Pengangkatan 12 wakil menteri tidak langgar undang-undang
Senin, 28 Oktober 2019 16:32 WIB
Sebelumnya, UU Kementerian Negara ini juga sempat menjadi pembicaraan ketika Ir Arcandra Tahar, M.Sc., Ph.D. sebagai Menteri ESDM pada Kabinet Kerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Namun, dia menduduki kursi Menteri ESDM hanya 20 hari sejak dia menggantikan Sudirman Said, 27 Juli 2016, gegara kasus kewarganegaraannya. Selanjutnya, pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan surat persetujuan pencabutan kewarganegaraan Arcandra sebagai warga negara AS pada tanggal 15 Agustus 2016 atau bertepatan dengan pencopotan dia sebagai menteri oleh Presiden Joko Widodo.
Pada waktu itu, UU Kewarganegaraan Republik Indonesia sempat menjadi perbincangan publik, di samping UU Kementerian Negara. Ketika itu Pasal 22 dan Pasal 24 UU No. 39/2008 sempat menjadi percakapan di tengah masyarakat.
Juga baca: DPR yakin Presiden punya pertimbangan angkat wakil menteri
Juga baca: Pengamat sebut Presiden masih bisa tambah jumlah wakil menteri
Dalam Bab V Pengangkatan dan Pemberhentian Pasal 22 Ayat (1) menyebutkan menteri diangkat oleh presiden. Selanjutnya, pada Ayat (2) Huruf a disebutkan untuk dapat diangkat menjadi menteri, seseorang harus memenuhi persyaratan warga negara Indonesia.
Hal terkait dengan pemberhentian menteri oleh Presiden diatur di dalam Pasal 24 Ayat (2), antara lain menteri diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden karena mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis; tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 bulan secara berturut-turut.
Selain itu, dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih; melanggar ketentuan larangan rangkap jabatan; atau alasan lain yang ditetapkan oleh Presiden.
Kurang lebih 2 bulan, tepatnya pada tanggal 14 Oktober 2016, Arcandra diangkat sebagai Wakil Menteri ESDM hingga berakhirnya masa bakti Kabinet Kerja, 20 Oktober 2019. Pada periode pertama (2014-2019) pemerintahan Jokowi terdapat tiga wakil menteri: Wakil Menteri Luar Negeri Abdurrahman Mohammad Fachir, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, dan Wakil Menteri ESDM Arcandra.
Wacana Publik
Wacana publik soal UU Kementerian Negara kembali ke permukaan setelah Presiden RI Joko Widodo pada hari Jumat (25/10) melantik 12 orang wamen untuk 11 kementerian. Mereka adalah:
1. Wakil Menteri Luar Negeri: Mahendra Siregar (Dubes Indonesia untuk Amerika Serikat);
2. Wakil Menteri Pertahanan: Wahyu Sakti Trenggono (mantan Bendahara Tim Kampanye Nasional);
3. Wakil Menteri Agama: Zainut Tauhid Sa'adi (Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)/PPP);
4. Wakil Menteri Keuangan: Suahasil Nazara (Kepala Badan Kebijakan Fiskal);
5. Wakil Menteri Perdagangan: Jerry Sambuaga (politikus Partai Golkar);
6. Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat: John Wempi Wetimpo (mantan Bupati Jayawijaya/PDIP);
7. Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan: Alue Dohong (Badan Restorasi Gambut);
8. Wakil Menteri Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi: Budi Arie Setiadi (mantan Ketua Umum Projo);
9. Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala BPN: Surya Tjandra (PSI); 10. Wakil Menteri BUMN: Kartika Wirjoatmodjo (Direktur Utama Bank Mandiri);
11. Wakil Menteri BUMN: Budi Gunadi Sadikin (Direktur Utama Inalum);
12. Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif: Angela Tanoesoedibjo (putri Ketua Umum Perindo Hari Tanoesoedibjo/Fungsionaris Perindo).
Sejumlah pakar hukum tata negara dan politikus mempersoalkan pengangkatan 12 wamen itu.
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Dr. Bayu Dwi Anggono menilai pengangkatan banyaknya wamen di awal masa jabatan Kabinet Indonesia Maju mengingkari Undang-Undang Kementerian Negara.
