Kala TikTok "mewabah" di tengah pandemi COVID-19 dan perhelatan demokrasi
Minggu, 26 Juli 2020 13:09 WIB
Di satu sisi pesta demokrasi harus berjalan sukses dengan tingkat partisipasi pemilih setidaknya 77,5 persen di 270 daerah dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak, 9 Desember 2020, sebagaimana target Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di sisi lain, semua pihak yang terlibat dalam pesta setiap 5 tahun itu jangan sampai tertular virus corona.
KPU pun selaku penyelenggara pilkada telah membuat aturan pemilihan kepala daerah di tengah masyarakat memasuki adaptasi kebiasaan baru. Salah satunya adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota/Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
PKPU yang diteken Ketua KPU RI Arief Budiman ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 Juli 2020. Sehari kemudian, diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Juli 2020 (vide Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 716).
Agar masyarakat cukup informasi tentang pilkada sekaligus tidak merasa waswas ketika memberikan hak pilihnya pada masa pandemi COVID-19, tampaknya perlu sosialisasi lebih gencar lagi.
Namun, tidak hanya penyelenggara pemilu yang melakukan sosialisasi, tetapi juga semua pemangku kepentingan dalam pilkada, termasuk partai politik pengusung pasangan calon kepala daerah dan peserta pilkada beserta tim suksesnya.
Supaya masyarakat yang sudah punya hak pilih berbondong-bondong menuju tempat pemungutan suara (TPS), pemangku kepentingan perlu menyampaikan informasi tentang pilkada semenarik mungkin dengan memanfaatkan media sosial dan/atau layanan jejaring sosial. Apalagi, platform digital makin banyak pilihan, termasuk aplikasi TikTok yang makin banyak penggunanya.
TikTok "Mewabah"
Mereka bisa saja memanfaatkan TikTok yang kini lagi "mewabah". Jaringan sosial dan platform video musik Tiongkok yang diluncurkan pada bulan September 2016 oleh Zhang Yiming ini, menurut catatan Communication and Informatian System Security Research Center (CISSReC), hingga sekarang diunduh (download) lebih dari 1,65 miliar.
Namun, di tengah masyarakat dunia, termasuk warganet (netizen) Indonesia, yang sedang gandrung bermain TikTok cukup resah dengan berbagai isu miring terkait dengan aplikasi berbasis video asal Republik Rakyat Tiongkok (RRT) itu.
Oleh karena itu, Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Dr. Pratama Persadha menyarankan agar pejabat penting dan lingkarannya, politikus, dan pemangku kepentingan dalam pilkada tidak bermain TikTok bila khawatir data mereka bocor ke publik.
Jika memang ada kebutuhan para pejabat serta politikus untuk branding diri atau lembaga, lanjut pakar keamanan siber ini, sebaiknya menggunakan gawai yang berbeda dari gawai yang sehari-hari mereka gunakan.
Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi KPU pada Pemilu 2014 lantas menyarankan kepada mereka untuk mengatur pengamanan pengaturan privasi pengguna di masing-masing gawai lewat permission di tiap aplikasi.
Permission adalah permintaan dari aplikasi untuk kebutuhan aplikasi yang muncul dengan sederet keterangan, meminta akses kamera, mikropon, telepon, log, dan lainnya.
"Kebanyakan pengguna meremehkan, menganggap pesan tersebut hanya informasi, padahal sangat penting," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Ia lantas memberikan tips cara men-setting pengaturan untuk permission pada aplikasi TikTok yang juga bisa untuk aplikasi lainnya, yakni: pertama, klik di bagian setting, kemudian klik Apps, lalu pilih TikTok.
Setelah itu, pilih App permissions, kemudian lihat bagian yang diakses untuk kamera, kontak, lokasi, ruang penyimpanan, dan lainnya.
Alat Spionase
TikTok seperti platform internet lainnya tetap menyimpan dan mengolah data pengguna. Hal inilah yang dicurigai oleh AS dan Eropa, kekhawatiran data pengguna serta aplikasi TikTok untuk mata-mata.
Sebelumnya, gim Pokemon juga pernah dituduh sebagai aplikasi mata-mata. Namun, hal itu tidak terbukti. Malah isu-isu besar seperti ini sebenarnya mungkin dimanfaatkan menjadi sarana promosi gratis aplikasi-aplikasi tersebut.
Sebenarnya layanan Facebook, Google, Instagram, dan semacamnya, menurut Pratama, juga melakukan berbagai pengumpulan data. Misalnya, dalam kasus Cambridge Analytica, data pengguna Facebook dioptimasi untuk membuat Donald Trump dan kubu Brexit di Inggris menang dalam pemilihan.
