Logo Header Antaranews Jateng

"Gending Caosan" Teguhkan "Wahyu" Komunitas Tutup Ngisor

Rabu, 1 Februari 2012 15:06 WIB
Image Print


Kalimat berbahasa Jawa itu sebagai ungkapan sopannya minta izin mengakhiri perbincangan singkat dengan penulis di pendopo padepokan itu. Jarum digital di telepon seluler menunjuk pukul 16.00 WIB, tanda waktu komunitas seniman petani setempat mulai tradisi menabuh gamelan menjelang puncak perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW.

Sore itu adalah hari ketiga mereka menabuh gamelan padepokan yang disebut sebagai "Uyon-Uyon Sekaten". Tradisi itu rangkaian kewajiban turun temurun mereka sejak 1937 padepokan itu berdiri, untuk memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW.

Padepokan seni budaya berbasis wayang orang itu didirikan oleh orang tua dan kakek mereka, Romo Yososudarmo (1885-1990). Keturunan Romo Yoso menjalani empat wajib pementasan wayang orang setiap tahun, masing-masing bertepatan dengan peringatan Maulud Nabi Muhammad, Sura (Tahun baru dalam kalender Jawa), Idul Fitri, dan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia.

Puncak peringatan Maulud Nabi Muhammad tahun ini akan jatuh pada Sabtu (4/2), ditandai dengan pementasan wayang menak mengambil lakon "Pedang Kangkam Pamor Kencono", salah satu di antara dua cerita wayang menak karya Romo Yoso. Satu karya lainnya "Umar Amir Mulih Ngaji". Kisah-kisah wayang menak tentang kehidupan berlatar belakang Timur Tengah.

Sitras yang mengenakan beskap warna hitam, belangkon gaya Yogyakarta, dan keris terselip di pinggangnya itu kemudian mendekati demung dan duduk bersila di belakang salah satu perangkat gamelan itu.

Belasan anggota komunitas Tutup Ngisor lainnya yang masing-masing mengenakan pakaian adat Jawa juga bergegas menyiapkan diri di dekat perangkat gamelan lainnya di depan panggung utama pementasan wayang orang di padepokan itu.

Mereka antara lain Bambang Santoso bermain di kendang, Cipto Miharjo dan Widyo Sumpeno memainkan saron, Marmujo pada gong, Sarwoto pada kenong, Damirih memainkan gambang, Martejo yang juga Kepala Dusun Tutup Ngisor memainkan bonang.

Mereka adalah sebagian dari para anak dan cucu pendiri padepokan itu, yang setiap hari bekerja sebagai petani kawasan Gunung Merapi. Warga setempat sekitar 200 jiwa atau 50 keluarga.

Tidak banyak yang ikut menonton mereka menjalani hari ketiga dari tujuh hari penabuhan gamelan "Uyon-Uyon Sekaten" setiap sore hingga puncak peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW mendatang, hanya seorang pemuda Desa Sumber sore itu.

Sesekali anak-anak kecil keluarga besar Tutup Ngisor secara polos masuk ke pendopo, sekadar berlarian lalu keluar lagi bermain di halaman padepokan itu.

"Memang tidak mengundang warga atau relasi padepokan dari tempat lain saat kami menabuh 'Uyon-Uyon Sekaten' ini. Kalau nanti puncaknya, baru kami mengundang warga dan lainnya untuk datang," kata Sitras yang generasi kedua kepemimpinan padepokan itu.

Belasan nomor musik gamelan Padepokan Tjipta Boedaja Tutup Ngisor yang dinamai "Gending-Gending Caosan" mereka tabuh hingga menjelang magrib. Tanpa syair tembang, hanya gending-gending dengan beraneka langgam mereka perdengarkan melalui tabuhan gamelan itu, di bawah pimpinan pengendang Bambang Santoso.

Sejumlah nomor gending itu antara lain berjudul "Wilujeng", "Sri Rejeki", "Sri Dandang", "Puspawarna", "Uler Kambang Jineman", "Kuda Nyangklang", "Eling-Eling", "Randu Kintir", "Ayun-Ayun", "Pangkur Lombo", dan "Ayak-Ayak".