Pakar hukum tata negara Bayu Dwi Anggono berpendapat pengangkatan wamen sifatnya adalah fakultatif, yaitu dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wamen pada kementerian tertentu.
Untuk mengetahui apakah suatu kementerian membutuhkan wamen, kata Bayu Dwi Anggono di Kampus Universitas Jember, Jawa Timur, Sabtu (26/10), setelah berjalannya kabinet dalam jangka waktu tertentu, yaitu ketika kabinet telah bekerja.
Apabila hasil evaluasi diketahui bahwa beban kerja menteri tertentu dalam rangka mencapai target yang ditetapkan oleh Presiden ternyata sudah berlebihan, baru perlu wamen.
Tujuan awal pengangkatan wamen di suatu kementerian, kata dia, untuk meringankan beban kerja berlebihan dari satu menteri di kementerian tertentu sehingga seluruh target dapat tercapai tepat waktu.
Bayu mengutarakan bahwa pengangkatan wamen secara besar-besaran di awal pembentukan kabinet juga lebih kental nuansa bagi-bagi kekuasaan daripada kebutuhan untuk memperkuat kinerja pemerintahan.
Hal itu mengingat wamen yang diangkat oleh Presiden mayoritas dari parpol pendukung dan sukarelawannya pada Pilpres 2019. Padahal, tujuan awal pembentuk UU Kementerian Negara yang mengatur jabatan wamen adalah diproyeksikan untuk kalangan profesional.
"Kebijakan Presiden Jokowi itu merupakan bentuk inkonsistensi atas janji pemerintahan yang sederhana dan ramping namun kaya fungsi dan bekerja cepat," kata Bayu menegaskan.
Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya pada tanggal 20 Oktober 2019 menyampaikan perlu penyederhanaan birokrasi secara besar-besaran karena birokrasi yang ada saat ini dianggap terlalu gemuk. Bahkan, Jokowi juga menyatakan eselonisasi harus disederhanakan dari empat eselon menjadi dua level eselon saja.
Jatah Eselon 1
Sementara itu, politikus Partai Golar Iqbal Wibisono mengatakan bahwa wakil menteri adalah pejabat karier, bukan anggota kabinet sehingga mereka yang berada di posisi itu seharusnya pegawai negeri yang telah menduduki jabatan struktural eselon 1.
Jika mau mengangkat wamen dari luar pejabat karier, sebaiknya merevisi UU Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara terlebih dahulu agar semua keputusan mengandung pendidikan bernegara dengan baik dan benar, demikian pendapat Dr. H.M. Iqbal Wibisono, S.H., M.H. di Semarang, Minggu (27/10).
Iqbal yang juga Ketua Harian DPD I Partai Golkar Provinsi Jawa Tengah menyebutkan Pasal 10 UU Nomor 39/2008 yang menyatakan bahwa dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu.
Yang dimaksud dengan wamen, dalam penjelasan UU Kementerian Negara, adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet, kata alumnus Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini.
Iqbal menyebut ada di antara wamen tersebut bukan berasal dari pejabat karier. Seharusnya, seperti mantan direktur jenderal (dirjen), sekretaris jenderal (sekjen) kementerian, deputi atau eselon 1 yang memang aparatur sipil negara (pimpinan tinggi utama/madya) yang mendapatkan promosi.
Ia lantas mencontohkan Prof KH Nasaruddin Umar, M.A., Ph.D. sebagai Wakil Menteri Agama periode 2011—2014, kemudian Prof Dr Mardiasmo, M.B.A., Akt. sebagai Wakil Menteri Keuangan yang dilantik pada tanggal 27 Oktober 2014. Sebelumnya, Mardiasmo sebagai Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Pusat.
Putusan MK
Namun, pernyataan mereka yang berpendapat pengangkatan 12 wamen tidak sah terbantahkan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 79/PUU-IX/2011.
Dalam amar putusan disebutkan bahwa penjelasan Pasal 10 UU Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Hal itu disampaikan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada hari Selasa, 5 Juni 2012, oleh sembilan hakim konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD selaku ketua merangkap anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Harjono, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdam Zoelva, dan Anwar Usman masing-masing sebagai anggota.
Dengan demikian, pengangkatan 12 wakil menteri oleh Presiden Joko Widodo tidak melanggar UU Kementerian Negara.
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor:
Mahmudah
COPYRIGHT © ANTARA 2024