Telaah - Omicron, perlu takutkah kita?
Kamis, 6 Januari 2022 14:10 WIB
Angka penularan yang tinggi akan mengakibatkan angka kesakitan dan angka kematian secara kuantitatif secara riil menjadi jumlah yang besar jugaSemarang (ANTARA) - Akhir-akhir ini terjadi peristiwa yang tidak menggembirakan di bidang kesehatan berhubungan dengan perkembangan pandemi infeksi virus corona yang sudah berlangsung dua tahun.
Hal ini tidak terlepas dengan munculnya strain baru dari virus corona, yang kita kenal sebagai varian Omicron.
Setelah teridentifikasi pertama kali pada 24 November 2021 di Afrika Selatan, saat ini Omicron sudah terbukti menyebar di lebih dari 132 negara yang tersebar di Bumi. Di akhir tahun 2021 telah menginfeksi 200.000 orang di Prancis dan 600.000 orang di Inggris.
Tidak berbeda kondisinya di Indonesia, di mana sejak pertama terdeteksi tiga kasus varian Omicron ini di petugas karantina Wisma Atlet Jakarta pada 15 Desember 2021, terjadi perkembangan yang cukup signifikan, untuk temuan yang mencapai angka nasional 153 kasus pada 3 Januari 2022, dan meningkat menjadi 254 orang pada 4 Januari 2022 dengan daerah penyebaran yang lebih luas, mulai dari Manado sampai dengan Surabaya.
Apakah kita perlu takut melihat perkembangan penularan Omicron ini? Takut merupakan sifat alami dari setiap manusia yang dapat menyelamatkannya dari bahaya yang mengancam dirinya, tetapi panik adalah respons yang harus kita hindari.
Kita tetap harus waspada, tetapi tidak boleh panik. Agar tidak panik, kita perlu lebih banyak tahu tentang virus corona varian Omicron ini.
Omicron merupakan salah satu varian dari virus SARS-CoV-2 yang pertama kali ditemukan di Wuhan, Cina, pada Desember 2019.
Selama perjalanan pandemi, SARS-CoV-2 telah bermutasi membentuk varian-varian sebagai berikut, Beta pada Mei 2020 di Afrika Selatan, Alpha pada September 2020 di Inggris, Delta pada Oktober 2020 di India, Gamma pada November 2020 di Brazil, dan yang terbaru Omicron pada November 2021 di Afrika Selatan.
Mutasi adalah suatu keniscayaan pada setiap makhluk hidup yang memperbanyak diri, tetapi peristiwa mutasi ini lebih sering terjadi pada makhluk hidup dengan genom RNA (ribonukleat acid), seperti pada virus corona ini.
Baca juga: Bertambah 92 pasien, kasus Omicron di Indonesia menjadi 254 kasus
Mutasi adalah perubahan jenis nukleotiada yang dipasang pada genom keturunannya. Nukleotida merupakan jenis molekul penyusun genom setiap makhluk hidup, yang terdiri atas Adenin, Timin, Guanin, dan Sitosin sebagai bahan dasar genom DNA (deoxyribonucleic acid), serta Urasil, menggantikan Timin pada genom RNA.
Genom sendiri merupakan rantai panjang urutan basa-basa nukleotida, yang pada segmen-segmen tertentu menyusun sebagai rantai urutan spesifik yang disebut sebagai gen. Gen inilah yang berfungsi sebagai kode genetik untuk menyusun protein-protein spesifik dari makhluk hidup tersebut, sehingga bisa bertahan hidup di alam.
Akibat mutasi, bisa terjadi kematian dari organisme tersebut, karena protein yang dihasilkan tidak sesuai dengan kehidupannya --ini yang paling sering terjadi--, tetapi juga memungkinkan tetap hidup dengan sifat yang berubah.
Perubahan yang paling kita khawatirkan adalah perubahan menjadi ganas, kalau organisme tersebut merupakan penyebab penyakit.
Jauh
Mutasi varian Omicron, letaknya relatif jauh dengan varian-varian sebelumnya. Ini artinya, perubahan sifat dari Omicron juga memungkinkan akan munculnya sifat yang jauh berbeda dengan varian-varian sebelumnya.
Yang jelas sudah terbukti, bahwa varian ini jauh lebih mudah menular dibandingkan dengan varian-varian sebelumnya, dan juga lebih bisa menghindar dari pengaruh vaksinasi yang selama ini dilakukan.
Kabar baiknya, penyakit yang diakibatkan oleh varian Omicron selama ini, terlihat lebih ringan dan juga angka kematiannya sangat kecil.
Tetapi, kabar baik ini jangan sampai membuat kita kehilangan kewaspadaan. Angka penularan yang tinggi akan mengakibatkan angka kesakitan dan angka kematian secara kuantitatif secara riil menjadi jumlah yang besar juga, walaupun angka persentasenya kelihatan rendah.
Baca juga: Kasus Omicron meluas ke 132 negara
Prinsip dalam mengendalikan pandemi penyakit infeksi menular ini dengan isolasi, di mana isolasi menempatkan yang sakit --sebagai sumber penularan-- untuk tetap di tempatnya, tidak menyebar ke orang lain.
Adapun strategi 5M bagi masyarakat dan 3T bagi pemerintah masih relevan dilakukan. Strategi 5M bagi masyarakat, berupa mencuci tangan setiap sehabis menyentuh benda yang meragukan kebersihannya dan setiap mau menyentuh tubuh bagian muka khusunya, memakai masker terutama di ruang tertutup dan kerumunan, menjaga jarak terutama dilakukan berdasar cara penularan utama penyakit ini menular secara droplet yang daya lontarnya satu meter.
Selain itu, menjauhi kerumunan karena kerumunan meningkatkan risiko terjadinya penularan antarmanusia. Kerumunan akan meningkatkan jumlah virus yang beredar di lokasi tersebut, dan jarak yang dekat meningkatkan penularan antarmanusia, serta meminimalisasi mobilisasi yang bisa meningkatkan luas penyebaran dari penyakit, karena dapat memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lebih jauh.
Strategi 3T bagi pemerintah, yakni "testing" berupa pengetesan untuk mendeteksi adanya sumber infeksi, yang selanjutnya dilakukan langkah isolasi dan pelacakan, "tracing" berupa pelacakan untuk menemukan sumber penularan dari hasil pengetesan positif, yang kemudian juga dilanjutkan dengan langkah isolasi, "treatment" berupa pengobatan bagi yang sakit untuk menyelamatkan hidupnya dan sekaligus menghentikan penderita sebagai sumber penularan.
*) dr. Purnomo Hadi, M.Si.Biotek, Sp.MK(K), Staf Pengajar FK Undip
Baca juga: Luhut: Tak ada negara yang telaten tangani Covid-19 seperti RI
Baca juga: Kronologi temuan varian Omicron di Jatim, pengidap usai liburan di Indonesia
Baca juga: KSP tegaskan pemerintah siap hadapi lonjakan kasus Omicron
Pewarta : dr. Purnomo Hadi, M.Si.Biotek, Sp.MK(K)
Editor:
Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024