
Simbol-simbol populisme bisa dibaca dengan metode semiotika.Jadwal debat Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2019 telah diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Debat pertama antara capres dan cawapres akan dilaksanakan pada tanggal 17 Januari 2019, sedangkan debat kedua antara capres akan dilaksanakan pada tanggal 17 Februari 2019, debat ketiga antara cawapres akan dilaksanakan pada tanggal 17 Maret 2019.
Debat keempat antara capres akan dilaksanakan pada tanggal 30 Maret 2019, dan terakhir debat kelima antara capres dan cawapres juga akan diselenggarakan. Namun, hingga kini KPU belum merilis tanggal pastinya.
Menurut KPU, debat kandidat merupakan ajang adu program dan kebijakan yang akan dilakukan apabila terpilih sebagai presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2019.
Namun, kita sebagai pemilih bisa melihat ajang debat tersebut bukan hanya sebagai sarana menilai visi dan misi pasangan capres dan cawapres, melainkan juga mengritisi populisme komunikasi dua pasangan calon yang ada.
Populisme menjadi istilah populer belakangan ini, yang diawali dari kemenangan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat pada bulan Januari 2017.
Selain Donald Trump, Vladimir Putin (Rusia) dan Recep Tayip Erdogan (Turki) juga menggunakan strategi populisme. Namun, ketiga pemimpin negara tersebut setelah terpilih menjadi presiden justru mendapatkan reaksi keras dari rakyatnya karena kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak prorakyat.
Hal tersebut tampaknya membuat banyak pengamat politik di Tanah Air melihat populisme membahayakan karena dinilai hanya ingin mengelabui rakyat agar menang dengan cara memeroleh kepopuleran.
Setelah menjadi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump sering mengeluarkan kebijakan kontroversial. Kebijakan-kebijakannya juga banyak menimbulkan reaksi negatif secara nasional maupun internasional.
Kebijakan-kebijakan Trump tidak mendukung pengembangan hubungan antarnegara dan upaya globalisasi untuk kesejahteraan semua bangsa.
Presiden Rusia Vladimir Putin mendapat reaksi keras dari rakyat Rusia karena mengusulkan kebijakan menaikkan usia pensiun. Usia pensiun akan meningkat dari 60 tahun menjadi 65 tahun untuk laki-laki.
Sementara itu, usia pensiun perempuan menjadi 60 tahun dari yang sebelumnya 55 tahun. Kebijakan usia pensiun mendapat protes karena rendahnya harapan hidup warga Rusia yang rata-rata tercatat 65 tahun. Dengan usia harapan hidup tersebut, makin sulit bagi warga menikmati dana pensiun.
Presiden Turki Recep Tayip Erdogan juga banyak mendapat kritik karena tidak adanya kekebasan pers di Turki. Dari pemberitaan di berbagai media diketahui bahwa Presiden Turki membungkam media arus utama lewat kepentingan politik dan tindasan ekonomi. Sejumlah media oposisi dibredel dan disensor.
Belajar dari kasus Presiden Amerika Serikat, Presiden Rusia, dan Presiden Turki, tampaknya membuat para pengamat politik di Indonesia menganggap negatif strategi populisme.
Padahal, pada kasus pemimpin ketiga negara tersebut, lebih tepat dilihat sebagai inkonsistensi tindakan politik, bukan disebabkan praktik populisme.
Di Indonesia, Calon Presiden RI Joko Widodo yang merupakan petahana dijuluki populis sopan dan teknokratis. Tidak jarang Joko Widodo menggambarkan diri sebagai teman rakyat yang ramah dan pembaharu yang berpihak pada warga miskin.
Calon Presiden RI Prabowo Subianto juga berkampanye dengan pembawaan berapi-api dan bombastis, mengutuk korupsi dan pencederaan terhadap ekonomi Indonesia.
Apabila dicermati, gaya populisme cenderung memakai bahasa yang mudah dimengerti oleh publik untuk menarik simpati. Dari perspektif komunikasi, gaya demikian justru efektif karena sederhana dan tidak bertele-tele.
Jika merujuk definisi populisme dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), populisme memiliki makna sebagai paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil.
Berdasarkan definisi tersebut, bisa diartikan bahwa populisme sebenarnya mengandung makna positif, bukan negatif seperti yang dicurigai oleh beberapa kalangan. Pasalnya, populisme berbeda dengan hoaks. Populisme bisa mengandung kebenaran, sedangkan hoaks sepenuhnya menyesatkan.
Hoaks
Masyarakat kita sudah tidak asing lagi dengan istilah hoaks. Terlebih lagi, hoaks politik kerap hadir pada tahun politik. Berdasarkan KBBI, hoaks dimaknai sebagai berita bohong. Adapun kebohongan merupakan sesuatu yang tidak mengandung kebenaran sehingga dipastikan berdampak merugikan.
