UU Cipta Kerja akselerasi perpaduan bank tanah dan "ABCG"
Minggu, 1 November 2020 18:29 WIB
Perlu ada pembahasan lebih mendalam agar peraturan pemerintah memberikan landasan hukum bagi implementasi konsep perumahan berbasis komunitas dengan dukungan ABCG.Semarang (ANTARA) - Lepas dari pro dan kontra atas kelahiran Undang-Undang Cipta Kerja, peraturan perundang-undangan ini berpotensi mempercepat terwujudnya gagasan memadukan program Land Banking dengan skema pembangunan perumahan Kolaborasi ABCG (Academic, Business, Community, and Government) di seluruh Indonesia.
Jauh hari sebelum muncul undang-undang yang pembentukannya menggunakan metode omnibus law ini, pakar perumahan dari Universitas Diponegoro (Undip) Dr. Ing. Asnawi Manaf, S.T. pernah menyampaikan ide memadukan program Land Banking (Bank Tanah) dengan skema pembangunan perumahan Kolaborasi ABCG. Asnawi menyampaikan gagasan itu kepada ANTARA pada bulan Februari 2019.
Kolaborasi ABCG yang dimaksud oleh lulusan doktor Universitas Kassel Jerman ini adalah suatu pola pembangunan perumahan yang mengolaborasi akademisi (academic), bisnis (business), komunitas (community), dan pemerintah (government).
Baca juga: UU Cipta Kerja dinilai memangkas kewenangan MUI dalam JPH
Dalam hal ini, Undip berperan mengembangkan kerangka kerja kolaborasi di antara lembaga terkait dengan inovasi-inovasi penelitian yang mendukung terwujudnya rumah yang layak dan terjangkau bagi keluarga kurang mampu.
Seperti diketahui bahwa konsep land banking adalah penyediaan tanah di suatu area, kemudian disimpan, lalu dicadangkan guna pembangunan pada masa depan.
Berdasarkan RUU Cipta Kerja versi halaman 1.187 (kalau tidak mengalami perubahan lagi), hal terkait dengan bank tanah ini ada di halaman 702, tepatnya Bagian Keempat tentang Pertanahan, Paragraf 1 tentang Bank Tanah.
Undang-undang ini mengamanatkan pemerintah pusat untuk membentuk badan bank tanah yang merupakan badan khusus yang mengelola tanah. Dijelaskan pula bahwa kekayaan badan bank tanah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan.
Disebutkan dalam Pasal 128 bahwa sumber kekayaan badan bank tanah dapat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pendapatan sendiri, penyertaan modal negara, dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Menaker: UU Cipta Kerja tetap sejahterakan pekerja
Klaster Pertanahan
Terkait dengan klaster pertanahan ini juga sempat disinggung Presiden RI Joko Widodo ketika konferensi pers secara daring dari Istana Kepresidenan, Bogor, Jumat (9/10).
Ditegaskan oleh Presiden bahwa bank tanah ini diperlukan untuk menjamin kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, dan konsolidasi lahan, serta reforma agraria.
"Ini sangat penting untuk menjamin akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah, kepemilikan lahan, dan kita selama ini tidak memiliki bank tanah," kata Presiden Jokowi.
Apa yang disampaikan Kepala Negara itu sudah tertuang di dalam Pasal 126. Pasal ini juga mengatur soal ketersediaan tanah untuk reforma agraria paling sedikit 30 persen dari tanah negara yang diperuntukkan bank tanah.
Adapun fungsi badan bank tanah ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 125, yakni perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.
Tanah yang dikelola badan bank tanah diberikan hak pengelolaan. Hak atas tanah di atas hak pengelolaan dapat diberi hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai (vide Pasal 129).
Dalam pasal ini juga mengatur jangka waktu hak guna bangunan di atas hak pengelolaan, yakni dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya.
