Logo Header Antaranews Jateng

Akurasi proyeksi perencanaan jadi tolok ukur APBD

Minggu, 1 Desember 2019 18:41 WIB
Image Print
Ekonom dari Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Judi Budiman, M.Sc., Akt. ANTARA/dokumentasi pribadi
harus dilihat dari penyebabnya. Kalau penyebabnya karena pengeluaran yang tinggi dibanding pendapatan, dan pengeluarannya itu sudah dikaji, dinilai secara wajar, ya, tidak masalah
Semarang (ANTARA) - Akurasi proyeksi dari rencana-rencana, baik penerimaan maupun pengeluaran, merupakan tolok ukur penentu APBD itu baik atau tidak, kata ekonom dari Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Judi Budiman.

"Jadi, kalau realisasi penerimaan, misalnya, itu tidak jauh beda dengan yang dianggarkan, saya kira bagus, terlalu tinggi juga tidak, terlalu rendah juga tidak," kata Judi Budiman, M.Sc., Akt. di Semarang,  Jawa Tengah, Minggu.

Menurut dia, tidak bisa dikatakan baik, misalnya penerimaan realisasinya lebih besar dibanding yang dianggarkan, itu juga belum tentu baik. Hal ini bisa jadi perencanaannya kurang baik dan estimasinya yang kurang baik.

Begitu pula, biaya yang realisasinya lebih rendah dibanding yang dianggarkan, kata Judi, juga belum tentu lebih baik.

Pelaksanaan atau realisasi anggaran tersebut tidak meleset jauh dari yang dianggarkan itu, Judi menilai lebih bagus. Akan tetapi, anggaran itu dimensinya luas, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi setelah pelaksanaan.

"Itu semua penting supaya apa-apa yang ada di dalam anggaran itu semuanya wajar," kata dosen Fakultas Ekonomi Unissula Semarang ini.

Menyinggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang selalu defisit, menurut Judi, yang terpenting dalam anggaran defisit itu bahwa anggaran defisit itu memang betul-betul defisit.

"Jadi, maksud saya harus dilihat dari penyebabnya. Kalau penyebabnya karena pengeluaran yang tinggi dibanding pendapatan, dan pengeluarannya itu sudah dikaji, dinilai secara wajar, ya, tidak masalah," kata Judi.

Baca juga: Temanggung anggarkan APBD 2020 defisit Rp44 miliar

Akan tetapi, kalau defisitnya itu diakibatkan dari adanya anggaran pengeluaran yang kurang wajar, harga-harganya di atas harga umum, dan lain sebagainya yang menyebabkan adanya biaya tinggi pada anggaran itu, anggaran defisit tersebut perlu dikaji.

"Bisa saja yang seharusnya tidak defisit menjadi defisit karena salah dalam merencanakan sebuah anggaran, terlalu tinggi membuat harga-harga, dan lain sebagainya," katanya.

                                                                                 Batas Defisit 
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 125/PMK.07/2019 tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Batas Maksimal Defisit APBD, dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2020 terdapat lima kategori.

Pasal 3 Ayat (1) PMK disebutkan bahwa batas maksimal defisit APBD Tahun Anggaran 2020 masing-masing daerah ditetapkan berdasarkan kategori kapasitas fiskal daerah sebagai berikut.

Kategori sangat tinggi sebesar 4,5 persen; kategori tinggi sebesar 4,25 persen; kategori sedang sebesar 4 persen; kategori rendah sebesar 3,75 persen; dan kategori sangat rendah sebesar 3,5 persen dari perkiraan pendapatan daerah pada tahun anggaran 2020.

Disebutkan pula dalam Ayat (2) bahwa defisit APBD tersebut merupakan defisit APBD yang dibiayai dari pinjaman daerah. 

Baca juga: APBD defisit, insentif ketua RT dan RW tidak dibayar 7 bulan
Baca juga: APBD 2014 Kota Semarang Bakal Defisit Rp414 Miliar


Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024