Pakar: Parameter survei citra baik lembaga negara harus jelas
Purwokerto (ANTARA) - Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho mengatakan parameter yang digunakan dalam kegiatan survei terhadap citra baik lembaga negara harus jelas.
"Menanggapi hasil survei Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Kompas itu saya kira parameternya harus jelas, karena kita bisa membandingkan hasil survei dari Burhanuddin Muhtadi, itu lebih komprehensif," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu.
Oleh karena itu, kata dia, hasil survei yang menyebutkan bahwa citra baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) naik signifikan dari 60,9 persen pada September 2024 menjadi 72,6 persen pada Januari 2025 menyisakan banyak pertanyaan karena citra baik Kejaksaan Agung hanya sebesar 70 persen atau di bawah KPK.
Menurut dia, pertanyaan-pertanyaan tersebut diantaranya paramater yang digunakan dalam survei.
"Parameternya apa, apakah parameter penegakan hukum? Kalau parameter penegakan hukum, saya kira Kejaksaan lebih tinggi, satu, dari kualitas perkara besar-besar, sedangkan KPK itu kualitas perkaranya tingkat gubernur ke bawah," katanya menjelaskan.
Selanjutnya dari tingkat penyelesaian perkara, kata dia, KPK agak lambat dalam menetapkan tersangka, bahkan banyak yang belum diproses.
Sementara Kejaksaan Agung, lanjut dia, cukup cepat dalam menetapkan dan memproses tersangka.
Ia pun mencontohkan beberapa hal yang menunjukkan lambannya kinerja KPK seperti proses pemanggilan mantan Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor (Paman Birin) sebagai saksi dalam kasus dugaan suap sampai saat sekarang belum berhasil.
"Memanggil Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu juga tidak pernah berhasil berangkat. Ini 'kan pertanyaan yang besar, kenapa, apakah ada rasa ketidakpercayaan, apakah ada rasa menggampangkan," katanya.
Kemudian dari kualitas penyelesaian perkara eksekusi, kata dia, lebih besar Kejaksaan Agung ketimbang KPK.
Terkait dengan hal itu, dia mengatakan jika dilihat dari parameter penegakan hukum tersebut, tentu Kejaksaan Agung lebih tinggi dibandingkan KPK.
"Belum lagi kalau kita melihat kualitas perkara peningkatan perkara RJ (Restorative Justice), kalau KPK 'kan hanya penegakan hukum korupsi. Kejaksaan 'kan ada korupsi dan ada nonkorupsi, pidana umum, bahkan restorative justice (keadilan restoratif)," katanya.
Bahkan, kata dia, penyelesaian konflik hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung melalui konsep keadilan restoratif tergolong luar biasa dalam rangka mengurangi over kapasitas dan mencapai keadilan secepat mungkin terhadap perkara-perkara kecil.
Hingga saat ini, lanjut dia, sudah banyak perkara-perkara kecil yang dihentikan pengusutannya oleh Kejaksaaan Agung dengan menggunakan konsep keadilan restoratif tersebut.
"Ini yang saya kira parameter harus jelas. Bagus memang konsep surveinya, namun saya kira perlu dipertanyakan parameter dari penilaian survei yang bersangkutan, sehingga jangan sampai menimbulkan suatu kegelisahan, bahkan jangan sampai menimbulkan situasi turun moral," katanya menegaskan.
Dalam hal ini, dia mengharapkan hasil survei tersebut tidak sampai menurunkan semangat para jaksa di lapangan yang telah semaksimal mungkin melakukan penegakan hukum namun ternyata mendapatkan penilaian kurang bagus.
"Sehingga kalau kita melihat survei itu, paling tidak harus berpikir positif untuk meningkatkan semangat. Tapi kalau survei menjadikan suatu tanda tanya, yang tidak komprehensif, yang mungkin konsepnya juga jelas, ini ditakutkan menjadikan teman-teman jaksa di lapangan kendur," katanya.
Oleh karena itu, dia mengharapkan lembaga-lembaga yang melakukan survei dapat menghasilkan survei yang benar-benar memberikan nilai tersendiri, semangat tersendiri, sehingga dapat menjadi bagian dari evaluasi terhadap pelaksanaan penegakan hukum, baik Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK.
"Apalagi Kejaksaan, tugasnya semakin luar biasa, tidak bisa apple to apple, kaitannya hanya penegakan hukum korupsi. Ini yang tidak bisa dibandingkan, tidak bisa apple to apple, sehingga penilaiannya harus komprehensif," kata Prof Hibnu.
Pewarta : Sumarwoto
Editor:
Immanuel Citra Senjaya
COPYRIGHT © ANTARA 2025