Suasana terkesan tenteram, alami, tenang, dan agung selama "Gending-Gending Caosan" itu mereka mainkan, hingga lantunannya seakan membalut sore Gunung Merapi.

"Gending-gending itu karya ayah kami," katanya.

Keturunan
Para anak keturunan Romo Yoso adalah Darto Sari (86), Danuri (84), Damirih (81), Cipto Miharso (73), Sarwoto (57), Bambang Santoso (55), dan Sitras Anjilin (50). Sitras sebagai bungsu, mendapat kepercayaan kakak-kakaknya untuk memimpin padepokan itu.

Hingga saat ini, kata Sitras, gamelan sekaten memang dikenal diperdengarkan di Keraton Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta, bertepatan dengan perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW, sebagai penanda bahwa raja akan datang ke masjid di kawasan alun-alun untuk peringatan keagamaan Islam itu.

"Dalam tradisi kami, gamelan sekaten di padepokan ini sebagai tradisi menguatkan 'wahyu' komunitas Tutup Ngisor, yang menjadi ruh dan spirit kehidupan petani gunung dalam olah kesenian dan kebudayaan desa kami," katanya.

Nama Padepokan Tjipta Boedaja Tutup Ngisor dengan pendukungnya yang warga berkehidupan sehari-hari petani itu memang telah dikenal luas, terutama di kalangan pekerja seni dan budayawan di berbagai kota.

Sitras pernah mengajar olah gerak kalangan pelajar di Inggris selama beberapa waktu dan saat ini mengajar ekstra kurikuler tari para pelajar SMA di daerah itu.

Darto Sari yang sulung Romo Yoso, sering kedatangan warga berasal dari desa-desa untuk suatu konsultasi kehidupan spiritual. Bambang Santoso selain bertekun dengan pertaniannya, di padepokan itu dia juga mengajar ekstra kurikuler gamelan siswa SMA setempat.

Marmujo selain pemain wayang orang, juga menjadi pematung batu berbasis wayang dan pengelola Galeri "Sri Rejeki" di depan pendopo padepokan. Galerinya menyediakan berbagai barang kerajinan dan seni, serta sejumlah judul buku tentang aktivitas kebudayaan kawasan setempat.

Anggota lain komunitas itu juga tak pernah lepas dari permintaan menjadi pembawa acara dalam hajatan warga di berbagai tempat karena kefasihan mereka berolah bahasa Jawa kromo inggil.

Beberapa lainnya juga menjadi pengajar ekstra kurikuler tari di beberapa sekolah setempat dan mengajar tarian tradisional di sejumlah grup masyarakat umum.

Komunitas Tutup Ngisor juga menjadi salah satu basis kekuatan gerakan kebudayaan para seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Sumbing, Andong, dan Menoreh) Kabupaten Magelang.

Sejak beberapa tahun terakhir, padepokan itu juga menjadi salah satu tempat program "live in" secara mandiri di kawasan barat Merapi, dengan peserta kalangan pelajar dan mahasiswa berasal dari beberapa kota besar.

Para peserta program itu selama beberapa hari tinggal di rumah-rumah warga Tutup Ngisor, mengikuti kegiatan keseharian sebagai petani, termasuk belajar olah gerak dan kesenian tradisional.

Tutup Ngisor hanyalah dusun yang sepi di tepi Kali Senowo yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi dan sejak erupsi 2010 hingga saat ini menjadi salah satu jalur utama langganan banjir lahar.

Namun, agenda padepokan itu seakan sepanjang tahun tak pernah berhenti dari aktivitas komunitasnya terkait dengan kearifan lokal, seni, dan budaya.

Kesetiaan menghidupi spirit pertanian dan budaya berkesenian dalam simbol-simbol tradisi Padepokan Tjipta Boedaja, barangkali telah membuat kerasan "wahyu" komunitas mereka.


Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024