Saparan Merti Dusun perkuat persaudaraan warga lereng Gunung Sumbing
Sabtu, 19 Oktober 2019 20:43 WIB
"Tradisi ini kami jalani sebagai petani supaya hidup tenteram, makin memperkuat semangat persaudaraan dan kekeluargaan, warga tetap rukun," kata Kepala Dusun Krandegan Wasilo (47) di sela acara tradisi tersebut di dusunnya di kawasan lereng Gunung Sumbing di Magelang, Sabtu.
Gunung Sumbing dengan ketinggian 2.577 meter di atas permukaan air laut, wilayahnya meliputi tiga kabupaten di Jawa Tengah, yakni Magelang, Temanggung, dan Wonosobo. Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang dengan ketinggian 1.550 mdpl adalah salah satu dusun terakhir di kawasan selatan lereng gunung tersebut.
Ia menyebut tradisi Saparan Merti Dusun oleh warga Krandegan dilaksanakan setahun sekali setiap Hari Sabtu Pahing, Bulan Sapar (Kalender Jawa). Warga dusun setempat yang meliputi 23 rukun tetangga, berjumlah sekitar 360 keluarga atau sekitar 2.000 jiwa. Mayoritas mereka bekerja sebagai petani aneka sayuran.
Tradis Saparan Merti Dusun dilaksanakan di rumah kepala dusun setempat selama dua hari satu malam (19-20 Oktober 2019), menghadirkan penari tayub dari Yogyakarta dan Wonosobo, dengan penabuh gamelan dari Wonosobo.
"Selain melestarikan tradisi dari leluhur, juga wujud syukur warga atas kelimpahan rejeki selama ini melalui pertanian kami," kata dia.
Salah seorang pemuka warga setempat yang juga pimpinan Sanggar Seni Cahyo Budoyo Sumbing Sarwo Edi Wibowo menceritakan tentang awal mula tradisi pementasan Tayub itu yang tidak lepas dari pesan cikal bakal dusun itu yang disebut warga setempat sebagai Eyang Dipodrono. Makam cikal bakal Dusun Krandegan terletak di tempat lebih tinggi daripada sanggar seni yang dikelola warga setempat.
"Meskipun kami punya 24 macam kesenian, khusus untuk tradisi Merti Dusun ini, kami mendatangkan penari dan niyaga dari luar desa. Pesan dari Eyang Dipodrono harus ada penari tayub dari Yogyakarta, yakni dari Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul," kata dia.
Berbagai kesenian tradisional yang dihidupkan warga setempat, antara lain Sandul Sunthi, Lengger, Ndayak Hitam, Kuda Lumping, Jatilan, Warok, dan Ketoprak.
Edi yang juga Pelaksana Tugas Kepala Desa Sukomakmur itu menyebutkan kegiatan itu sakral dan bermuatan kearifan lokal atas penyelenggaraan tradisi warga setempat.
Ia mencontohkan tentang kearifan lokal atas tradisi tersebut, yakni menyangkut semua saweran yang untuk penari dan penabuh gamelan yang totalnya biasanya mencapai belasan juta rupiah.
Setiap warga memberikan saweran kepada penari sebagai salah satu syarat permintaan dan pemenuhan atas nazar mereka. Jumlah uang dalam amplop diberikan kepada penari oleh para warga yang mengibing, bervariasi antara Rp10.000-Rp500.000.
"Dua hari satu malam nonstop, tanda syukur dan kemakmuran. Mereka menari bersama warga dengan iringan macam-macam gending dan aneka sesaji," katanya.
Berbagai gending pengiring tarian itu, seperti Jagung Kuning, Lung Gadung, Lurkili Kilur Kombang, Ijo-Ijo, Ilir-Ilir, Gondang Keli, dan Gandawijaya.
Suasana dusun yang sejak sore hari mulai diselimuti arak-arakan kabut itu, terlihat semarak saat warga menggelar tradisi tersebut. Puluhan pedagang kaki lima menggelar dagangan di jalan-jalan dusun itu.*
Baca juga: Tradisi Merti Dusun Jaga Semangat Kebersamaan Warga
Baca juga: Sanggar Bangun Budaya Semarakkan Tradisi Merti Dusun
Pewarta : M. Hari Atmoko
Editor:
Nur Istibsaroh
COPYRIGHT © ANTARA 2024