Dalam rangka mendukung investasi, pemegang hak pengelolaan badan bank tanah diberi kewenangan untuk melakukan penyusunan rencana induk; membantu memberikan kemudahan perizinan berusaha/persetujuan; melakukan pengadaan tanah; dan menentukan tarif pelayanan.
Pemerintah pusat melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jika RUU Cipta Kerja ini sudah diundangkan, PR yang harus dilakukan oleh Pemerintah adalah membentuk badan bank tanah yang terdiri atas komite, dewan pengawas, dan badan pelaksana (vide Pasal 130).
Sebagaimana diatur dalam Pasal 131, komite diketuai oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan beranggotakan para menteri dan kepala yang terkait. Ketua dan anggota komite ini ditetapkan dengan keputusan presiden berdasarkan usulan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan.
Dengan demikian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tidak hanya mempersiapkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) sebagai aturan turunan dari UU Cipta Kerja, tetapi juga mengusulkan siapa saja yang kelak duduk di kursi komite.
Dewan Pengawas
Di lain pihak, UU Cipta Kerja ini juga mengamanatkan pembentukan dewan pengawas berjumlah paling banyak tujuh orang yang terdiri atas empat orang unsur profesional dan tiga orang yang dipilih oleh pemerintah pusat (vide Pasal 132).
Seleksi terhadap calon unsur profesional ini dilakukan oleh Pemerintah, kemudian disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk dipilih dan disetujui. Adapun jumlahnya yang disampaikan ke DPR RI paling sedikit dua kali jumlah yang dibutuhkan.
Selanjutnya, badan pelaksana terdiri atas kepala dan deputi. Jumlah deputi ini ditetapkan oleh ketua komite. Kepala dan deputi ini diangkat dan diberhentikan oleh ketua komite. Dalam hal ini, dewan pengawas dapat mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala dan deputi (vide Pasal 133).
Ketentuan lebih lanjut mengenai komite, dewan pengawas, dan badan pelaksana diatur dalam peraturan presiden. Begitu pula, ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan badan tanah diatur dalam peraturan pemerintah.
Seperti yang diwartakan ANTARA, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan A. Djalil bersama para dirjen dan direktur di Kementerian ATR/BPN tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Bank Tanah.
Selain itu, RPP tentang Pemberian Hak Atas Tanah; RPP tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum; RPP tentang Kawasan dan Tanah Telantar; dan RPP tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Keberadaan PP tentang Bank Tanah berikut peraturan perundang-undangan turunan dari UU Cipta Kerja diharapkan penuhi asa publik. Apalagi, Kementerian ATR/BPN melibatkan pemangku kepentingan untuk memberikan aspirasi jika terdapat kekurangan terhadap rancangan peraturan pemerintah tersebut.
Selagi dalam bentuk rancangan peraturan pemerintah, semua pihak perlu memberi masukan hal-hal yang kelak menyejahterakan rakyat Indonesia, termasuk akselerasi memadukan program Land Banking dengan skema pembangunan perumahan Kolaborasi ABCG.
Dengan demikian, masyarakat berpenghasilan di bawah Rp6 juta mendapat kesempatan memiliki rumah yang aman, nyaman, dan sehat.
Namun, yang perlu ditekankan adalah pengejawantahan undang-undang ini. Masalahnya, kalau tidak dipikirkan secara matang, menurut pakar perumahan Asnawi Manaf, akan berhenti di titik wacana dan wacana.
Nah, tampaknya perlu ada pembahasan lebih mendalam agar peraturan pemerintah terkait dengan klaster pertanahan ini memberikan landasan hukum bagi implementasi konsep perumahan berbasis komunitas dengan dukungan ABCG, yakni akademisi, bisnis, komunitas, dan pemerintah.
Baca juga: Presiden Jokowi: UU Cipta Kerja jadi jalan reformasi struktural bagi UMKM
Baca juga: Istana jelaskan soal koreksi Pasal 46 UU Ciptaker
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor:
Mahmudah
COPYRIGHT © ANTARA 2024