TikTok seperti halnya Huawei juga ikut terseret dalam perang dagang serta urat syaraf AS-Tiongkok, bahkan dituduh menjadi alat spionase pemerintah RRT.
Apalagi sekarang ini adanya persaingan big data yang membuat siapa pun pemilik platform populer bisa membantu mengendalikan dunia. Misalnya, data Facebook untuk memenangkan Donald Trump saat Pilpres AS dan kubu Brexit di Inggris.
Tiktok menarik perhatian sejak lama, bahkan Mark Zuckerberg menyatakan TikTok bisa melewati Instagram. Pada kenyataannya TikTok dalam kurun waktu 2 tahun terakhir berhasil mengalahkan Instagram dengan total lebih dari 625 juta unduhan.
Peningkatan pengguna TikTok yang sangat cepat juga terbantu oleh pemerintah RRT yang melarang Instagram dan Facebook beroperasi di Negeri Tirai Bambu itu. Akibatnya, jumlah pemakai TikTok di negara tersebut menjadi sangat besar, bahkan sekarang mengglobal.
TikTok dalam waktu dekat akan merilis model monetize atau kerja sama iklan sehingga user-nya bisa mendapatkan pemasukan, seperti di YouTube dan Facebook.
Selain itu, salah satu hal yang dianggap sebagai keunggulan TikTok oleh para pemakainya adalah karena platform tersebut tidak mengenal copyright. Akibatnya, pengguna bisa memakai berbagai musik dan video tanpa khawatir terkena take down, seperti di FB, IG, dan YouTube.
Akan tetapi, di tengah melambung namanya, TikTok terkena larangan instal dan beroperasi di kawasan Amerika Serikat dan India dengan alasan keamanan, sedangkan Uni Eropa melakukan pengawasan ketat data aplikasi itu.
Eropa tidak sampai melarang seperti di AS. Namun, negara-negara di Eropa hanya mengikuti data TikTok ke mana saja. Selanjutnya, data tersebut akan diolah seperti apa. Pertama yang selalu dicek oleh mereka adalah privacy policy (kebijakan privasi).
Soal kebijakan privasi ini, lanjut Pratama, Zoom juga pernah tersandung karena ada perihal pengumpulan data yang tidak disampaikan di dalam privacy policy.
Tuduhan terhadap TikTok memang cukup serius, tidak hanya sebatas collecting data (pengumpulan data) di aplikasinya, tetapi juga dicurigai ada aliran data pengguna ke Tiongkok.
Akhirnya, CISSReC melakukan riset dan analisis terhadap aplikasi TikTok ini. Dari hasil analisis CISSReC, aliran data TikTok secara umum tidak ada yang mencurigakan. Misalnya, alamat ip 161.117.197.194 yang menuju Singapura, lalu 152.199.39.42 menuju Amerika.
Bahkan, saat dites dengan malware analysis dengan sampel dari 58 vendor antivirus, malware juga tidak ditemukan. Tidak ada aktivitas mencurigakan saat menginstal TikTok, malah tidak ada malware yang bersembunyi.
Apabila mengandung malware, sebenarnya bukan hanya AS yang akan melarang TikTok, tetapi Google akan menghapus TikTok dari Playstore mereka. Namun, hal ini juga tidak dilakukan Google.
Di Eropa yang dilakukan adalah pengawasan data karena hal ini menjadi perhatian serius bagi masyarakat dunia, apalagi berbagai tuduhan bahwa TikTok digunakan spionase.
Sebenarnya hal yang sama juga bisa diarahkan ke AS, apalagi AS memiliki aturan Foreign Surveillance Act (Undang-Undang Pengawasan Intelijen Asing) yang memungkinkan pihak aparat di AS untuk masuk dan mengambil data raksasa teknologi.
Berdasarkan data CISSReC, TikTok salah satu aplikasi yang banyak penggunanya, termasuk warganet di Tanah Air. "Wabah" TikTok ini tampaknya bisa menjadi momentum bagi pemangku kepentingan pilkada dalam menyebarluaskan informasi tentang pilkada.
Apalagi, layanan jejaring sosial ini bisa berbagi video berdurasi pendek yang menampilkan musik sebagai latar belakang dan dapat pula menambah filter baru sehingga punya daya tarik tersendiri bagi yang melihatnya.
Lagi pula platform berbasis hiburan ini bisa dibagikan melalui WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, dan media sosial lainnya. Dengan demikian, jangkaunya lebih luas tanpa bertatap muka ketika menyosialisasikan perihal Pilkada Serentak 2020.
Baca juga: Bila khawatir, pejabat disarankan tak bermain TikTok
Baca juga: AS larang pegawai pemerintah TikTok-an
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor:
Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2024