Data penelitian yang dilakukan oleh Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) menyebutkan penyebaran hoaks sepanjang 2018 meningkat, diperkirakan akan terus meningkat hingga Pilpres 2019.
Pada tahun 2018, misalnya pada bulan Januari tercatat 101 kasus hoaks, Februari 91 hoaks, Maret 117 hoaks, April 11 hoaks, Mei 98 hoaks, Juni 98 hoaks, Juli 65 hokas, Agustus 79 hoaks, dan September 107 hoaks. Dari data tersebut, sebanyak 50 persennya merupakan berita hoaks terkait dengan politik dicampur isu agama.
Dari pengamatan penulis, tiga isu besar hoaks yang digulirkan sepanjang 2018 berkaitan dengan PKI, kriminalisasi ulama, dan "serbuan" puluhan juta tenaga kerja asing (TKA) asal Cina ke Indonesia.
Apabila hoaks sepenuhnya merugikan, populisme belum tentu demikian. Berdasarkan definisi populisme dari KBBI yang dikemukakan sebelumnya, populisme justru berpihak pada rakyat kecil.
Tampaknya, rasa rasa waswas rakyat Indonesia disebabkan banyaknya membaca dan mendengar berita hoaks menyebabkan rakyat mengalami pesimisme. Wujud nyata pesimisme ini adalah dengan memandang penuh curiga akan populisme pasangan calon presiden/wakil presiden.
Untuk itu, perlu strategi khusus agar kita sebagai rakyat bisa "membaca" populisme yang dijalankan pasangan calon presiden/wakil presiden. Khususnya, dengan mencermati tayangan debat Pilpres 2019.
Simbol Populisme
Simbol-simbol populisme di layar kaca bisa kita saksikan dan cermati dengan seksama untuk menilai kelayakan capres dan cawapres untuk dipilih pada Pilpres 2019.
Simbol-simbol populisme erat kaitannya dengan ucapan, gerak tubuh, gaya berbusana, serta sudut pandang pasangan calon presiden/wakil presiden menyikapi suatu persoalan.
Simbol-simbol populisme bisa dibaca dengan metode semiotika. Menurut Umberto Eco (1979), seorang filsuf dan ahli semiotika, semiotika menekankan aspek produksi tanda (sign production) ketimbang sistem tanda (sign system).
Sebagai mesin produksi komunikasi, semiotik bertumpu pada pekerja tanda yang memilih dari bahan baku tanda-tanda yang ada dan mengombinasikannya untuk memproduksi ekspresi bahasa bermakna (Sobur, 2014).
Artinya, semiotika bisa dijadikan oleh publik sebagai alat untuk "membaca" produksi ekspresi dalam berbahasa dan bertindak pasangan calon presiden/wakil presiden.
Lebih lanjut, semiotika Umberto Eco (1979) masuk dalam suatu model komunikasi dan menekankan hubungan antara budaya serta komunikasi dengan mempertimbangkan hipotesis: (1) Seluruh budaya harus dipelajari sebagai peristiwa semiotik, dan (2) Seluruh budaya harus dipelajari sebagai peristiwa komunikasi yang berdasarkan pada sistem pengartian.
Dengan demikian, langkah yang harus dilakukan untuk "membaca" pasangan calon presiden/wakil presiden adalah dengan cara: (1) Mempelajari budaya politik di Indonesia, (2) Melihat track record prestasi kedua pasangan capres dan cawapres ketika mengatasi persoalan pelik, (3) Melihat track record kedua capres dan cawapres apakah pernah memproduksi berita hoaks dan melakukan tindak korupsi, (4) Mencermati visi dan misi kedua pasangan capres dan cawapres, (5) melihat logis atau tidaknya langkah konkrit yang ditetapkan kedua pasangan tersebut untuk mewujudkan visi dan misi, serta (6) Melihat garansi yang diberikan oleh kedua pasangan capres dan cawapres.
Garansi ini merujuk pada adanya jaminan bagi rakyat ataupun sanksi bagi Presiden dan Wakilnya apabila tidak memenuhi janji kampanye ketika nantinya terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2019.
Keenam poin tersebut bisa dijadikan indikator awal untuk "membaca" secara saksama produksi tanda-tanda atau simbol-simbol politik yang dikemukakan capres dan cawapres.
Dengan meningkatnya literasi politik di kalangan warga negara, diharapkan kita bisa memilih presiden dan wakil presiden yang mampu memberikan garansi bahwa apa yang dijanjikan semasa kampanye terwujud.
*) Penulis adalah alumnus Magister Ilmu Komunikasi (Mikom) Universitas Diponegoro Semarang.
Pewarta : Anna Puji Lestari, M.I.Kom. *)
Editor:
D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2024